Part 57

3.2K 286 61
                                    

'Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya'.

Nadhifa pasti hafal mati potongan hadist di atas, sekaligus lafal aslinya dalam bahasa Arab. Ia pun paham bahwa Fathan berusaha menjaga martabat dengan tetap bersikap baik layaknya tuan rumah. Toh, lelaki itu yang mengundang Ferdi datang ke rumahnya.

Ferdi ... mengingat lagi nama itu membuat Nadhifa kian nelangsa. Jujur, dari lubuk hati terdalam, Nadhifa turut bersimpati atas apa yang telah menimpa mantan kekasihnya selama ini. Ia sadar, Ferdi tak sepenuhnya bersalah. Lebih tepatnya, Ferdi hanya korban atas nasib buruk yang menimpa mereka semua. Takdir tidak mengizinkan Ferdi dan Nadhifa berjodoh sebagai suami istri yang sah.

Refleks Nadhifa mengelus perutnya, tempat bersemayam benih Ferdi. Batinnya kembali nelangsa, anak yang selayaknya disambut dengan penuh kebahagiaan justru menjadi sumber kesedihan bagi banyak orang karena berasal dari benih yang tidak sah. Sejenak Nadhifa tersadar, sedari tadi Fathan berdiri di hadapannya. Otomatis lelaki itu bisa melihat apa yang dilakukan Nadhifa.

"Gus, saya sudah masak Ayam Taliwang buat njenengan asto ke Temanggung. Setahu saya Kyai Siroj remen sanget sama masakan ini. Sekalian juga saya buatkan kue kaak, puding beras, falafel, sama baklava buat dzuriyah Al Furqon. Kang Khanif pernah bilang kalau keluarga Ndalem suka masakan Arab. Oh nggih, Gus, saya juga nitip nugget sama cemilan frozen buat anak-anak pondok. Mereka pasti seneng dibawain makanan." Nadhifa berusaha mengalihkan pembicaraan.

Fathan tersenyum kecut mendengar penuturan istrinya. Hati lelaki itu bagai teriris sembilu sesaat melihat tangan sang istri membelai perut yang masih rata dengan penuh sayang.

"Hebat sekali kamu, Na. Longgar banget hidupmu sempet bikin banyak masakan rumit gini. Padahal setahuku residen itu super sibuk, masih ada tugas ilmiah selain kewajiban jaga. Apalagi musim Covid kayak gini, residen PK mana yang bisa santai? Oh iya, aku lupa. Kamu residen kesayangan Pak Ferdi, pasti banyak ditentir pribadi sama dia. Lagipula sejak dulu kamu udah jadi asisten penelitiannya. Tanpa bantuan kecerdasanmu, kayaknya Pak Ferdi nggak akan secemerlang sekarang." Sebuah sindiran pedas diucapkan Fathan untuk istrinya.

Nadhifa kembali menghela nafas kasar. Pikirnya, percuma berdebat dengan Fathan yang tengah dikuasai amarah. Lagipula, apa yang diucapkan Fathan adalah kebenaran.

"Ngapunten, Gus." Nana memilih mengalihkan topik pembicaraan.

"Khodam Kyai Rasyid sempat titip sama Kang Khanif. Ini tembakau Srintil, katanya kualitas terbaik. Beliau ngendiko kalau ini khusus buat Njenengan, Gus. Beliau tahu Njenengan sama sekali nggak merokok, bahkan pernah diskusi soal hukum merokok. Cuma, dhawuh beliau kalau sekiranya Njenengan menghadapi masalah pelik, merokok bisa sedikit membuat rileks," ucap Nana sambil membuka kotak penyimpanan dan mengangsurkan isinya pada sang suami.

Fathan sedikit terhenyak mendengar penuturan Nadhifa. Masih segar dalam ingatannya, diskusi sengitnya dengan Kyai Rasyid. Ulama sepuh yang menjadi gurunya sejak remaja itu memang berpikiran terbuka. Selalu memandang masalah dari segala aspek.

Sebagai tenaga medis, tak perlu diragukan lagi bahwa Fathan meyakini rokok dan segala produk turunannnya merusak kesehatan, tidak bermanfaat. Meskipun tidak menghukumi haram, Fathan berpendapat merokok adalah makruh, yang artinya jika perbuatan itu dihindari maka berpahala, sebaliknya jika dilakukan pun tak ada dosa. Sementara Kyai Rasyid berpikir holistik, bahwa industri rokok dan aneka produk tembakau membawahi hajat hidup orang banyak. Asalkan tidak ditegaskan secara gamblang oleh Al Qur'an dan hadist tentang hukum halal haramnya, semua hal di dunia ini fleksibel, dihukumi sesuai konteksnya.

Fathan tersenyum perih mendengar pesan dari gurunya. Kyai Rasyid, mungkin sudah mencapai tahap keimanan yang tinggi hingga menguasai ilmu Laduni dan mengetahui bahwa dirinya akan menghadapi masalah yang sangat pelik. Namun, bagi Fathan yang lebih mengutamakan rasio, keluasan pengetahuan Kyai Rasyid lah yang membuat beliau bisa memperkirakan kesulitan yang sedang menimpanya.

Bagi dokter spesialis radiologi, masa pandemi Covid 19 pastilah terasa sangat berat. Rontgen dada adalah salah satu pemeriksaan terpenting untuk mendiagnosis dan mengetahui perjalanan penyakit Covid 19. Otomatis, beban kerja seorang radiologis melonjak drastis. Fathan mencoba berprasangka positif, bahwa hal itulah yang dipikirkan gurunya. Bagaimanapun juga, masalah rumah tangganya adalah aib yang sangat memalukan. Jangankan orang luar, keluarga Ndalem pun tak seharusnya tahu hal yang sebenarnya terjadi.

"Gus, semua sudah saya siapkan, kalau Njeneangan buru-buru berangkat, mumpung masih pagi." Perkataan Nadhifa membuat Fathan tersadar dari lamunannya.

Masih tanpa kata, Fathan mengulurkan tangan untuk disalami istrinya. Tak butuh uraian panjang, lelaki itu segera beranjak meninggalkan Nadhifa. Ia juga tak butuh bertanya kenapa sesiang ini sang istri belum juga pergi ke rumah sakit. Yah, wanita itu mendapat dispensasi karena tengah hamil muda, sekaligus memberikan waktu untuk berpikir tentang masa depannya sebelum sidang KPS beberapa hari lagi.

Konsentrasi menyetir Fathan sedikit buyar, pikirannya tidak fokus. Pemandangan di kanan kiri jalan menuju rumah gurunya di pedalaman Temanggung sebenarnya lumayan indah jika dinikmati. Hanya saja, prahara yang menimpa rumah tangganya membuat Fathan tak bisa menikmati apapun. Segalanya terasa pahit. Ia kembali memantapkan hati bahwa tujuan utamanya bersilaturahim pada sang guru adalah untuk menguatkan diri. Bukankah nanti malam semua akan berakhir?

●●●

Hari menjelang senja, Ferdi berputar-putar tak tentu arah mengelilingi Yogyakarta. Beruntung, masa pandemi membuat jalanan kota Yogya menjadi lengang, yang normalnya padat merayap pada jam pulang kantor. Indikator bahan bakar Ford Everest keluaran terbaru yang jadi tunggangan kesayangannya hanya menyisakan dua bar, padahal tadi diisi penuh. Entah berapa kilometer yang sudah ditempuh, namun hati Ferdi masih berkecamuk.

Ingatan lelaki itu bertualang ke masa lalu yang menyimpan banyak sekali kenangan manis bersama Nadhifa kesayangannya. Tak mungkin Ferdi lupa hangatnya tubuh Nadhifa saat mereka berpelukan sekedar menghangatkan diri saat berhenti sejenak di tepi pembangkit listrik Paiton.

Malam yang syahdu, sepasang kekasih itu berkendara menuju ujung timur Pulau Jawa. Pekatnya malam berubah jadi lautan cahaya saat kedua sejoli melintasi jalur trans jawa yang bersisian dengan pembangkit listrik Paiton.

"Mas Ferdi, berhenti dulu!" teriakan manja dari gadis pujaan membuat Ferdi menepikan mobilnya.

"Baguusssss, lampunya banyak. Romantis ...." Nadhifa berkata riang. PLTU Paiton di Probolinggo memang sangat indah jika dilihat malam hari. Cahaya lampunya gemerlapan, memuaskan mata siapapun yang melihat meskipun hanya dari kejauhan. Pagar besi yang menjadi pembatas seolah menegaskan bahwa area di dalamnya adalah area terlarang.

Ferdi tak menjawab. Lelaki itu justru merapatkan badannya pada sang kekasih, sekedar berbagi kehangatan di malam yang dingin.

"Sayang, kalau kita udah nikah, ga bakal ada batasan deh. Apa-apa halal," bisik Ferdi sambil makin mengeratkan pelukan.

Hasrat alamiah mendorong Ferdi untuk berbuat lebih. Ia menghujani Nadhifa dengan kecupan lembut. Diputarnya tubuh sang kekasih hingga keduanya berhadapan. Postur Nadhifa yang mungil membuat Ferdi sedikit menunduk untuk menyejajarkan wajah keduanya. Bibir merah merekah itu sangat menggiurkan. Tanpa banyak kata, Ferdi melumat benda kenyal itu dengan penuh hasrat. Kedua sejoli yang dimabuk asmara itu menikmati dosa yang terasa nikmat.

Lamunan Ferdi buyar saat mendengar klakson mobil di belakangnya. Tanpa ia sadari, mobilnya berjalan terlalu lambat. Entah mengapa, alam bawah sadar membuatnya menyetir ke arah tempat tinggal Nadhifa.

Masih jauh dari waktu yang dijanjikan saat Ferdi tiba di depan rumah mewah bergaya modern itu. Perasaan Ferdi mendadak galau. Hati nuraninya sebagai pendosa tidak siap untuk berhadapan dengan Fathan, lelaki yang sudah dikhianatinya dengan teramat kejam. Meski begitu, Ferdi memaksakan diri untuk memencet bel. Tak ada bedanya, hanya soal waktu, cepat atau lambat ia dan Fathan tetap harus menyelesaikan semua masalah ini.


















Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang