Part 3

15.9K 346 4
                                    

"Mbak Dhifa, Pak Ferdi itu saudaramu po?" Eke, temannya sesama residen mendadak bertanya pada Nadhifa.

Nadhifa sedikit gelagapan mendapat pertanyaan yang tak terduga seperti itu. Ia berusaha menguasai diri, kemudian menjawab sediplomatis mungkin.

"Kalau dari pihakku sih enggak, Mbak. Entah dari pihak mas Fathan. Tahu sendirilah saudara mas Fathan di mana-mana. Sampai nggak apal aku. Ngomong-ngomong mbak Eke kok nanya gitu? Emang kenapa, Mbak?" Nadhifa balik bertanya

"Ah enggak apa-apa, penasaran aja. Emang mbak Dhifa ga denger gosip po?"

"Eh, lha gosip apa, Mbak? Aku kalau nggak ada tugas negara ya pulang ke kost, istirahat. Jarang ngobrol aneh-aneh juga sama analis." Sebersit rasa penasaran timbul di hati Nadhifa.

"Soal dirimu sama pak Ferdi ...."

"Hah? Apa-apaan? Aku sama sekali nggak ada hubungan khusus sama beliau," cepat-cepat Nadhifa membantah, sebelum kabar burung itu semakin meluas.

"Lha katanya pak Ferdi itu yang mbawain berkasmu ngadhep Prof. Harso buat minta rekom? Ya emang semua juga tahu sih kalau nilai Mbak Dhifa pas seleksi kemarin tertinggi. Tapi teteplah rekom dari Prof jadi pertimbangan terkuat."

Nadhifa benar-benar terperanjat mendengar penuturan Eke. Ia memang tidak tahu menahu soal berkas pendaftarannya. Semua diurus Fathan, dikirim via surat elektronik dari Inggris. Suaminya itu hanya mengatakan bahwa perihal rekomendasi dan tethek bengek pendaftaran termasuk legalisir dokumen sudah diurus temannya. Nadhifa jelas tidak menaruh prasangka apapun karena Fathan memiliki banyak teman di mana-mana. Tapi mengetahui fakta bahwa suaminya itu bersahabat baik dengan Ferdi benar-benar sebuah kejutan untuknya.

"Mbak Dhifa! Kok diem aja? Kenapa? Pantes aja Pak Ferdi selama ini kayak perhatian banget sama njenengan. Ngajarin semua ilmunya ke kita. Yaa mungkin nggak enak aja kalau yang diajak cuma njenengan. Tapi ati-ati lho, Mbak! Suamimu kan jauh di Cambridge sana, sementara Pak Ferdi high quality jomblo. Jangan sampai baper lho ya!" Eke seolah menasihati Nadhifa.

Yang dinasihati hanya tersenyum kecut. Andai Eke tahu fakta sebenarnya bisa jadi gosip seantero Bagian Patologi Klinik. Ada satu hal yang tidak masuk akal bagi logika Nadhifa. Jika benar Ferdi mengenal baik Fathan, suaminya, mengapa lelaki itu seolah justru sering menggodanya. Jelas masalah itu harus ia tanyakan pada yang bersangkutan.

"Eh, ibu-ibu! Nggosip nggak ajak-ajak," suara cempreng Rasti mengejutkan Nadhifa dan Eke.

"Heii! Perawan ayu ini sembarangan aja kalau ngomong! Yang emak-emak kan aku. Itu mbak Dhifa masih belum turun mesin." Kalimat yang tentu saja diniatkan Eke untuk sekedar bercanda tapi membuat hati Nadhifa bagai teriris sembilu.

"Eehh ..., ehm ..., maaf Mbak Dhifa, saya nggak bermaksud ...." Eke merasa tak enak hati saat melihat ekspresi Nadhifa yang berubah suram.

"Hey ladies! Ayo cus sekarang! Dokter Ferdi dah nungguin tuh!" Teriakan Wimi dari kejauhan mengejutkan mereka.

Jadwal hari ini, dokter Ferdi mengajak semua residen juniornya untuk melakukan rapid test acak di beberapa tempat di Yogyakarta, salah satunya Pasar Beringharjo. Sebenarnya tes semudah ini bisa dilakukan oleh semua tenaga kesehatan. Tapi seperti biasa dokter Ferdi beralasan untuk pembelajaran, residen wajib melakukan meskipun cuma sekali.

"Kalian semua pasti tahu mekanisme kerja rapid test," seperti biasa dokter Ferdi memulai ceramahnya saat semua sudah bersiap di dalam mobil.

"Disebut rapid test karena prosesnya cepat dan hasilnya langsung diketahui. Fungsinya jelas untuk mendeteksi antibodi tubuh terhadap SARS CoV 2. Bedanya Ig G dan Ig M nggak usah saya jelasin kalian semua pasti tahu kan? Idealnya rapid test dilakulan dua kali yaitu pada hari ke-3 dan ke-10 infeksi. Dan misalnya kedua hasil rapid tadi menunjukkan non reaktif, tetep karantina 14 hari, apalagi kalau ada kontak dengan pasien confirmed positif Covid 19," Ferdi menjelaskan panjang lebar.

"Lalu untuk sensitivitas dan spesifisitasnya seberapa tinggi, Dokter?" Nadhifa sengaja melontarkan pertanyaan.

"Pertanyaan yang bagus, Dhifa. Karena rapid test ini tujuannya salah satunya untuk screening massal, jadi dirancang untuk lebih fokus pada sensitivitas yang tinggi daripada spesifisitas. Jadi lebih baik positif palsu yang nanti akan kita buktikan lewat pemeriksaan PCR, daripada negatif palsu yang jelas tidak akan dilakukan pemeriksaan lanjutan," terang Ferdi.

"Ehm, Dokter. Kan ada beberapa macam alat rapid test. Lalu yang paling baik yang mana?" Kali ini Wimi yang bertanya.

"Benar sekali! Ada yang pakai darah kapiler, ada yang pakai darah vena sebagai sampelnya. Beberapa merk memakai larutan buffer untuk mengikat antibodi spesifik yang akan diperiksa, sementara beberapa menggunakan plasma darah sebagai sampel. Jelas yang paling bagus untuk mendeteksi ya, yang pakai darah plasma. Tapi prosesnya agak rumit, harus dikerjakan di lab karena darah yang diambil harus disentrifuge untuk memisahkan komponen-komponennya. Kalau untuk sampel darah jelas darah kapiler yang paling nggak valid karena hanya sedikit mengandung komponen kekebalan tubuh."

"Soal hasilnya, bukankah masing-masing merk sensitivitasnya beda-beda nggih, Dokter?" Nadhifa kembali melontarkan pertanyaan. Penting baginya untuk mendapat perhatian Ferdi hari ini. Ada hal yang harus ia tuntaskan dengan pria itu.

"Tepat sekali, Dhifa. Masing-masing perusahaan bikin penelitian sendiri tentang validitas alat rapid yang akan dijualnya. Dan karena yang neliti penjualnya ya, bisa diasumsikan biasnya tinggi. Tapi secara umum, sensitivitasnya tinggi. Dan untuk rekomendasi merk rapid test dari pemerintah kalian bisa cari sumbernya di internet," jawab Ferdi sambil melirik mesra ke arah Nadhifa. Ia selalu kagum dengan kecerdasan wanita itu.

"Lalu, Dok, tentang negatif palsu. Kalau yang dicek antibodinya, misalnya karena suatu hal kayak orang-orang dengan pemyakit yang mengganggu sistem imun kayak HIV atau anak-anak kecil yang imunnya belum bagus kemungkinan hasilnya negatif palsu. Lalu tindak lanjutnya gimana, Dok? Pada kenyataannya di lapangan, yang hasil rapid testnya negatif tidak dilanjutkan untuk tes swab. Padahal saya dengar beberapa kasus dua kali rapid negatif tapi karena sakitnya tambah parah dan masuk kategori PDP, setelah di swab hasilnya positif," Nadhifa bertanya lagi.

"Pahit ya, Dhifa. Sayangnya argumenmu benar. Kamu jelas pernah diajarkan tentang ilmu kesehatan masyarakat kan? Bahwasanya penanganan penyakit itu nggak cuma tentang ilmu berdasarkan jurnal-jurnal terbaik. Yang utama justru sumber daya, utamanya keuangan dan sumber daya manusia. Jadi bukan tanpa alasan Kemenkes menetapkan algoritma yang mungkin nggak sesuai sama otak kita sebagai klinisi. Tapi kalau itu yang maksimal bisa dilakukan, ya gimana lagi. Masih banyak penyakit lain yang butuh sumber daya nggak sedikit juga. Kita hanya wajib patuh, kan?"

"Nggih, Dokter." Nadhifa tidak bertanya lebih lanjut lagi.

Sampai juga akhirnya di Pasar Beringharjo, semuanya turun dan mulai mempersiapkan peralatan. Butuh gerak cepat karena sudah banyak yang mengantre.

"Aahh orang-orang ini, suruh physical distancing aja susah. Banyak yang nggak maskeran lagi," Wimi tampak mengomel.

Nadhifa sengaja berjarak dengan teman-temannya yang lain. Ia justru mendekati dokter Ferdi yang tengah asyik memainkan gawainya.

"Dokter Ferdi," sapa Nadhifa sopan.

Ferdi melepaskan pandangan dari gawainya. Saat mengetahui hanya tinggal mereka berdua dan jarak mereka di luar jangkauan yang lain, sambil tersenyum Ferdi menjawab panggilan Nadhifa.

"Ya? Ada apa Nana?"

"Dari mana dokter Ferdi mengenal Mas Fathan, suami saya? Dia kan yang minta dokter Ferdi mengurus berkas pendaftaran PPDS saya dulu?" Tanya Nadhifa langsung pada pokok permasalahan.

Ferdi menatap Nadhifa dengan pandangan sedikit meremehkan.

"Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri pada suamimu, Nana? Harusnya dia jujur padamu kan?"

Nadhifa hanya menunduk malu. Perkataan Ferdi jelas tidak salah. Tapi ia sendiri paham, sosok Fathan yang pendiam dan sedikit misterius jelas tidak akan semudah itu menjawab pertanyaannya.

"Kasihan sekali kamu, Nana. Sepertinya hanya sedikit yang kamu ketahui tentang suamimu," Ferdi tampak mengejek.

Kedua insan itu saling mendiamkan. Sebelum akhirnya Ferdi berkata lagi.

"Nana, habis ini ke ruanganku, ya! Kita makan siang bareng. Aku akan menjawab semua pertanyaanmu. Aku nggak akan berbuat sekejam kamu yang menghukumku atas kesalahan yang tidak pernah kuperbuat," ucap Ferdi sambil beranjak pergi.


Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang