Part 56

5.3K 325 117
                                    

Nadhifa merasa tertohok mendengar ucapan Fathan. Apalagi suaminya itu masih melanjutkan pembicaraan.

"Banyak sekali kenangan yang kamu lalui bersama Pak Ferdi. Dia dulu sering ke rumahmu di Ketanggung dan kalian banyak menghabiskan waktu di tempat-tempat wisata sekitar sana. Tetap romantis walaupun sederhana ...." Usai mengucapkan kalimatnya, Fathan masih menatap Nadhifa. Seolah mengharapkan jawaban dari wanita itu.

Nadhifa memilih diam, tak menanggapi pembicaraan Fathan. Ia paham, apapun jawaban yang diberikan tetap saja membuat Fathan meradang.

'Man kana yu'minu billahi wal yaumil akhir falyaqul khoiron auliyasmut'

Potongan hadist itu diingat benar oleh Nana. Artinya 'Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata baik atau lebih baik diam'.

Nadhifa memilih melanjutkan memasaknya dalam keheningan. Kalimat Fathan mau tak mau membuatnya mengingat segala kenangan bersama Ferdi.

Tak dipungkiri bahwa Ferdi sangat manis memperlakukan Nadhifa. Jauh sekali dibanding sikap Fathan atas dirinya. Aneka peristiwa masa lalu berkelebatan dalam benak Nadhifa.

●●●

"Na, ayo naik sini, Sayang! Mau kugendong, po kalau capek? Hei! Liat, Na! Dari atas sini bagus banget waduknya." Ferdi setengah berteriak riang seperti anak kecil.

Bukit kecil di dusun Bayut, Desa Jambeyan itu sering disebut Bukit Cinta. Entah siapa yang pertama kali menyebut seperti itu. Mungkin semacam othak athik gathuk ala orang Jawa, sekedar meningkatkan popularitas di kalangan anak muda. Waduk Gebyar yang membentang di bawah memang sekilas tampak seperti jantung hati lambang cinta jika dilihat dari puncak bukit.

"Konon katanya kalau pasangan bisa mendaki bareng ke sini bakal langgeng, Na."

"Hahaha, jangan percaya mitos, Mas. Semua itu takdir. Tergantung kita yang jalanin gimana. Lha wong ada yang bilang kalau hatinya nggak bersih malah bisa putus. Makanya jangan gampang dibohongi sama khurofat. Dosa lho kalau percaya"

"Siap, mbak santri."

Sebuah pelukan hangat dan kecupan mesra di pipi dihadiahkan Ferdi untuk Nadhifa.

"Saya kan cuma khodimah, Mas. Bukan santri ...."

Ingatan Nadhifa kembali berkelana. Sekilas ia kembali terkenang peristiwa saat Ferdi mengajaknya ke air terjun Pengantin di desa  Hargomulyo, dekat rumah buliknya di Ngrambe.

"Sayang, kamu tahu nggak kenapa dinamakan air terjun Pengantin?" tanya Ferdi usai memaksa Nadhifa untuk berbasah ria demi menyentuh bebatuan di balik air terjun. Untung saja pada musim kemarau airnya nggak terlalu deras.

"Kamu lihat sendiri kan? Aliran air terjunnya ada dua berdampingan kayak saumi istri. Yang ini konon airnya dari sungai lahar Gunung Lawu, terus yang sebelah sana sumbernya dari mata air deket sini. Nah, kalau kita bisa nyentuh batunya, katanya bakal langgeng sampai tua." Ferdi menjelaskan dengan lengkap.

"Hahahaha, Mas Ferdi ini lulusan Master dari United Kingdom kok ya masih percaya mitos. Itu kan cuma bikinan orang biar wisatanya laris. Nama aslinya itu Grojogan Ndungji."

"Sayang, aku serius," ucap Ferdi lagi saat dilihatnya sang kekasih menertawakan ceritanya.

"Na, aku serius sama kamu." Ferdi mengulangi ucapannya. Suaranya berlomba dengan deburan air terjun.

"Aku bener-bener mau menikahimu. Tapi sepertinya Pakdhemu agak keberatan. Beliau bilang nggak akan menikahkanmu sama lelaki yang sholatnya belum bener."

"Oh iya, soal sholat. Sebenernya bapakku dulu santri. Aku belajar ilmu agama dulu aja sema beliau. Semoga pakdhemu luluh."

"Eh ngomong-ngomong kuliahmu dibiayain Kyai Hasan ya? Jangan-jangan beliau mau jadiin kamu mantu. Putranya ada yang dokter kan? Gus siapa itu aku lupa. Wah bahaya, aku nggak mungkin sanggup bersaing sama dia soal agama. Kayak neraka sama surga." Ferdi menutup ucapannya dengan tertawa renyah.

"Nggak mungkin lah, Mas. Gus Fathan ya nggak mau sama Nana, jelas nggak sekufu. Gus Fathan itu lulusan Pondok besar, kuliahnya juga pinter, beasiswa terus ke Cambridge, ganteng juga kayak artis Korea. Masak mau sama Nana yang cuma khodimah. Banyak Kyai yang ngersakke beliau jadi mantu."

Tanpa diminta Nadhifa menjelaskan pada Ferdi tentang strata tidak tertulis di pondok. Termasuk menegaskan posisinya yang hanya seorang khodimah, melayani Nyai Nafisah dan Ning Zulfa. Meskipun ia hanya sekedar ndherekke tindakan bukan mengurus pekerjaan domestik, tetaplah status sosialnya jauh di bawah keluarga Ndalem.

Kenangan mengantarkan Nadhifa pada peristiwa di dekat puncak Hargodalem. Ferdi sedikit memaksanya mendaki Gunung Lawu dan memilih jalur Jogorogo yang tidak lazim dilalui para pendaki. Medannya yang panjang dan terjal membuat jalur ini kalah pamor dengan jalur Cemoro Kandang, Cemoro Sewu, dan Candi Cetho. Yang disebut terakhir konon memiliki pemandangan terindah bila dibandingkan yang lain.

Menjelang musim kemarau, suhu di Puncak Lawu jatuh hingga -4°C. Embun pagi yang membeku menutupi dedaunan hingga tampak seperti kristal. Masyarakat setempat menyebutnya upas.

Nadhifa menggigil dalam gendongan Ferdi. Jaket tebal yang membungkusnya tak mampu mengusir rasa dingin. Ia hanya terkulai pasrah dalam gendongan Ferdi. Beruntung, tubuhnya yang mungil membuat Ferdi tak terlalu kepayahan membopongnya menuruni Puncak Lawu arah ke Cemoro Sewu.

"Sayang, maafkan aku. Aku janji nggak akan maksa lagi." Kalimat itu diucapkan Ferdi berulang-ulang.

Lelaki gagah itu menyimpan penyesalan yang teramat dalam. Tak seharusnya ia memaksa Nadhifa mengikuti hobi ekstremnya mendaki gunung. Andaikan sekedar memperkenalkan pun tak sepantasnya mengajak Nana melewati Jalur Jogorogo yang curam dengan jarak tempuh tiga kali lipat dibanding melalui Cemoro Sewu. Harusnya ia memikirkan fisik Nana yang mungil dan baru pertama naik gunung.

"Ya Allah Gusti! Sayang! Sehat ya! Maafkan aku, Nana! Aku janji nggak akan maksa kamu lagi. Sumpah! Bahkan kalau kamu udah nggak mau sama aku, aku nggak akan maksa. Mending kamu bahagia sama orang lain daripada sengsara sama aku." Rasa khawatir yang sangat membuat Ferdi mengucapkan janji. Ia tentu tak pernah tahu bahwa di masa depan kata-katanya itu menjadi kenyataan.

●●●

Tak terasa air mata Nadhifa menetes mengenang semua itu. Buru-buru ia mengesat air mata dengan ujung lengannya. Dalam hati berharap Fathan yang masih berdiri tegak di hadapannya tak melihat.

"Begitu dalam ya kenanganmu sama Pak Ferdi. Sampai kamu menangis haru. Beda denganku. Saat bersamaku pasti hanya menyisakan tangisan perih ...." Fathan mengucapkan kalimatnya dengan bergetar. Air mata yang sempat meleleh meyakinkan bahwa Ferdi masih menempati tempat istimewa di hati istrinya.

Dari nada bicara sang suami, Nana paham bahwa Fathan pun memendam kegetiran yang sama. Ia memilih tidak membalas ucapan suaminya dan melanjutkan mengulek bumbu untuk kuah Tahu Tepo.

"Andai aku tahu hubunganmu dengan Pak Ferdi sejauh itu dan kalian saling mencintai, aku pasti akan menolak menikahimu, Na. Ah, sudahlah, setelah kita resmi bercerai dan masa iddahmu habis, toh kamu bebas menikah dengan siapapun ...."

Nadhifa masih terdiam. Ia tidak mau memperkeruh suasana. Dari sudut matanya ia melirik Fathan tengah memicit pangkal hidung. Kebiasaan yang sering dilakukan jika sedang memikirkan banyak hal berat.

"Gus ...." Nadhifa berniat mendekati Fathan, sekedar memijit pundak atau menawarinya kopi pahit. Zat kafein dalam kopi sedikit membantu mengurangi nyeri kepala.

"Aku nggak apa-apa, Na," tolak Fathan.

"Jangan lupa siapkan jamuan terbaik ya untuk Pak Ferdi nanti sore. Menjamu tamu adalah kewajiban kita. Meskipun tamunya seorang pezina dan merusak rumah tangga si tuan rumah, tapi aku mengundangnya. Jadi aku harus memuliakannya sebagai tamu." Kalimat itu diucapkan Fathan dengan penuh penekanan.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang