Part 59

4.5K 180 26
                                    

"Na, sudah ya! Jangan kayak gitu lagi! Aku nggak yakin masih bisa nahan diri kalau kamu bertingkah seperti itu. Aku lelaki normal, nggak mungkin nggak nafsu kalau lihat gadis secantik kamu pasrah tanpa busana di depan mataku," ucap Ferdi lembut sambil membelai rambut Nadhifa penuh sayang.

Nadhifa hanya tertunduk malu. Gadis itu segera meraih pakaiannya yang berserakan di bawah tempat tidur.

"Nana juga kepaksa, Mas. Nana cuma mau nikah sama Mas Ferdi, tapi keluarga kita ...." Nadhifa menggantung kalimatnya, air mata jatuh berderai di pipi lembutnya.

"Kalau Nana hamil, pasti kita direstui. Banyak orang kayak gitu juga, kan? Kalau sudah ada cucu pasti orang tua merestui." Nana melanjutkan argumennya.

"Nggak ada keberkahan dari pernikahan yang berawal dari zina, Ndhuk!" Ferdi meninggikan suara, menahan emosi.

"Aku kenal kamu sebagai gadis yang taat. Bahkan kamu banyak mengajarkanku soal ilmu agama. Jangan sampai karena terbelenggu nafsu, pikiranmu jadi pendek! Sekarang coba pikir lagi! Kalau kamu hamil di luar nikah, belum tentu direstui. Adanya Pakdhemu murka dan ibuku makin menghinamu sebagai wanita murahan." Ferdi mencoba menasihati kekasihnya.

"Lagipula, kamu yakin jodohmu memang aku? Kamu sendiri yang nagajarin aku soal takdir mubram dan takdir muallaq. Katamu, jodoh dan maut adalah takdir mubram yang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz sebelum kita dilahirkan, dan tidak bisa diubah. Kalau kamu terlanjur menyerahkan kesucianmu, tapi ternyata jodohmu bukan aku, mau gimana? Keperawanan masih dianggap penting bagi mayoritas lelaki negeri ini. Mau bilang apa sama suamimu nanti? Jangan bilang mau hymenoplasty! Kebohongan tetap saja akan terbongkar pada akhirnya," ucap Ferdi panjang lebar.

"Kamu juga pernah bilang kalau nanti di surga kita akan dijodohkan kembali dengan jodoh kita di dunia. Lalu menurutmu, kalau sebuah pernikahan dimulai dengan jalan zina, masih adakah kesempatan menuju surga? Atau dosa itu justru membuat kita kekal di neraka karena tak sempat bertobat?" Ferdi berkata sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk.

"Na, aku memang pendosa dan pernah berzina, sering bahkan. Tapi denganmu, aku berniat membangun keluarga yang bahagia, sakinah mawaddah wa rohmah, Na. Aku ingin semua yang kita lakukan sah secara agama dan negara. Aku ingin saat kita melakukannya, tidak sembunyi-sembunyi seperti ini. Aku ingin meniup ubun-ubunmu dan membisikkan doa di telingamu, seperti halnya pasangan suami istri yang baru menikah agar dikaruniai keturunan sholeh sholehah. Aku juga ingin, jika sudah saatnya, kita mandi jinabat berdua seperti sunnah Rasul, tanpa khawatir mendapat dosa, malah justru jadi ladang pahala." Ferdi mengucapkan kalimatnya setengah berbisik. Lelaki itu sekuat tenaga menahan sebak di dada.

Ferdi memalingkan muka ke arah lain, memberi kesempatan Nana untuk mengenakan bajunya. Masih dengan nada yang nyaris seperti bisikan, Ferdi berucap lagi.

"Na, jangan khawatir! Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku cuma mau nikah sama kamu, Sayang. Aku tetep nunggu sampai Pakdhemu mau menikahkan kita. Aku akan terus berjuang meyakinkan Pakdhe Tarso. Dan aku janji, selama kita belum sah, aku akan menjagamu tetap perawan."

"Terus, kalau memang kita nggak ditakdirkan berjodoh, gimana, Mas?" Nadhifa bertanya dengan suara serak, kentara sekali gadis itu menahan pilu.

"Kamu pernah bilang, kan, dulu? Takdir Allah adalah yang terbaik. Akupun tetap akan menjagamu. Kehormatan seorang wanita adalah tentang kesuciannya. Aku tentu lebih bahagia melihatmu diperlakukan dengan penuh penghargaan oleh suamimu karena menjaga mahkotamu. Daripada kenikmatan sesaat yang kudapat tapi berujung dosa dan penderitaanmu."

●●●

Ferdi menangis tergugu. Batinnya menanggung pilu karena telah ingkar pada janji yang telah diucapkannya. Nasi telah menjadi bubur. Benih yang ia tuai telah bersemi menjadi sebentuk janin tak berdosa di rahim yang telah sah menjadi milik suami sah Nadhifa.

Suara gemuruh petir mengembalikan Ferdi ke alam fana. Hujan sore ini sangat tidak biasa. Guyuran air yang jatuh di tengah musim kemarau menimbulkan aroma petrichor yang menenangkan. Sayangnya, menurut ilmu nujum masyarakat Jawa, 'udan salah mongso' seperti ini bukanlah pertanda baik.

Angan Ferdi kembali melayang pada peristiwa bertahun-tahun lalu. Hujan salah musim yang mengguyur daerah perbukitan Sambirejo kala itu memanglah bukan pertanda baik. Itulah saat terakhirnya bertemu Nadhifa sebelum ia kembali dipertemukan dengan wanitanya setelah berstatus istri Gus Fathan, lelaki yang sangat ia segani.

●●●

"Eh ini tutup ya, Na?" tanya Ferdi saat melihat papan pengumuman di objek wisata Bayanan.

"Iya, Mas. Katanya mau direnov jadi lebih bagus. Ini kan pemandian air panas, jadi nanti bakal dibikin ruang-ruang privat gitu biar lebih menarik ...."

"Wah, kita bisa dong honeymoon di sini, berendam berdua ... aduuh ... aduhhh," teriak Ferdi sambil menghindari cubitan Nadhifa.

Kedua sejoli itu berlarian seperti anak kecil. Siapapun yang melihat pasti iri dengan kebahagiaan sepasang kekasih itu.

"Kamu bentar lagi selesai stase kan? Kalau aku jadi ke Inggris, diizinkan atau nggak, aku tetep sowan Pakdhe Tarso. Habis itu kalau nggak direstui juga, mau tak urus semuanya di Pengadilan Agama, biar beliau dinyatakan wali adhol dan kita bisa menikah dengan wali hakim. Nah habis itu kamu tak boyong ke Cambridge sana. Wes, nggak usah mikir internship-internshipan. Kamu tak sekolahin Master di sana. Otak cerdasmu pasti gampang lulus seleksi masuk. Soal biaya, gampang, beasiswa banyak, dan aku bisa kerja part time. Wes, pokoknya kita merajut mimpi masa depan." Ferdi menguraikan rencana hidupnya saat mereka berdua duduk di bawah pohon, menikmati suasana pedesaan yang tenang.

"Iya, Mas. Pakdhe juga ngendiko, beliau habis sowan ke Ndalem dan katanya kalau Mas Ferdi serius sama Nana, Mas Ferdi diminta datang sama orang tua buat silaturahim." Nadhifa bercerita sambil tersipu malu.

Bahagia tak terlukiskan, seperti itu perasaan Ferdi saat mendengar kabar gembira itu. Dengan penuh antusias ia mempersiapkan segalanya. Termasuk meminta bantuan ayahnya untuk meminang Nadhifa.

Sayang, semua mimpi Ferdi sirna begitu saja. Wanita yang seharusnya menjadi kunci surganya telah menciptakan neraka bagi gadis pujaannya. Bukan pinangan seperti yang diharapkan, justru duka mendalam akibat kematian sang ibu harus ditanggung Nadhifa seorang diri.

Bayanan menjadi saksi perjumpaan terakhirnya dengan Nadhifa. Selanjutnya masing-masing sibuk mempersiapkan diri demi rencana masa depan. Ferdi disibukkan dengan setiap detail keberangkatannya ke Inggris. Sedangkan Nadhifa serius belajar demi kesuksesannya lulus ujian kompetensi dokter Indonesia.

Andai Ferdi tahu apa yang akan terjadi, ia pasti akan menemui Pakdhe Tarso hari itu juga, sehingga tragedi kematian itu mungkin bisa terhindarkan. Sayang, manusia pastilah bukan Sang Maha Mengetahui.

●●●

Hujan yang mengguyur semakin deras, tanpa ada tanda akan berhenti. Ferdi tergugu dalam tangis penyesalannya. Entah karena suara hujan disertai petir menggelegar atau terlalu larut dalam kesedihan, Ferdi tak menyadari ada sesosok manusia berdiri di hadapannya.

"Assalamu'alaykum, Pak Ferdi."

Sontak, Ferdi tersadar dari lamunannya. Lelaki yang berdiri di depannya berpenampilan tak seperti biasanya. Terbalut baju koko dan sarung lengkap beserta peci, sangat berbeda dengan kesehariannya yang berbaju kemeja dan celana bahan serta sepatu pantofel yang mengkilap. Tapi Ferdi tak mungkin melupakan sosoknya.

"Gus Fathan!"


Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang