Part 39

6.2K 330 108
                                    

"Naudzubillahi min dzalik, apa dosaku sampai punya istri pezina? Demi Allah dan Rasulullah, mulai saat ini Nadhifa Syafa'atuz Zahra bukan lagi ...."

Nadhifa pasrah mendengar lafadz suaminya. Kesalahan yang ia perbuat sangat fatal. Mustahil Fathan akan memaafkannya.

Hening lama. Fathan tak sanggup meneruskan kalimatnya. Pikiran jernihnya sedikit kembali. Ia merenung sejenak. Beberapa kali terdengar dengusan kasar.

"Maafkan aku, Na. Aku tahu kesalahanku padamu juga sangat besar. Menelantarkanmu tanpa memberi nafkah batin selama tiga tahun, itu perbuatan dzalim. Aku tahu sudah berlaku dayyuts atasmu. Tapi kenapa balasanmu sedemikian keji, Na? Kalau kamu nggak sudi lagi jadi istriku, bilang Na! Lakukan khulu' atau ajukan fasakh nikah. Ya! Aku bukan lelaki! Aku nggak bisa mencampurimu! Tapi bukan membalas dengan berzina, Na!" Nada suara Fathan meninggi.

Nadhifa tidak menjawab apalagi menentang kalimat sang suami. Pikirnya lelaki itu patut menumpahkan segala amarah. Apa yang sudah ia perbuat jelas-jelas mencoreng muka dan menginjak marwah Fathan sebagai suami.

"Sekarang karena perbuatan kejimu itu, semua akan dapat aib. Nggak ada gunanya aku menceraikanmu kalau cuma untuk menutup aib. Kehamilanmu akan diketahui khalayak. Perceraian justru makin memperkuat anggapan kalau kamu mengandung anak dari hasil perbuatan haram. Aku masih sanggup menerima, Na, kalau cuma aku yang menanggung aib. Tapi Abah dan Umi?" Emosi Fathan benar-benar meledak. Ia perlu beberapa saat untuk menarik nafas, sekedar meredakan amarah dalam dada.

"Saya nggak minta dimaafkan, Gus. Saya juga nggak akan berhitung matematika sama njenengan soal siapa yang salahnya lebih besar. Saya hanya minta solusi terbaik atas masalah ini. Apapun yang njenengan putuskan, saya manut, Gus," ucap Nadhifa lirih.

Fathan terdiam agak lama. Dia menimbang-nimbang segala kemungkinan. Hingga akhirnya dia berucap, "Gugurkan janin itu, Na! Cuma itu cara agar tidak menimbulkan aib ...."

"Gus Fathan!" Nadhifa spontan berteriak. Ia tak menyangka sang suami menawarkan solusi yang sangat tidak berperikemanusiaan.

"Jangan membantah kalau masih mau jadi istriku, Na! Nggak ada hukum yang kamu langgar kalau kamu menggugurkan janin itu di usianya sekarang. Umur kehamilan sekitar lima minggu, denyut jantung pun belum berdetak. Dia belum bernyawa. Toh, peniupan ruh di usia menjelang empat bulan." Fathan memaparkan argumennya.

Nadhifa hendak membantah. Namun, Fathan sudah mendahuluinya.

"Jangan pakai sumpah Hipocrates untuk membantah! Banyak pendapat tentang aborsi. Hukum negara pun membolehkan, Na. Pasal 76 Undang-Undang Kesehatan memperbolehkan aborsi pada korban perkosaan dengan usia kehamilan di bawah enam minggu, asal dilakukan oleh tenaga ahli yang berwenang. Sebelumnya, di Pasal 75 juga dijelaskan bahwa aborsi pada korban perkosaan atau dalam kondisi kegawatan medis sama sekali tidak dilarang. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hambali membolehkan aborsi sebelum usia gestasi 40 hari." Fathan semakin kukuh dengan pendapatnya.

"Gus Fathan ...," ucap Nana di sela isak tangisnya. "Haruskah saya tegaskan lagi? Saya tidak diperkosa! Malam itu saya kalah oleh bujukan syaithon dan menyerahkan diri dengan sukarela. Saya nggak mau menambah dosa dengan membuang kesempatan hidup bagi calon manusia di rahim saya. Dia tidak berdosa. Mungkin saja dia berkesempatan jadi manusia yang berkualitas dan pembela agama Allah."

"Pikirkan baik-baik, Nana! Kamu hamil saat semester awal PPDS. Ingat aturan yang kamu tandatangani kan? Nggak boleh hamil pada dua tahun pertama pendidikan. Kamu pasti akan dikeluarkan. Andai semua orang tahu Ferdi menghamilimu, sanksi sosial juga berlaku atasnya. Kariernya rusak dan kehidupan kalian pasti sengsara." Fathan masih berupaya membujuk istrinya.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang