Part 6

24.2K 360 31
                                    

Ferdi membelai punggung polos Nadhifa. Ia pun tak henti-henti mengucup setiap bagian wajah wanita pujaannya. Nadhifa juga tak berusaha menampik perlakuan Ferdi. Sejujurnya ia sangat nyaman diperlakukan seperti itu.

"Jangan pernah pergi lagi ya, Sayang! Aku hampir gila nyariin kamu. Lima tahun nggak nemu-nemu," ucap Ferdi parau. Ia tampak menahan tangis harunya karena kekasih yang sekian lama ia rindukan sudah berada dalam pelukannya.

"Iya, Mas. Aku nggak akan pergi lagi. Mau pergi ke mana juga, aku udah nggak punya siapa-siapa," Nadhifa berkata lirih. Gejolak kesedihan mendominasi perasaannya. Isak tangisnya tak sanggup ditahan lagi.

"Ssstt ..., jangan nangis lagi!" Ferdi mengusap lembut kepala Nadhifa.

"Aku nggak akan biarkan kamu pergi lagi, Nana. Cukup sekali aku kehilangan jejakmu," kata Ferdi sambil sekali lagi mengucup mesra bibir Nadhifa.

"Mas tadi janji mau cerita soal gimana awalnya bisa kenal sama Mas Fathan," Nadhifa menagih janji. Ia masih nyaman bergelendot manja di dada bidang Ferdi.

"Panjang ceritanya, Na ...." Pandangan Ferdi tampak menerawang.

Lelaki itu beberapa kali menarik nafas. Seolah mengingat kenangan itu membuatnya sesak. Luka hati yang tak akan sembuh hingga kini. Meski Nadhifa sudah berada di depan matanya, tapi fakta bahwa wanitanya sudah menjadi istri lelaki yang dihormatinya tetap saja terasa menyakitkan. Bagaikan menabur garam di lukanya yang masih menganga.

"Saat itu aku kembali dari pendidikanku di Inggris dengan hasil gemilang. Salah satu penelitianku dipatenkan dan kini jadi metode pemeriksaan DNA terbaik untuk penapisan genetik pada janin. Kamu tahu PGS kan?" Ferdi memulai ceritanya.

Nadhifa mengangguk pelan. Tapi tanda tanya di hatinya menyeruak. Ia pun bertanya, "Itu pencetusnya njenengan, Mas?" Nadhifa setengah tidak percaya.

"Ya satu tim lah. Tapi aku peneliti utamanya. Bisa dibayangkan berapa hak paten yang akan kudapat? Dengan penuh kebanggaan aku pulang ke Indonesia. Pikirku kamu pasti sudah membaca semua emailku. Karena nomor ponselmu waktu itu sudah tak bisa kuhubungi. Aku bodoh Nana! Aku terlalu yakin bahwa kamu begitu mencintaiku, jadi tak mungkin meninggalkanku. Aku nggak curiga kenapa kamu sama sekali nggak balas emailku. Pikirku memang nggak ada sinyal karena kamu PTT di daerah terpencil." Ferdi terdiam sejenak untuk menenangkan diri. Membuka kenangan lama yang menyakitkan jelas butuh usaha ekstra.

"Aku lupa satu hal, Nana. Bahwa orang yang sangat mencintai justru seringkali bertindak bodoh. Melepaskan orang yang dicintai dengan alasan demi kebahagiaannya. Juga alasan bahwa mencintai tidak harus memiliki. Semua itu dilakukan atas nama pengorbanan cinta, katanya. Tapi tahukah kamu, Nana? Orang yang kamu tinggalkan atas nama cinta itu sangat menderita. Cuma kamu Nana, sumber kebahagiaanku ...." Air mata Ferdi tumpah saat ia menyelesaikan kalimatnya.

"Mas Ferdi, maafkan aku ...." Tumpukan rasa bersalah menyesaki dada Nadhifa. Dalam hati ia merutuki kebodohannya dulu. Andai saja ia tidak terbawa emosi, mungkin keadaannya jauh lebih baik saat ini.

"Aku bingung, Mas. Kupikir setelah aku pergi, Mas Ferdi segera melupakanku. Njenengan bisa menikah dengan wanita yang bisa membantu menaikkan karier njenengan. Bukan gadis yatim piatu sepertiku ...." Nadhifa meratapi masa lalunya.

"Ssttt ..., diem Sayang! Udah ya, jangan diungkit lagi ceritamu! Aku nggak siap mendenganya. Kamu jelas tahu kenapa. Aku harap kamu sudah memaafkan mereka yang udah bikin kamu menderita ...," Ferdi mencoba menenangan Nadhifa.

Nadhifa sedikit tersentak mendengar pembicaraan Ferdi. Dari kalimatnya jelas menunjukkan kalau Ferdi sudah paham duduk masalahnya. Timbul rasa iba di hati Nadhifa. Pasti Ferdi sangat kacau saat mengetahui apa yang terjadi dengannya. Ia memberanikan diri meraih wajah Ferdi mendekat ke arahnya. Tanpa malu ia mendaratkan kecupan ke bibir kekasihnya. Jika boleh membandingkan, Fathan, suaminya lebih tampan dari Ferdi. Tapi entah kenapa rasa cintanya pada Ferdi tak juga sirna, bahkan setelah lima tahun mereka berpisah.

"Kepergianmu membuatku hancur. Sebelum pulang aku sudah menyiapkan setiap detail untuk segera meminangmu. Tapi kamu menghilang tanpa jejak. Saat di bandara dan nggak ada kamu diantara orang-orang yang menjemput, aku segera menghubungimu. Tapi ponsel dan emailmu sudah nggak aktif. Aku berusaha nyari kamu. Aku ke KPTU, nanyain penempatan internshipmu ...," Ferdi melanjutkan ceritanya setelah melepaskan bibirnya dari pagutan Nadhifa.

"Aku tahu kamu internship di Kepulauan Meranti. Tapi aku juga paham internshipmu cuma setahun, jadi pasti sudah selesai. Kucoba telepon ke RSUD Selat Panjang, mungkin tahu kamu di mana. Tapi nihil, nggak ada yang tahu. Aku mencarimu ke rumah ibumu di Ketanggung, tapi saudara yang nempatin rumahmu bilang kalau ibumu sudah lama meninggal. Dia juga nggak tahu kamu di mana ...," Ferdi kembali terdiam. Ia mencoba menguasai kesedihan yang kembali hadir karena masa lalunya.

"Kudatangi semua saudaramu di Sine, pakdhemu di Tulakan dan Bayem Taman, bulikmu di Cepoko, Ngrambe. Semua nggak ada yang tahu, atau memang nggak mau bilang kamu ke mana. Mungkin karena kasihan, bulikmu yang di Cepoko nyaranin aku ke rumah pakdhemu di Karanganyar. Tahu sendiri kan Karanganyar medannya kayak apa? Malem-malem aku nerobos hutan. Sampai di Pandean pakdhemu juga nggak mau ngasih tahu kamu di mana. Tapi beliau ngendiko kalau mau tahu tentang kamu, coba tanyakan ke pakdhe yang di Brang Lor. Dan kamu tahu apa kata pakdhemu yang paling sepuh saat aku sowan ke Brang Lor?" Ferdi menatap Nadhifa dengan mesra.

Nadhifa hanya menggeleng. Saudara-saudaranya jelas nggak tahu ke mana ia pergi. Hanya pakdhenya yang di Brang Lor yang ia pamiti. Tapi ia juga menitip pesan untuk tidak memberitahukan keberadaannya pada siapapun.

"Beliau bilang, 'ngapain kamu cari Nana? Kamu udah bikin Nana menderita. Kami memang miskin, tapi masih punya harga diri. Bahkan kalau Nana sudah meninggal, aku nggak sudi ngasih tahu kamu di maba kuburannya.' Aku jelas kaget, Na. Apa salahku? Dan dari beliaulah aku tahu duduk masalahnya. Tapi tetap saja keberadaanmu masih misterius ...," sambung Ferdi. Ia makin mengeratkan pelukannya di pinggang Nadhifa.

"Aku makin kalut. Udah nggak bisa mikir. Kalau kamu meninggal, aku juga nggak mau hidup lagi. Semua sudah berakhir untukku. Bahkan malam itu aku dengar ada gadis yang mati tenggelam di Kedung Kambang, dengan bodohnya aku ikut lihat. Takut kalau gadis itu kamu. Hahaha ...," Ferdi menertawakan kebodohannya.

"Aku masih nggak nyerah, Na. Kubuka situs PTT dan kulihat namamu di Kabupaten Bombana. Kutelepon Dinkes nya, nanyain kamu. Harapanku udah melambung tinggi. Tapi jawaban yang kuterima kembali membuatku pasrah. PTT mu udah selesai dan nggak ada yang tahu kamu ke mana. Aku masih berusaha nyariin kamu, Na, tapi kamu seperti ditelan bumi. Sampai suatu saat Bapakku menelepon, bilang kalau ada anak kyai tempatnya mondhok dulu mau ketemu sama aku. Bapakku juga bilang kalau sebisa mungkin aku bantu beliau ...."

"Mas Fathan kah itu?" Potong Nadhifa.

"Iya, kamu benar. Gus Fathan menemuiku. Bilang kalau istrinya mau masuk PK dan minta aku buat ngurus semuanya. Saat dia menyerahkan map isi berkasmu, tanganku bergetar. Nadhifa Syafa'atuz Zahra, jelas bukan nama pasaran. Hampir pingsan aku saat membuka isi berkas itu dan melihat fotomu. Aku bahagia karena bisa menemukanmu. Tapi jelas aku merana karena kamu sudah jadi milik orang ...." Ferdi bangkit dari tempat tidur. Ia mengakhiri ceritanya sampai di sini karena hari sudah beranjak sore.

"Mas Ferdi, aku ..., maafkan aku ...," Nadhifa tak tahu lagi harus berkata apa. Tak menyangka Ferdi sangat menderita setelah kepergiannya.

"Sudahlah, Nana! Simpan ceritamu untuk nanti. Aku belum sanggup mendengarkan cerita lengkapmu. Pakai bajumu, sebentar lagi teman-temanmu yang jaga dateng," ucap Ferdi sambil mengancingkan kemejanya.

Nadhifa sontak tersipu malu saat Ferdi mengingatkan keadaan mereka berdua yang hanya tertutup celana dalam. Tanpa menunggu lama segera dipakainya baju dan jilbabnya.

"Tahu nggak? Aku bersyukur waktu itu nemuin Gus Fathan di rumah bapak. Kalau di sini bisa repot, karena aku masih masang fotomu di meja kerjaku. Ah Nana ..., andai suamimu bukan Gus Fathan. Aku nggak segan untuk merebutmu ...," ujar Ferdi sambil menerawang ke arah jendela.

"Jadi kamu tahu kan kenapa orang-orang di sini agak heran dengan mukamu? Karena mirip sama foto gadis di meja kerjaku. Dan asal kamu tahu Nana, alasanku nggak mau berduaan sama cewek kalau lagi ngelab adalah biar suatu saat kalau aku ketemu kamu lagi, kamu nggak nganggap aku playboy. Aku udah tobat sejak ketemu kamu, Nana ...," Ferdi menatap Nadhifa penuh arti.

Terdengar suara berisik di luar ruangan. Tampaknya Eke dan Tere sudah datang. Nadhifa segera beranjak pergi dari ruangan Ferdi dengan membawa sejuta gejolak dalam hatinya.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang