Part 69

3K 285 64
                                    

Keempat manusia yang berada dalam ruang tamu Pak Tarso saling membisu. Tak ada yang berniat membuka suara. Bahkan saat makanan terhidang, semua menikmati dalam diam.

Gelenyar aneh menyusup di dada Fathan saat menyantap hidangan yang disuguhkan. Rasa hidangan pedesaan yang teramat sederhana tapi membuka kenangan perih tentang mantan istrinya. Tepo tahu, brambang asem, dan pepes tahu daun beluntas masakan Budhe Tarso mirip dengan buatan sang istri.

Wanita yang ia biarkan tetap gadis selama pernikahan mereka ternyata telah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi istri. Nadhifa yang pintar dan haus ilmu pengetahuan, mau bersusah payah belajar memasak demi menyenangkan sang suami. Fathan mengakui, semua hasil olahan tangan sang istri sangatlah menggugah selera. Tak hanya piawai mengolah makanan timur tengah kesukaannya seperti roti canai, nasi kebuli, dan hummush, Nadhifa juga ahli meracik segala macam masakan Indonesia.

"Gus."

Fathan menghentikan kunyahannya saat mendengar Pakdhe Tarso memvuka kata. Meskipun Ikram juga sering dipanggil Gus, namun Fathan sangat paham siapa yang dimaksud Pakdhe Tarso kali ini.

"Saestu, kula wantun sumpah nyebut asmane Gusti Allah kaliyan Rasulullah. Rumiyin kula masrahke Gendhuk dhumateng Pak Kyai kajenge dirumat kanthi becik, mangertos ilmu agami. Mboten kados kula, ngaji fatekah mawon grothal grathul mboten fasih. Donga nggih sagede namung donga sapujagad." Pak Tarso tentu merendah dengan ucapannya. Beliau adalah Kyai kampung yang cukup disegani.

(Bener, saya berani sumpah menyebut nama Allah dan Rasulullah. Dulu menitipkan Gendhuk -panggilan sayang untuk anak perempuan Jawa- kepada Pak Kyai agar diasuh dengan baik, paham ilmu agama. Tidak seperti saya, membaca Al Fatihah saja terbata-bata, tidak fasih. Berdoa pun bisanya hanya doa sapujagad)

"Kula blas mboten nggarah Gendhuk dipundhut mantu Pak Kyai, mboten wantun, Gus. Kula nggih mboten mudheng spesialis niku napa. Wonten manah kula, angger Gendhuk saged dados tiyang migunani tumrap masyarakat, niku mawon sampun cekap. Kula mpun remen sanget menawi Gendhuk saged glidhik teng Banyuasin, Krajan, utawi tebih-tebihipun nggih Sidorejo. Menawi dipunpendheti tulung nambani sedherek saged mbiyantu. Kula nggih mboten ngimpi Gendhuk dados semahipun putrane Kyai Hasan. Kula namung nyuwun Gendhuk diparingi jodoh priya ingkang sholeh, pinter ngaji saged mimpin donga, sokur-sokur ahli sholawat." Pak Tarso melanjutkan kalimatnya dengan nada getir. Sesekali lelaki tua itu menoleh ke arah Ikram, sosok yang menurutnya jauh lebih pantas jadi suami keponakannya.

(Saya sama sekali tidak mengharapkan Gendhuk diambil menantu Pak Kyai. Tidak berani, Gus. Saya juga nggak paham spesialis itu apa. Dalam benak saya, asal Gendhuk bisa jadi orang berguna untuk masyarakat, itu saja cukup. Saya sudah seneng banget kalau Gendhuk bisa kerja di Banyuasin -Puskesmas Karanganyar-, Krajan -Puskesmas Sine-, atau jauh-jauhnya ya Sidorejo -Puskesmas Ngrambe-. Kalau diminta tolong mengobati saudara bisa bantu. Saya juga nggak mimpi Gendhuk jadi istrinya putra Kyai Hasan. Saya cuma minta Gendhuk diparingi jodoh lelaki sholeh, pintar mengaji, bisa memimpin doa, bagus juga kalau ahli sholawat)

"Gus, kula priyayi dusun, nyuwun duka menawi mboten mudheng sekolah njenengan napa. Ingkang kula mangertosi njenengan sekolah inggil, tapi mboten kados lumrahe putra Kyai. Njenengan mboten nate jamaahan, pengaosan kados dene Gus-Gus sanes." Kalimat Pak Tarso yang disampaikan dengan halus terasa perih menghunjam dada Fathan.

(Gus, saya orang desa, mohon maaf kalau saya nggak tahu apa sekolahmu. Yang saya tahu, kamu sekolah tinggi tapi nggak seperti lazimnya anak kyai. Kamu nggak pernah berkumpul dan pengajian seperti halnya Gus yang lain)

"Gus, kula naming nyuwun. Menawi njenengan mpun mboten ngersakke Nana, monggo njenengan wangsulke kanthi sae. Kula suwun njenengan saged ngendiko wonten ngajengipun Pak Kyai. Kajenge jembar manah kula, ugi Pak Kyai mboten menggalih ingkang sanes-sanes. Ajeng kula suwun wangsul Gendhuk. Menawi jodohipun Gendhuk kalih njenengan namung dumugi semanten, kula suwun njenengan ampun rawuh malih dhumateng mriki. Kula mboten sanggup menawi mangertosi Gendhuk nelangsa ningali panjenengan."

(Gus, saya cuma minta. Kalau kamu sudah tidak menghendaki Nana, silahkan kembalikan dia baik-baik. Saya minta kamu bisa bilang di hadapan Pak Kyai. Biar lega hati saya, juga Pak Kyai tidak berpikir yang bukan-bukan. Mau saya ambil balik Nana. Kalau jodohnya sama kamu cuma sampai di sini saja, saya minta kamu jangan datang ke sini. Saya nggak sanggup kalau lihat Nana nelangsa jika melihatmu.)

Kalimat pamungkas Pak Tarso sukses membungkam Fathan. Lelaki itu tak sanggup menangkis semua tuduhan Pak Tarso. Ia hanya menunduk, menandakan rasa bersalah yang dalam.

Tak ada pembahasan lagi tentang Nadhifa setelah itu. Pak Tarso pun memilih mengalihkan topik. Entah sengaja atau tidak, lelaki sepuh itu tak pernah melibatkan Fathan dalam pembicaraan. Pemilihan bahan obrolan tentang tasawuf, tawassul, tabarruk jelas Ikram jauh lebih paham. Ikram belajar di pondok salaf, tak seperti Fathan yang mondok di pesantren modern kemudian melanjutkan belajar di universitas negeri.

Jengah karena dianggap tak ada, Fathan beranjak ke belakang. Niatnya mendinginkan hati dan mencoba berpikir untuk menyelesaikan semua dengan kepala dingin. Tak ada penyesalan sedikitpun telah menceraikan Nadhifa. Istri durhaka dan pezina itu pantas mendapatkan ganjaran.

"Gus." Suara lembut perempuan sepuh mengagetkan Fathan.

Saat menoleh, Fathan melihat istri Pak Tarso menunduk sambil mengusap lelehan air mata di pipi.

"Gus, menawi saged ampun pisah kalih Gendhuk. Ewodene pisah, kula suwun Njenengan wangsulke piyambak teng mriki. Kula tom-tomen kados rumiyin, Gendhuk kesah mboten pamit, angel padosanipun."

(Gus, kalau bisa jangan cerai sama gendhuk. Misalpun berpisah, saya minta kamu kembalikan dia ke sini. Saya trauma kejadian dulu, Gendhuk perbi nggak pamit)

Fathan tak menjawab apapun. Ia memilih diam dan kembali menyendiri. Lelaki itu baru tersadar saat Ikram memanggil. Adik iparnya memang ada jadwal mengisi pengajian di Ngendhut, desa tertinggi di Kabupaten Ngawi yang masuk kecamatan Ngrambe.

"Pesareane Sunari kalihan Rohmad teng pinggir margi Tanggung arah Sine, Gus. Mangke kelewatan. Monggo panjenengan menawi badhe lajeng teng sarean. Kula mangertosi, panjenengan mboten kulinten manaqiban, mbokmenawi mboten kerso dugi Ngendhut." Lagi-lagi Pak Tarso mengeluarkan kalimat halus tapi menohok.

(Makamnya Sunari dan Rohmah -orang tua Nadhifa- di tepi jalan Tanggung -Ketanggung- arah Sine, Gus. Nanti kelewatan. Silahkan anda kalau mau langsung ke makam. Saya paham, anda tidak terbiasa manaqiban, mungkin tidak mau sampai Ngendhut).

●●●

Ferdi memacu motornya dengan kencang membelah jalan Sukowati Timur menuju ujung perbatasan Jawa Tengah. Tujuannya jelas ke arah kampung halaman sang pujaan hati. Sengaja ia membawa motor karena ia paham jalan ke arah desa asal Nadhifa sedikit sempit dan agak bergelombang dengan aspal tidak rata, khas jalan kampung. Meski risikonya perjalanan mengendarai motor memakan waktu lebih lama karena tidak melalui tol.

Tepat di perempatan Mantingan, Ferdi berniat belok kiri, menuju Pandean, rumah Pakdhe Tarso. Namun sudut matanya menangkap Fortuner silver metalik yang tampak tidak asing. Sambil menjaga jarak, Ferdi memilih mengikuti mobil Fathan. Pikirnya, jika sampai Fathan berkunjung ke rumah Pakdhe Tarso pasti ada hal penting yang akan disampaikan.

Ferdi berpikir jika Fathan berniat menceraikan Nana, bukankah ini kesempatan untuknya. Lagipula di rahim Nana ada janin yang berasal dari benihnya. Kalau Fathan sudah menceraikan Nana, apalagi yang jadi pilihan wanita itu selain menerima dirinya.

●●●

Nadhifa setengah berlari ke arah bus yang akan membawanya pergi dari Yogyakarta. Mendadak langkahnya terhenti saat merasakan sesuatu yang hangat mengalir di paha. Tanpa melihat ke bawah, ia paham itu adalah darah yang berasal dari kandungannya.

Mengurungkan niat untuk mengejar bus, Nadhifa memilih untuk duduk di pinggir terminal. Ia kembali meraba perutnya yang berkontraksi. Sebagai dokter, ia paham kalau saat ini ia tengah dalam ancaman keguguran (abortus iminens).

Pikiran Nadhifa kacau. Satu sisi ia tak mau membahayakan janinnya, namun di sisi lain juga tak tahu harus kemana dan meminta bantuan siapa. Jika menghubungi salah satu keluarga, semua aib pasti akan terbongkar.

Hanya satu nama yang ada di benak Nadhifa. Ia memindai daftar kontak di ponsel pintarnya dan mengetik sebuah nama. Satu-satunya orang yang sanggup berbuat apa saja demi dirinya.

Mohon maaf lama nggak update.. memulihkan mood menulis itu sangat susah.. terimakasih yang sudah sabar menunggu..

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang