Part 62

4K 339 119
                                    

Fathan sedikit terhenyak mendengar kalimat Ferdi. Namun tak urung ia menjawabnya. "Monggo, Pak Ferdi. Kalau saya bisa menjawab, insya Allah saya jawab dengan jujur. Tapi kalau karena suatu hal saya nggak bisa jawab, saya harap Sampeyan bisa maklum."

"Nggih, Gus. Tadi Prof. Richard mengirimkan email untuk saya. Tentang PGD, screening genetik embrio yang jadi penelitian saya. Beliau menawarkan saya untuk melanjutkan dan mendalami lagi soal ini. Saya juga diminta menghubungi Njenengan, kalau-kalau Njenengan kerso bergabung lagi melanjutkan penelitian yang dulu Njenengan tinggal. Apakah itu benar, Gus?" Nada bicara Ferdi bergetar saat menanyakannya.

Meski terkejut, Fathan berusaha tersenyum. Setenang mungkin ia menjawab pertanyaan Ferdi. Hatinya bergemuruh, tak menyangka jika pada akhirnya semua rahasianya akan terbongkar.

"Iya, benar Pak Ferdi ...."

"Jadi, semua data dasar yang sangat esensial untuk penelitian saya semua hasil kerja keras Njenengan? Dengan kata lain, seharusnya Njenengan yang lebih berhak dapat penghargaan atas penelitian ini. Lalu, saya? Kenapa Njenengan nggak ngendiko sejak dulu, Gus? Saya benar-benar berhutang budi sama Njenengan. Malah saya ... duh Gusti ...." Ferdi tak sanggup mengendalikan diri. Ia menangis tergugu seperti anak kecil.

"Nggak apa-apa Pak Ferdi, nggak ada yang perlu disesali. Lagipula, andai saya bilang sejak awal, apakah jadi jaminan kalau Njenengan nggak akan berzina dengan istri saya?" ucap Fathan ketus.

"Saya bener-bener manusia nggak tahu diri, Gus. Saya menerima budi yang tak terkira dari Njenengan, tapi apa balasan saya?" Ferdi meraung frustasi

Berkali-kali Fathan mengembuskan nafas kasar. Ia berusaha mengorek memori masa lalu meskipun itu membuka luka lama di kalbunya.

"Sudahlah, Pak Ferdi, ini hanya kebetulan saja. Saya memang berniat tidak melanjutkan penelitian saya. Awalnya, saya sangat bersemangat, karena dengan metode analisis genetik pada embrio, kita bisa mencegah kelainan kromosom, seperti Sindrom Klinefelter yang saya derita. Saya juga mendalami bidang infertilitas agar bisa membantu orang-orang yang senasib dengan saya memperoleh keturunan yang diidamkan. Sayangnya, kehidupan atheis di sana membuat saya harus mundur. Dengan screening genetik, orang enak saja membuang embrio yang tidak sesuai harapan mereka. Padahal secara medis, embrio adalah makhluk hidup. Sayapun mundur dari segala hal terkait infertilitas. Yah, Sampeyan pun pernah atheis, Pak Ferdi. Pasti paham jika norma kemanusiaan untuk para atheis hampir tidak ada. Donor sperma dan donor ovum tanpa mempedulikan nasab, sewa rahim dan ibu pengganti. Bahkan, pasangan sejenis kaum Nabi Luth yang berniat mengikuti program karena menginginkan anak ...." Fathan terdiam sejenak, berusaha menetralisir gejolak di dadanya.

"Sekalian saya juga minta maaf, pernah ingin membunuh janin Sampeyan yang bersemayam di rahim istri saya." Perih sekali rasanya hati Fathan saat mengucapkan kalimat ini.

"Semua sudah takdir, Pak Ferdi. Saya berusaha sekuat mungkin ikhlas menjalani takdir dan merelakan milik saya hilang, jika itu tidak jadi rezeki saya. Sudahlah, anggap saja semua penghargaan dan royalti itu memang sudah jadi rezeki Sampeyan ...." Fathan memaksa tersenyum.

"Saya sudah merasa cukup dengan apa yang saya jalani saat ini." Fathan menutup penjelasannya. Dalam hati ia berharap Ferdi tidak bertanya lebih lanjut. Sayangnya, harapan Fathan punah. Ferdi kembali menanyakan pertanyaan yang sangat menguji kejujurannya.

"Jadi cerita itu benar? Dari salah satu radiolog, junior Njenengan, saya dapat cerita kalau sebenarnya Njenengan sangat berminat pada infertilitas. Tapi karena suatu alasan yang tidak diketahui, Njenengan mendadak mundur. Saya paham alasan Njenengan memilih Kedokteran Nuklir ...." Ferdi terdiam sejenak. Ia seperti memikirkan sesautu.

Setelah menyusun semua kepingan puzzle kisah hidup Fathan, Ferdi mendadak terkejut. Jantungnya berdentam keras saat menyadari kenyataan pahit di balik semua rahasia Fathan.

"Gus, penelitian terbaru Njenengan adalah tentang radioterapi spesifik untuk kanker prostat, berfungsi membersihkan sisa sel kanker pasca operasi dan meminimalisir metastasis pada kanker yang udah non-operable. Apakah ini artinya ...."

"Stop, Pak Ferdi!" potong Fathan cepat.

Ferdi terkejut mendengar nada suara Fathan yang setengah membentak. Saat dilihatnya sorot mata Fathan bukan mencerminkan kemarahan. Namun, tatapan memohon dengan sangat.

Fathan berusaha mengendalikan dirinya. Bukan sekarang waktu yang tepat untuk membongkar rahasia terdalamnya. Andai suatu saat semua terbongkar, setidaknya bukan di hadapan Nadhifa dan tidak mempengaruhi anggapan wanita itu terhadapnya.

"Pak Ferdi, saya rasa cukup pertanyaan Sampeyan. Ada banyak hal di dunia ini yang membuat kita lebih baik diam dan pura-pura tidak tahu, meskipun kita sangat yakin kebenarannya. Sampeyan spesialis patologi klinik pasti paham betul bahwa pemeriksaan PCR dengan sampel dari swab saluran nafas atas sama sekali tidak sensitif untuk pasien kritis. Negatif palsu sangat mungkin terjadi karena otot pernafasan dan paru-paru yang sudah lemah, sehingga refleks pernafasan tidak adekuat. Alhasil virus di saluran nafas atas hampir tidak ada. Sampel dari saluran nafas bawah lebih dianjurkan untuk pemeriksaan ini. Tapi metode pengambilan yang sangat invasif dan risiko aerosol sangat besar, ditambah personil ahli dan sarana prasarana yang tidak memungkinkan membuat opsi ini sangat sulit. Jadi berdamai dengan kenyataan tanpa perlu menunjukkan kebenaran, seringkali adalah opsi terbaik." Fathan mendaraskan nasihatnya.

Fathan menghembuskan nafas kasar. Ia berusaha kembali menata hati untuk mengungkapkan semua rencana yang telah disusun matang.

"Pak Ferdi, semua dokumen sudah saya siapkan. Tujuan utama saya pulang dari Cambridge adalah menyelesaikan masalah diantara kita bertiga. Segera saya akan mengurus perceraian dengan Nadhifa, setelah itu berbahagialah kalian ...."

"Tunggu!" Suara melengking Nadhifa sedikit mengejutkan Fathan. Membuat lelaki itu tak jadi melanjutkan ucapannya.

"Gus Fathan, Pak Ferdi, kalian membicarakan nasib saya tapi sama sekali tidak menganggap keberadaan saya. Seolah saya seperti barang atau hewan peliharaan yang dengan mudah dioperkan. Saya manusia! Saya punya hati dan perasaan ...." Tangis Nadhifa pecah sebelum ia mampu menyelesaikan ucapannya.

"Gus, Njenengan tega menjatuhkan talak mu'allaq atas diri saya. Tapi saya tidak akan pernah setuju jika diceraikan dengan cara seperti itu. Saya memang sudah tidak pantas jadi istri Njenengan, saya pezina dan tengah mengandung benih hasil zina ...." Nadhifa tak sanggup mengendalikan diri. Isak tangisnya sungguh menyayat hati.

"Gus Fathan, jika memang Njenengan sudah tidak mengharapkan saya jadi istri, lafalkan talak munajjaz sekarang juga, biar Pak Ferdi jadi saksinya! Biar nasib saya tidak digantungkan. Percuma jadi istri tapi tak pernah dianggap. Lafalkan, Gus! Jika sudah jatuh talak, saya akan pergi dari hadapan Njenengan saat ini juga. Tak ada iddah untuk saya, istri yang tidak pernah Njenengan campuri ...."

"Na!" Fathan berusaha memotong pembicaraan istrinya.

"Kenapa, Gus? Nggak usah takut, tak ada yang akan membela wanita yatim piatu seperti saya. Soal dosa, biarlah Allah, seadil-adilnya hakim yang menentukan mana yang lebih besar dosanya. Apakah dosa saya si pelaku zina, atau dosa Njenengan yang tidak mu'asyarah bil ma'ruf selama menajalani pernikahan!"

Fathan sangat terkejut. Untuk pertama kalinya Nadhifa mengucapkan kalimat yang menusuk. Tak berusaha mendebat, Fathan hamya mampu menatap istrinya dengan pandangan nanar.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang