Part 50

4.1K 294 32
                                    

Nadhifa kembali menghela nafas panjang. Eke, salah satu temannya menanyakan tentang cakupan vaksin dan herd immunity. Dalam hatinya sedikit dongkol. Pertanyaan yang diajukan Eke sangat awam, bukan level yang seharusnya tidak diketahui residen patologi klinik.

"Agar bisa efektif dalam komunitas, diharapkan cakupan vaksin mencapai 90%. Asumsinya efektivitas Sinovac sekitar 60%, sehingga sekitar 55% populasi akan kebal. Walaupun masih jauh dari target untuk mencapai herd immunity, setidaknya morbiditas dan mortalitas akan jauh berkurang. Saya pikir semua yang di sini paham tentang herd immunity, di mana dalam suatu populasi banyak kelompok-kelompok yang memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit. Kelompok kebal itu akan melindungi orang-orang yang tidak memiliki kekebalan sehingga tidak tertular dan sakit. Herd immunity bisa didapat secara alami, di mana setelah banyak orang yang terinfeksi dan survive akan memiliki kekebalan terhadap satu penyakit. Bisa juga didapat dengan vaksinasi, tanpa perlu terinfeksi. Ada beberapa kontraindikasi vaksin, misal penderita autoimun dan penyakit-penyakit yang melemahkan imun, diharapkan bisa terlindung dengan cakupan vaksinasi yang tinggi." Nadhifa menjelaskan panjang lebar.

"Nana, nggak salah kalau nilai-nilai ujianmu excellent. Kecerdasanmu luar biasa." Pendar kekaguman terpancar dari mata Ferdi saat mengucapkan kalimatnya. Sorot mata memuja dan penuh cinta itu tetap menyala saat Ferdi melanjutkan kalimatnya.

"Baiklah, sekarang bisa kamu jelaskan, Na? Apa fungsi cek titer antibodi setelah imunisasi sekaligus fungsinya? Sekalian kamu jelaskan tentang vaksin nusantara berbasis sel dendritik yang menghebohkan itu." Ferdi terus membombardir Nana dengan banyak  pertanyaan. Lelaki itu seperti sengaja menghalangi kepergian sang pujaan hati.

Nadhifa kembali menghela nafas panjang. Berkali-kali ia melirik arloji pemberian ibu mertuanya saat pulang umroh. Ia memastikan waktu agar sempat menjemput Fathan. Tekadnya setelah menjawab satu pertanyaan ini ia harus segera pergi.

"Titer antibodi perlu dicek setelah vaksin untuk mengetahui efektivitas vaksin tersebut sekaligus memastikan kadar antibodi yang berperan menimbulkan kekebalan. Sayangnya, menurut saya hal itu kurang bermanfaat untuk vaksinasi Covid 19, di mana jika titer anribodi rendah perlu dilakukan booster atau bahkan vaksinasi ulang. Sementara program vaksinasi Covid masih berjalan, ketersediaan vaksinnya terbatas. Andai titer antibodi rendah, agak sulit juga dilakukan vaksin ulang. Yang lebih penting adalah tetap mematuhi protokol kesehatan. Toh, vaksinasi tidak menjadikan kita sama sekali tidak akan tertular. Harapannya, andaikan terjangkit Covid 19, gejalanya tidak parah karena sudah memiliki antibodi." Nadhifa mengakhiri penjelasannya. Wanita itu terdiam sejenak, sedikit menyibak memori untuk menjawab pertanyaan selanjutnya.

Vaksin Nusantara yang berbasis sel dendritik spesifik masing-masing individu adalah teknologi baru. Belum banyak penelitian mendalam dan kajian detail tentang ini. Mudah bagi Nana untuk berpura-pura tidak tahu, tapi jiwa ilmiah dan egonya menentang. Wanita pintar sepertinya tidak mungkin merasa nyaman kalau tampak bodoh.

"Vaksin Nusantara berbasis sel dendritik, yaitu sel yang berfungsi seperti guru dalam sistem imun. Cara kerjanya adalah dengan mengambil sampel darah seseorang, kemudian diproses sedemikian rupa hingga prekursor sel dendritik dalam darah bisa tumbuh menjadi sel dendritik. Inkubasi tersebut memerlukan waktu 2-3 hari. Pada masa itu juga diberikan antigen. Jadi antigennya tidak disuntikkan ke orang seperti lazimnya vaksin yang ada saat ini, tapi diberikan langsung ke sel dendritik di laboratorium. Setelah sel dendritik beranjak dewasa dan sudah terpapar antigen, sel tersebut disuntikkan kembali pada pemiliknya. Harapannya, sel dendritik tersebut bisa melatih sel B untuk membentuk antibodi. Terlihat efektif memang, tapi metodenya sangat rumit dan butuh biaya mahal dengan tingkat keberhasilan yang belum bisa dipastikan. Mulai dari mengambil darah, memisahkan sel, menumbuhkan sel dendritik di laboratorium, memperbanyak jumlah, hingga meninjeksikan kembali ke individu. Setelah itupun harus menunggu dan memastikan antibodinya muncul. Semua rangkaian itu butuh pengecekan berulang kali untuk memastikan apakah prosesnya sudah benar. Setelah itupun masih menunggu dan memastikan apakah muncul antibodinya." Nadhifa menghentikan penjelasan saat merasa ponsel di sakunya bergetar.

Saat membuka dan membaca pesan pada ponsel, gelenyar rasa yang tidak biasa menjalari tubuh Nadhifa. Tulisan yang mengabarkan kedatangan Fathan di NYIA sontak membuat Nana harus bergegas. Ia buru-buru menyelesaikan penjelasannya.

"Opini saya, metode vaksin Nusantara memang masih perlu dibuktikan secara ilmiah, mengingat masih minimnya publikasi dan jurnal tentang itu. Di samping itu metode ini sangat eksklusif sehingga sangat sulit diterapkan secara massal mengingat sumber daya manusia dan sarana prasarana yang belum memadai. Demikian kiranya yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf saya harus segera pamit menjemput suami." Usai berkata seperti itu, Nadhifa segera menyambar tasnya dan melesat keluar ruang konferensi.

Nadhifa melirik sekilas ke arah Ferdi. Sebelum lelaki itu bisa menahannya, Nana sudah setengah berlari menuju mobil yang terparkir di halaman samping gedung Radiopoetro. Fortuner warna kelabu metalik itu bukanlah tunggangannya, sengaja dibeli oleh Fathan kalau lelaki itu pulang ke Jogja atau untuk mobilitas tamu-tamu Abah Kyai jika ngersakke ziaroh atau ada kegiatan di Jogja. Sayangnya, mobil itu baru dipakai hitungan jari oleh Fathan. Kenyataannya, sang suami tak pernah menengoknya selama ia residensi di Jogja.

"Na, tunggu!" Suara terengah terdengar dari arah belakang Nadhifa. Wanita itu tidak menjawab, ia bergegas masuk ke dalam mobil. Saat akan menutup pintu, Ferdi terlihat menahan dengan kuat.

"Ini mobil manual? Kamu mau nyetir ini sampai Kulonprogo? Kamu gila, Na? Usia kehamilanmu masih sangat muda. Rawan abortus kalau nyopir sejauh itu pakai mobil manual. Fathan pasti sengaja biar janin di kandunganmu gugur." Ferdi setengah berteriak, berusaha meredam emosi.

"Pak Ferdi!" Sengaja Nana memanggil dengan sebutan 'Pak' untuk menegaskan bahwa hubungan mereka hanya sebatas dosen dan mahasiswa.

"Mas Fathan masih sah suami saya, baik secara agama maupun hukum negara. Kewajiban saya hanya patuh pada semua perintah beliau sepanjang tidak melanggar syariah. Soal abortus, sebagai klinisi dan ilmuwan semoga Njenengan tidak melupakan kaidah EBM. Tidak ada bukti signifikan antara mengemudi mobil transmisi manual dengan risiko abortus pada kehamilan usia berapapun. Dan yang terpenting lagi, anak dalam rahim saya hanya akan bernasab pada saya. Njenengan sama sekali tidak ada hubungannya dengan anak ini," ucap Nana tegas.

Ferdi sedikit terpana mendengar kalimat Nadhifa. Ia pun hanya mampu menatap perih kepergian wanita yang dicintainya. Semua ucapan perempuan itu benar adanya. Kenyataan bahwa Nadhifa masih istri sah Fathan dan janin yang merupakan anak biologisnya tak bisa ia jangkau sungguh menyiksa batin Ferdi. Meski begitu, sedikit harapan membuncah dalam dadanya. Fathan tak mungkin pulang dalam kondisi baik-baik saja dan menerima sang istri dan janin lelaki lain dengan sukarela. Artinya masih ada harapan untuk Ferdi bisa memiliki Nana.

●●●

Nadhifa menjalankan mobilnya secepat ia bisa. Tubuh mungilnya sedikit kagok mengemudi Fortuner yang besar, apalagi ia sangat jarang memakai mobil ini. Ia lebih terbiasa mengendarai mini cooper yang jauh lebih praktis melaju di jalanan kota Yogya yang ramai. Untunglah jalan menuju New Yogyakarta International Airport lumayan lebar dan mulus karena baru dibangu, sehingga laju mobil bisa lumayan cepat.

Butuh sekitar satu jam hingga Nana tiba di area parkir NYIA. Wanita itu segera turun dari mobil dan setengah berlari menuju area kedatangan. Tak dipedulikannya kondisi badan yang tengah hamil muda. Pikirnya, saat ini yang terpenting adalah menemui sang suami.

Nadhifa mendadak menghentikan langkah saat ia melihat sesosok lelaki dari kejauhan yang mendekat ke arahnya. Ia sedikit memicingkan mata untuk memastikan bahwa yang dilihat adalah Fathan, suaminya.

Lelaki tinggi dan berkulit putih itu sudah berdiri di hadapan Nadhifa. Penampilannya khas dengan jas tebal yang tersampir di lengan. Tak ada yang berubah pada penampilan Fathan kecuali rambutnya yang semakin tampak memutih.

"Assalamu'alaykum, Na. Belum ada setahun kita nggak ketemu, tapi kamu sudah lupa gimana menjabat tangan suamimu ...."

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang