Part 55

4.2K 323 114
                                    

"Kalau memang ada kepentingan mendesak, dokter Dhifa izin untuk hari ini nggak apa-apa, Gus." Suara Prof Harso mengejutkan Fathan. Beliau yang berasal dari Jawa Timur terbiasa memanggil dengan sebutan 'Gus' seperti halnya panggilan Fathan di kampung halamannya.

"Mboten, Prof. Saya biasa sowan-sowan sendirian. Lagipula Nana juga sebentar lagi akan cuti lama karena kehamilan itu sangat kami nantikan. Biar saja dia menyelesaikan dulu tanggungan akademiknya. Oh, nggih, Prof, sekali lagi saya matur nuwun sanget dan nyuwun angenging pangapunten sudah ngrepoti Prof soal kehamilan Nana," tolak Fathan halus.

Lelaki itu tak canggung berbicara bahasa jawa krama inggil seperti lazimnya orang Yogyakarta. Meski percakapan orang Jombang dan Surabaya jelas jauh dari tata bahasa Jawa halus, bahkan cenderung keras karena campur aduk dengan bahasa Madura. Menimba ilmu pada para Kyai di Yogyakarta dan daerah sekitar Kedu pastilah menjadikan Fathan sangat paham tatakrama Jawa yang kental.

"Dunia ini cakra manggilingan ya, Gus. Saya masih ingat, dulu sekali waktu Pak Ferdi masih residen junior, saya pernah memimpin sidang untuk dugaan asusila yang dilakukannya. Walaupun Pak Ferdi sangat cerdas, tapi bagi dunia pendidikan attitude adalah yang utama. Pak Ferdi bisa saja dikeluarkan dan gagal jadi spesialis karena namanya bakal di blacklist di semua center pendidikan. Untung saja Nadhifa yang saat itu masih koas bersumpah bahwa apa yang dituduhkan pada Pak Ferdi sama sekali tidak benar," tutur Prof Harso mengenang masa lalu.

Prof Harso menghela nafas panjang. Kemudian beliau melanjutkan ucapannya, "Sekarang Pak Ferdi yang akan mengurus sidang Nadhifa karena melanggar syarat PPDS, tidak boleh hamil di tahun pertama pendidikan. Oh iya, Gus, sepurane kalau saya lancang. Njenengan sudah tahu kan soal hubungan masa lalu Pak Ferdi dan Nadhifa?"

Fathan terperanjat mendengar pertanyaan Prof Harso. Tapi ia berusaha bersikap sewajar mungkin. Jawabnya, "Nggih, Prof. Saya dan Nana menikah karena dijodohkan oleh Abah. Kami hanya sempat ta'aruf sebentar. Selanjutnya kami ridho dengan keputusan Abah. Sebelum menjodohkan kami, pastilah Abah sudah istikhoroh dan tirakat panjang. Soal masa lalu Nana, sebelum menikah saya sudah tahu."

Fathan sedikit berbohong. Kenyataannya ia baru saja tahu bahwa Ferdian Adisaputra, putra dari santri eyangnya adalah kekasih masa lalu sang istri. Lebih menyakitkan lagi, perbuatan lelaki itu adalah pengkhianatan yang sangat keji.

"Pak Ferdi nggak akan bisa seperti ini tanpa Nadhifa. Semua penelitian Pak Ferdi banyak dibantu oleh Dhifa. Bahkan keberhasilan Pak Ferdi mendapat beasiswa di Cambridge juga berkat jasa Nadhifa yang membantu sejak kelengkapan berkas, submit jurnal, hingga ujian masuk yang tahapnya banyak dan rumit. Saya kira mereka bakal menikah. Pak Ferdi sempat berkata kalau Nadhifa selesai internship ia akan segera meminang gadis itu dan memoyongnya ke Inggris. Tapi jodoh siapa yang tahu. Jujur, Gus, saya sangat kaget saat Pak Ferdi membawa berkas Nadhifa kepada saya untuk dimintakan rekom. Di biodatanya tertulis bahwa suami Nadhifa adalah panjenengan." Prof Harso kembali bercerita. Beliau sama sekali tidak menyangka bahwa perkataannya diam-diam telah menyakiti hati Fathan.

"Nadhifa sangat cerdas, Gus. Meskipun saat ini dia masih semester satu, tapi pengetahuannya di atas rata-rata residen madya. Besar harapan saya Nadhifa bisa jadi staf pengajar di sini. Tapi saya juga paham, Ning Nadhifa lebih utama jika berada di samping suaminya. Dengan kecerdasan dan pembawaannya yang grapyak dan lembah manah, saya yakin dia pasti mudah dapat karier yang cemerlang di Surabaya. Oh, njih, saya sampai lupa mengucapkan selamat kagem njenengan, Gus. Selamat nggih, akhirnya bisa menimang momongan yang sudah dinanti sekian lama. Mugi-mugi diparingi lancar sampai saat melahirkan nanti. Sumanggakaken, Gus, saya masih ada pertemuan di Dekanat." Prof Harso berpamitan pada Fathan. Lelaki sepuh itu sama sekali tidak merasa bahwa kalimatnya seperti menabur garam pada luka yang menganga di hati Fathan.

Fathan memejamkan mata sepeninggal Prof Harso. Ia berusaha sekuat mungkin menahan air matanya agar tidak sampai jatuh. Yah, harapan Prof Harso agar Nana tetap di Jogja dan jadi dosen di almamaternya sepertinya bakal terwujud.

Tempat terbaik bagi seorang istri adalah di sisi suaminya. Fathan tak menampik hal itu. Lalu, bukankah sebentar lagi ia akan menjatuhkan talak pada Nadhifa? Setelah itu pastilah Ferdi akan segera menikahi Nana. Dengan begitu, tempat terbaik untuk Nana adalah di Yogyakarta, di samping Ferdi yang sebentar lagi menggantikan posisinya sebagai suami Nadhifa. Benar-benar pasangan yang serasi, sama-sama spesialis patologi klinik yang cerdas dan bekerja di tempat yang sama. Membayangkan semua itu membuat hati Fathan seperti teriris sembilu.

●●●

Seperti rutinitasnya, Fathan selalu bangun untuk qiyamullail dan lanjut sholat subuh berjamaah di masjid. Tak seperti di rumah masa kecilnya yang masih termasuk lingkungan pesantren, selalu terdengar sholawat tarhim sebagai pengantar subuh. Di kota Yogyakarta, apalagi rumahnya termasuk perumahan elite, hanya suara adzan dan iqomah terdengar dari masjid di kampung belakang perumahannya.

"Assalamu'alaykum." Fathan mengucap salam saat memasuki rumah. Ia segera melepas masker dan membersihkan diri sebelum menemui sang istri. Kebiasaan yang rutin ia jalankan kalau pulang dari rumah sakit menjadi lebih sering intensitasnya setelah pandemi Covid 19 melanda.

"Wa'alaykumussalam," jawab Nadhifa. Wanita itu mencium tangan suaminya dengan takzim. Kemudian dengan cekatan segera menyiapkan kopi hangat dan pisang bakar kesukaan sang suami.

Sepasang insan itu tidak bercakap mesra lazimnya pasangan suami istri yang harmonis. Fathan menikmati hidangannya di ruang keluarga sambil membaca buku setelah menyelesaikan bacaan wiridnya , sementara Nadhifa kembali sibuk di dapur.

Aroma bumbu dan masakan yang digoreng memantik rasa penasaran Fathan. Lelaki itu berjalan ke dapur demi melihat apa yang sedang dilakukan istrinya.

Potongan lontong, tahu dan tempe goreng, serta kol dan kecambah sudah tertata rapi di piring. Aroma kacang goreng yang baru saja matang membangkitkan selera. Suara munthu yang beradu dengan layah membuat Fathan bisa menebak di mana keberadaan istrinya.

"Eh, pangapunten, Gus, saya berisik di dapur, bau bawangnya nyegrak juga. Jadi mengganggu kekhusyukan njenengan." Nadhifa berkata sambil merunduk penuh khidmat.

"Masak apa, Na?" tanya Fathan pendek.

"Ini Tepo Tahu, masakan khas Ngawi. Nggak tahu kenapa saya mendadak pengen ini. Ngapunten, nggak nawarin panjenengan. Ini masakan ndeso, saya khawatir lidah Gus Fathan yang terbiasa dhahar masakan Arab dan Eropa tidak selera dengan masakan seperti ini."

Jawaban Nadhifa sangat lembut dan sopan, namun cukup menggores hati Fathan. Ngidam sangat wajar dialami wanita yang hamil muda. Andai janin yang dikandung Nadhifa adalah benihnya, pastilah Fathan akan memenuhi semua permintaan istrinya.

Nada bicara Nadhifa yang teramat sopan untuk ukuran istri pada suami juga membuat Fathan merana. Kalimat yang lebih pantas diucapkan khadimah kepada Gus nya menyadarkan Fathan bahwa Nadhifa memang sudah siap untuk melepas status sebagai istrinya.

"Banyak sekali kamu bikin, Na. Oh iya, nanti sore bukankah Pak Ferdi datang? Kamu mau menjamu dia dengan makanan kenangan ini? Pak Ferdi pasti dulu sering berkunjung ke rumahmu dan menyantap makanan khas Ngawi kan? Nggak seperti aku yang sama sekali nggak peduli, bahkan tidak pernah menanyakan apa kesukaanmu. Selama jadi istriku, aku tak pernah memanusiakanmu. Aku ikhlas kalau memang pada akhirnya Pak Ferdi lah yang jadi jodohmu ...."

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang