Part 24 (Kenangan Ferdi ~ Pencarian yang Sia-Sia)

10.4K 215 37
                                    

Ferdi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menyusuri jalan tol Solo - Kertosono. Ia keluar Pintu Tol Sragen Timur di desa Sonorejo, Sambungmacan. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan berbelok ke arah selatan di perempatan Tunjungan menuju Ketanggung, Sine, rumah orang tua Nadhifa. Pencariannya lewat data alumni di KPTU dan internet nihil. Sepertinya gadis yang dicintainya itu sengaja melenyapkan diri.

Rumah di ujung jalan itu sangat sepi, hanya terlihat seorang wanita setengah baya yang tengah menyapu halaman. Ferdi agak ragu menghampiri karena ia tidak kenal dengan wanita itu.

"Kulonuwun, Budhe. Nyuwun ngapunten ndherek tangklet. Leres niki griyane Nadhifa yogane Bu Sunari?" Ferdi menyapa wanita tua di hadapannya.

"Oalah Le. Kamu nggak tahu po? Sunari udah meninggal, wes arep mendhak pindho," wanita itu menjawab dengan bahasa campuran.

Ferdi bagai disambar petir saat mendengar berita yang sangat mengejutkan. Ibunya Nadhifa sudah meninggal dan kekasihnya itu lenyap tak tahu rimbanya. Ia hendak membuka mulut untuk bertanya lagi tapi wanita tua di hadapnnya sudah mendahului berbicara.

"Kamu opo Ferdi pacare Nana, Le?" Raut wajah perempuan itu menyiratkan kesedihan. Ia menyambung kalimatnya lagi, "Aku Sukini, budhenya Nana. Kamu nyariin Nana? Wes ojo mbok teruske olehmu nggoleki Nana! Bocah kui nasibe melasmen. Saiki wes penak panggonane. Aja mbok ganggu maneh! Wes cukup ibumu ro budhemu mrene, omongane ora penak blas, dadi jalaran geblake Sunari." Air mata mulai mengalir di pipi Sukini.

Ferdi kembali terkejut mengetahui fakta yang memilukan ini. Lebih tak menyangka jika ibu dan budhenya tega berbuat sejauh ini. Ia sudah kenal dekat dengan Bu Sunari. Bahkan pernah mengutarakan niat untuk meminang Nadhifa secepatnya. Tapi beliau meminta Ferdi untuk sedikit bersabar menunggu Nadhifa menyelesaikan koasnya. Tak pernah terlintas dalam bayangannya semua mimpi untuk merajut masa depan bersama Nadhifa akan kandas dengan cara yang sangat tragis.

Mata Ferdi terpejam. Ia berusaha menenangkan diri dan menahan air mata yang hendak meleleh. Bu Sunari memiliki penyakit hipertiroid, akibatnya detak jantungnya sering tak beraturan. Tekanan batin akibat ulah ibu dan budhenya tentu bisa menimbulkan komplikasi yang fatal.

"Ibu dan budhemu datang siang. Aku ra ngerti mereka ngrembuk apa. Tapi sing jelas bengine Sunari tibo neng jedhing. Katanya perdarahan otak. Besoknya Sunari meninggal ...." Budhe Sukini mengakhiri ceritanya dengan linangan air mata.

"Le, aku nggak bisa ngasih tahu di mana Nana. Aku yo ora ngerti. Bar geblake ibune bocah kui ora tau ketok maneh. Ziarah neng kuburane bapak ibune wae ora. Aku ora mudheng urusanmu apa karo Nana. Tapi nek nganti koe nggoleki tekan kene berarti tenanan leh mu pengen ketemu Nana. Coba takono karo Suharti, omahe Ngrambe," ucap budhe Sukini sambil menuliskan sebuah alamat. Ferdi pun mohon diri untuk melanjutkan pencariannya.

Desa Hargomulyo adalah salah satu desa tertinggi di Ngrambe. Susah payah Ferdi mencari alamat yang tertera di kertas. Untung saja kultur masyarakat desa yang sangat kental kekeluargaannya sehingga semua penduduk desa saling mengenal. Tapi lagi-lagi jawaban menyesakkan yang ia dapat.

"Nana udah nggak ada! Jangan kamu cari lagi dia! Untuk apa kamu temuin Nana kalau cuma bikin dia menderita. Wes cukup bocah kui kepaten ibune. Ojo mbok tambahi sengsara maneh!" Kalimat ketus didapat Ferdi dari Bu Suharti. Namun tidak membuatnya putus asa. Ia ingat ada satu lagi pakdhenya Nadhifa yang paling dihormati. Ke situlah tujuan pencarian berikutnya.

Mobil Ferdi bergerak ke utara, menuruni lereng gunung Lawu menuju ke desa Pandean di kecamatan Karanganyar yang berbatasan langsung dengan kabupaten Grobogan. Daerah itu terletak di ujung utara Kabupaten Ngawi dan untuk ke sana harus melewati kawasan hutan jati yang lebat. Jalannya pun rusak parah. Ferdi jelas tidak memikirkan itu semua. Baginya asalkan bisa tahu keberadaan Nana, apapun akan ia lakukan.

Rumah yang terbuat dari kayu jati itu tampak sudah berumur. Ferdi hafal betul rumah Pakdhe Tarso. Dulu Nana pernah mengajaknya ke situ. Ia pun pernah meminta izin beliau untuk meminang kekasihnya setelah kepulangannya dari Inggris. Pakdhe Tarso orang yang baik dan ramah. Namun mengingat ulah ibunya, Ferdi nggak yakin beliau akan menyambutnya dengan hangat.

Benar saja. Baru saja Ferdi memberi salam dan kulonuwun, Pakdhe Tarso sudah memberondongnya dengan kata-kata kasar.

"Koe!" Jari lelaki bersahaja itu tepat berada di depan hidung Ferdi.

"Mau apa lagi ke sini? Belum puas kamu hancurkan hidup adik dan ponakanku? Dengar ya, Le! Kami memang orang desa. Kami orang miskin! Tapi kami punya harga diri! Dunia akhirat aku nggak ridho sama perbuatan ibu dan budhemu. Gusti Allah ora sare! Sapa sing nandur bakal panen!" Pakdhe Tarso berkata dengan amarah yang meluap-luap.

Ferdi bersimpuh di hadapan lelaki tua itu. Ia meratap pilu dan memohon ampun atas kesalahan yang tidak pernah diperbuatnya. Sayangnya hati Pakdhe Tarso sama sekali tidak tersentuh, bahkan semakin membenci Ferdi.

"Pak, tolong! Saya nggak bisa hidup tanpa Nana. Cuma dia wanita yang pengen saya nikahi. Saya rela disuruh apapun untuk menebus dosa ibu dan budhe saya. Apapun ... asalkan saya bisa ketemu Nana." Ferdi bersujud mencium kaki pakdhe Tarso.

"Mau kamu sujud sampai kiamat pun, nyawa Sunari nggak bisa balik. Nggak usah kamu tanya di mana Nadhifa! Anggap aja dia sudah meninggal. Toh seandainya ia masih hidup, aku sebagai wali nasabnya nggak akan sudi menikahkannya denganmu!" Itu kalimat terakhir Pakdhe Tarso sebelum ia mengusir Ferdi dan membanting pintu rumahnya.

Ferdi meratapi nasibnya. Apa benar yang dibilang Pakdhe Tarso kalau Nana sudah meninggal. Seluruh tubuh Ferdi terasa lunglai membayangkan kemungkinan terburuk itu. Dan sesaat kemudian tenaganya pulih kembali. Ia perlu memastikan di mana kuburan Nana kalau memang gadis itu telah tiada.

Mendadak Ferdi ingat bahwa tadi ia melewati makam desa. Pikirnya jika benar Nana sudah wafat maka ada dua kemungkinan dimakamkan, di Pandean kampung pakdhenya atau di Ketanggung dekat dengan makam ibunya.

Satu demi satu Ferdi membaca nama yang tertera pada nisan, tak ada nama Nadhifa. Sedikit kelegaan menyeruak di hati Ferdi. Tapi ia perlu memastikan ke Ketanggung. Dipacunya mobil dengan kecepatan tinggi. Goncangan keras akibat jalan bergelombang tak dirasakannya.

Sampai di makam Desa Ketanggung, Ferdi melesat masuk. Hari yang mulai gelap tidak membuat Ferdi takut sendirian di makam. Dengan teliti ia membaca tulisan pada batu nisan hingga menemukan nama kedua orang tua Nadhifa yang dimakamkan berdampingan. Tapi tak ada nama Nadhifa. Ferdi merapalkan doa ziarah kubur pada dua orang yang terbaring di dalam sana.

"Pak, Bu, maafkan ibu dan budhe saya! Tapi saya sangat mencintai Nadhifa. Saya janji akan mencarinya sampai ketemu. Saya akan bahagiakan dia ...." Ferdi mencium masing-masing kepala nisan dan menbersihkan rumput serta daun kering yang mengotori makam. Kemudian ia mohon pamit.

Ferdi hendak memasuki mobilnya saat didengarnya orang-orang desa tampak heboh. Mereka berlarian ke arah barat.

"Ada mayat gadis muda di Kedungkambang," jawab salah seorang warga saat Ferdi bertanya kepadanya.

Pikiran Ferdi kembali kacau. Gadis muda ... ia takut kalau itu adalah Nadhifa. Tanpa pikir panjang ia ikut berlari bersama orang-orang ke arah sumber kegaduhan. Sesampai di sana dan memastikan mayat itu bukan mayat Nadhifa, Ferdi tertawa seperti orang gila. Menertawakan kebodohannya. Nana gadis yang sangat cerdas, tak mungkin berpikiran pendek. Meski begitu tetap saja hatinya perih karena keberadaan Nana tetap misterius.

Keterangan
1. "Kulonuwun, Budhe. Nyuwun ngapunten ndherek tangklet. Leres niki griyane Nadhifa yogane Bu Sunari?" : "Permisi budhe, mohon maaf mau tanya. Apa ini bener rumahnya Nadhifa anaknya Bu Sunari?
2. Mendhak pindho : dua tahun
3.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang