Part 26 PoV Fathan

10.2K 242 65
                                    

Fathan termenung di Jubilee Garden, sebuah taman yang berada di tepi Sungai Thames. London Eye tampak gagah berdiri di hadapannya. Di kejauhan sana, di seberang sungai Thames yang membelah kota London tampak Menara Jam Big Ben yang legendaris, juga House of Parliament yang kini tampak sepi di tengah Pandemi. Justru suasana inilah yang semakin menyiksa hati Fathan. Dalam keramaian ia bisa dengan mudah mengkamuflasekan diri. Tapi di dalam sepi, batinnya sendiri berkecamuk.

Sengaja Fathan mampir ke sini setelah menempuh perjalanan dari Cambridge. Tujuan utamanya adalah konsultasi tentang Testosterone Replacement Therapy kepada seorang profesor andrologi yang direkomendasikan salah satu sahabatnya. Setelah istikhoroh panjangnya, ia memutuskan untuk melakukan terapi hormon dengan segala risiko dan efek sampingnya.

Hal yang mendasari keputusannya adalah ia ingin kembali pada istrinya sebagai lelaki yang sempurna. Memberikan nafkah batin yang selama ini memang tidak mampu diberikannya. Sekaligus berusaha maksimal untuk memiliki keturunan dengan program bayi tabung lewat metode ICSI dan pengambilan sperma langsung dari testis. Ia meyakini hadits yang mengatakan bahwa semua penyakit ada obatnya kecuali kematian. Jika saat ini dikatakan ada penyakit yang tidak bisa diobati, itu hanya lantaran keterbatasan ilmu manusia yang belum menemukan obatnya.

London Eye berputar pelan di hadapannya. Bianglala itu pernah jadi yang tertinggi di dunia sebelum dikalahkan oleh Star of Nanchang di Cina, Singapore Flyer, dan yang terbaru adalah Dubai Eye yang memiliki ketinggian 210 meter jadi yang tertinggi di dunia hingga sekarang. Begitulah manusia tak pernah puas dan selalu berusaha jadi yang terbaik.

Seperti halnya Fathan yang tak pernah puas menuntut ilmu. Meskipun bukan hafiz, ia adalah lulusan terbaik salah satu pondok pesantren modern terkemuka di Indonesia. Beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Al Azhar, Kairo sudah digenggamnya. Hanya saja ia lebih memilih menjadi dokter dan mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Di situ pun ia selalu jadi lulusan terbaik tingkat Universitas. Saat wisuda sarjana kedokteran, sumpah dokter, dan wisuda spesialis Fathan jadi langganan menyampaikan pidato, memang begitu lazimnya sebagai alumnus terbaik. Mengabdi menjadi pendidik di almamaternya dan melanjutkan pendidikan spesialis radiologi serta master ilmu kedokteran nuklir yang didapatnya dari Cambridge University. Banyak brevet pelatihan keahlian yang sudah didapatnya, dan semuanya berlevel internasional. Dan sekarang setelah berhasil lulus sebagai konsultan kedokteran nuklir, ia memperdalam lagi ilmunya dengan mempelajari terapi nuklir berteknologi nano untuk penderit kanker. Harapannya dengan ukuran kecil bisa langsung diarahkan ke tempat yang spesifik sehingga lebih optimal efek pengobatannya dan efek samping yang ditimbulkan seminimal mungkin.

Mata Fathan sedikit berair saat memandang London Eye yang berputar pelan. Musim pandemi seperti ini pengunjung bianglala raksasa itu sangat dibatasi sehingga suasana terlihat lengang. Putaran bianglala seperti halnya kehidupan manusia. Adakalanya di atas dan mampu merengkuh semua yang ada di lapang pandangnya. Dan tiba saat posisi di bawah, hanya bisa mendongak kagum pada apapun yang berada di atasnya.

Jika bukan orang taat beragama, Fathan tentu sudah protes pada penciptanya. Mengapa ia diciptakan dalam kondisi tidak sempurna. Pencapaian keilmuan dan kariernya sangat mengagumkan. Di usia yang semuda ini ia sudah punya segalanya. Hanya saja ujiannya justru pada kekurangan fisiknya yang tidak bisa menjadi lelaki seutuhnya. Saat-saat keimanannya berada di titik nadir, seringkali ia meratapi nasibnya. Andai bisa memilih, ia lebih bahagia dengan ilmu dan karier yang biasa saja dengan kehidupan rumah tangga yang normal. Tapi bukankah manusia hanya bisa menjalani skenario yang sudah ditulis Sang Pencipta?

Nadhifa Syafa'atuz Zahra, nama itu memiliki arti yang sangat istimewa dalam kehidupan Fathan. Ia sendiri tidak paham mengapa Sang Penulis Takdir mempertautkan jodoh mereka. Andai kondisi fisiknya normal ia tentu sangat bersyukur memiliki istri wanita shalihah, cerdas, dan cantik seperti Nadhifa. Hanya saja kenyataan yang ada sekarang justru membuatnya serba salah.

Ia sangat mencintai Nadhifa, itu fakta yang tidak terbantahkan. Wanita yang kini jadi istrinya adalah bayi yang sama yang dibawa ke rumahnya oleh lelaki desa sederhana dua puluh delapan tahun lalu. Fathan ingat benar saat itu ia sedang ngaji sorogan dengan abahnya saat Pak Tarso membawa bayi perempuan untuk diserahkan pada Kyai Hasan agar kelak jadi khadimat di rumahnya. Bayi itu sudah yatim bahkan sebelum dilahirkan. Ayahnya meninggal akibat Demam Berdarah. Sementara ibunya tak sanggup mengasuh bayinya karena komplikasi kehamilan yang berat. Hipertiroid yang diderita Bu Sunari membuat tekanan darahnya tinggi, bahkan belum normal hingga beberapa minggu setelah melahirkan. Irama jantungnya pun tak beraturan hingga membuat nafasnya sesak meskipun hanya menggendong bayinya sebentar.

Kyai Hasan menolak halus karena kasihan harus memisahkan bayi yang masih merah itu dengan ibunya. Beliau memberikan nama Nadhifa Syafa'atuz Zahra yang bermakna wanita yang selalu menjaga kesuciannya dan mendapat keselamatan. Demi memastikan bayi itu tidak terlantar Kyai Hasan juga berjanji akan menyantuni bayi itu dan keluarganya.

Entah apa yang ada di pikiran Pak Tarso, sembilan tahun kemudian Fathan mendapati lagi Nadhifa di rumahnya. Saat itu ia baru masuk semester awal kedokterannya. Ia tidak pernah tahu ada penghuni baru di ndalem hingga suatu waktu pulang Subuhan didengarnya suara seperti orang menghafal.

"Regio sternocleidomastoideus ... lamina et foramina cribrosa ... flexor digiti hallucis longus ...." Fathan terpaku melihat gadis yang seharusnya masih mengenyam pendidikan SD membaca Sobottanya dengan lancar. Berdesir hati Fathan saat diam-diam menatap gadis itu. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih meskipun pakaiannya yang sederhana tidak bisa menutupi fakta bahwa gadis kecil itu berasal dari keluarga kurang mampu.

Fathan langsung pergi, tidak jadi masuk ke ndalem. Ia kembali ke masjid menemui abahnya. Debar di dadanya berusaha ia tepis, takut disangka pedofilia jika ada yang tahu ia tertarik dengan anak SD. Ia pun tidak bisa membiarkan gadis itu yang akhirnyanya diketahuinya bernama Nadhifa harus berakhir jadi Mbak Ndalem. Gadis kecil itu otaknya sangat cemerlang, sangat pantas untuk mendapat pendidikan yang terbaik. Beberapa waktu kemudian Fathan pulang ke rumah dan tidak mendapati lagi Nadhifa di Ndalem. Kyai Hasan menuruti keinginan putranya untuk mengembalikan gadis itu pada keluarganya dan menempuh pendidikan umum.

Entah tautan apa yang mengait keduanya, sepuluh tahun kemudian Fathan mendapati gadis cantik itu di rumahnya. Ia mengenali gadis itu sama dengan anak SD yang dulu dari raut wajah dan bentuk hidungnya. Kali ini Fathan tidak menampik bahwa ia sudah jatuh cinta pada Nadhifa. Tanpa pikir panjang ia mengutarakan pikirannya pada Kyai Hasan dan Nyai Nafisah usai makan malam. Seperti biasa usai makan malam selalu ada sesi curhat antar anggota keluarga.

"Bah, ndherek duka kalau sekiranya kata-kata saya nggak berkenan. Ini soal Nadhifa. Fathan pikir ada baiknya kita support dia untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Eman kalau gadis sepintar dia cuma jadi khadimat di rumah ini dan ujung-ujungnya dinikahkan sama orang biasa juga dan kekuarganya tetep kekurangan. Maksud Fathan, misalnya dia bisa jadi dokter atau lulus sarjana minimal kehidupannya pasti lebih baik. Jika Nadhifa berpendidikan tinggi pasti jodohnya sekufu. Bisa jadi bukan dari kalangan santri biasa seperti keinginan pakdhenya. Mungkin dia bisa jadi Ning, walaupun nasabnya bukan dzurriyah pesantren. Fathan pikir banyak Gus akan bersedia menikahinya jika Abah nanti mencarikan jodoh Nadhifa sementara dia sudah bergelar sarjana." Fathan langsung menutup mulutnya menyadari jika dia kelepasan bicara. Isi kalimatnya jelas bisa diterka oleh semua yang mendengar, bahwa dirinya memang menaruh perhatian lebih pada gadis itu.

PoV Fathan saya bikin 2 part ya jadinya, klo 1 part kepanjangan e..

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang