Part 12 (Kenangan Nadhifa ~ Pengantin yang Bermuram Durja)

15.2K 225 22
                                    

Hari ini sesuai kesepakatan kedua belah pihak keluarga, adalah hari pernikanan Nadhifa dengan Fathan. Usai shalat Isya adalah waktu yang ditetapkan oleh Kyai Hasan untuk pernikahan mereka. Tak ada kemeriahan pesta atau semarak keramaian seperti halnya perhelatan pesta pada umumnya. Nadhifa yang yatim piatu tentu tak berharap pernikahannya berlangsung mewah. Sulit rasanya ia merasa bahagia setelah kematian kedua orang tuanya. Lagipula keluarga besarnya bukanlah orang yang berada. Nadhifa tak mau memberatkan pakdhe-pakdhe dan bulik-buliknya untuk gotong royong menanggung biaya pernikahannya. Sedangkan dari pihak keluarga Kyai Hasan juga tak berniat mengadakan pesta besar-besaran layaknya pernikahan kedua putri beliau sebelum ini. Konon ini adalah permintaan Gus Fathan yang menginginkan pernikahannya digelar sederhana.

Mengenakan gamis berlapis brokat berwarna putih, kerudung yang ditata sederhana lengkap dengan roncean melati membuat Nadhifa tampak menawan. Tapi riasan minimalis yang disapukan perias pengantin tak mampu menutupi wajah muramnya. Semua yang melihat wajah Nadhifa pasti paham bahwa mempelai wanita itu tidak dalam suasana hati yang berbahagia.

Kriet! Suara pintu yang dibuka mengejutkan Nadhifa. Saat ia menoleh, tampaklah Nyai Nafisah yang masuk bersama kedua putrinya Ning Sarah dan Ning Zulfa. Ketiganya tampak tersenyum ramah dan menghampiri Nadhifa.

"Ayu men sampeyan, Ndhuk! Fathan pasti seneng banget kalau istrinya secantik sampeyan," ujar Bu Nyai lembut sambil membelai wajah Nadhifa.

"Iya! Mbak Dhifa cantik banget. Wah, nggak sia-sia Mas Fathan kita langkahi nikah duluan. Ternyata jodoh yang ditunggunya udah cantik, pinter, sholehah lagi," Ning Zulfa memuji Nadhifa.

"Eh, Mbak Dhifa! Kami bawa kado nih. Dipakai ya kalau pas bulan madu sama Mas Fathan, biar tambah romantis. Kita kan pengen cepet-cepet gendong anaknya Mas Fathan," gantian Ning Sarah yang berkata.

"Nggih, Ning, Insya Allah ...."

Belum sempat Nadhifa meneruskan kalimatnya, Nyai Nafisah langsung memotong, "Sampeyan bentar lagi jadi mantuku. Sarah dan Zulfa itu bakal jadi adikmu, jadi jangan panggil mereka pakai Ning lagi!"

Agak lama mereka mengobrol sampai kedua putri Kyai Hasan itu mohon diri keluar. Tinggallah Nadhifa hanya berdua dengan Nyai Nafisah. Ibunda Gus Fathan itu membelai kepala Nadhifa dengan penuh kasih sayang.

"Ndhuk, maafkan kami ya! Mendadak nyuruh sampeyan nikah sama Fathan. Ini yang terbaik yang bisa Umi sama Abah berikan untukmu. Sampeyan udah waktunya nikah, dan Abahmu merasa kalau Fathan adalah jodoh yang sangat tepat untukmu," tutur Bu Nyai sambil sedikit membetulkan roncean melati tiba dhadha yang menjuntai di samping kanan Nadhifa.

"Umi yakin, Fathan bisa jadi imam yang baik buatmu. Berkali-kali umi sama abah nyariin jodoh buat Fathan, tapi dia nolak terus. Baru sama sampeyan, Ndhuk, dia langsung mau. Semoga kalian berdua sakinah mawaddah wa rohmah ya, sampe kaken ninen lengket terus kayak mimi lan mintuno," Bu Nyai melanjutkan nasihatnya.

"Umi titip Fathan ya, Ndhuk. Dia memang pendiam seolah cuek. Tapi sebenernya hatinya sangat lembut. Kelihatannya emang nggak peduli tapi sebenernya sangat perhatian. Sampeyan banyak-banyak sabar ya. Kalau ada sikap Fathan yang nggak disukai, bilang langsung sama suamimu. Jangan malah curhat sama sembarang orang. Suami istri itu ibarat pakaian bagi satu sama lain, jadi harus bisa menyimpan aib pasangan. Jadi istri yang shalihah ya, Ndhuk! Surga wanita yang sudah menikah itu ada pada suaminya." Panjang lebar Bu Nyai memberi wejangan pada calon menantunya. Besar harapan beliau agar rumah tangga putra sulungnya itu bisa menjadi ladang pahala seumur hidup.

Nadhifa hanya bisa mengangguk dan memaksa tersenyum. Tak mungkin ia tunjukkan isi hatinya yang gundah gulana pada calon mertuanya. Sejujurnya ia masih sangat mencintai Ferdi. Tapi lelaki itu jauh sekali dari jangkauannya. Lebih tepatnya ia yang sengaja menjauhi Ferdi. Menghilang tanpa meninggalkan jejak yang mudah untuk dilacak. Meski begitu menikahi pria lain sementara hatinya masih dipenuhi semua hal tentang Ferdi juga bukan pilihan yang menyenangkan untuknya. Tapi ia mencoba menghibur diri, menganggap pernikahannnya adalah bentuk bakti dan balas budi bagi pakdhe dan keluarga Kyai Hasan. Lagipula dengan pernikahan ini artinya tertutup sudah kesempatan Ferdi seandainya suatu saat lelaki itu mencarinya.

"Ndhuk!" Kali ini Bulik Suharti yang tinggal di Ngrambe memasuki kamar pengantin Nadhifa. Di belakangnya diikuti Pakdhe Tarso dan Budhe Sumini. Ketiga sesepuh itu duduk di sekeliling Nadhifa.

"Bulik seneng, kamu udah nikah. Udah ada yang jadi sandaran hidupmu. Tugas kami, terutama Pakdhe Tarso sebagai penanggung jawab hidupmu sudah tuntas. Sebentar lagi ada suami yang akan mengambil alih tanggung jawab membimbingmu," lembut tutur kata Bulik Suharti.

"Oh iya, Ndhuk. Tiga bulanan lalu ada yang nyariin kamu. Nggak tahu kok bisa sampai rumah bulik. Laki-laki, namanya Ferdi ...."

Mata Nadhifa membulat mendengar kalimat buliknya. Berita itu membangkitkan kenangan lama yang menorehkan luka di hatinya. Sekuat mungkin Nadhifa menahan air matanya agar tidak meluruh, takut merusak riasan yang telah dipoleskan pada wajahnya.

"Ti! Udah jangan sebut nama laki-laki itu! Aku nggak akan memaafkannya sampai kapanpun. Mau dia sujud di hadapanku, mau minum air cucian kakiku juga aku tetep nggak sudi maafin dia! Gara-gara dia Sunari meninggal!" Pakdhe Tarso mendadak emosi saat mendengar nama Ferdi disebut.

"Bukan salah Mas Ferdi, Pakdhe! Mas Ferdi nggak tahu apa-apa!" Nadhifa spontan membantah.

"Lha tapi ulah keluarganya udah kurang ajar! Mereka menghina kita! Seolah uang mereka bisa membeli segalanya. Kamu nggak lupa kan, Nana? Sunari, ibumu, tersiksa batinnya akibat hinaan perempuan sombong itu. Stroke yang diderita ibumu hingga membawa pada kematiannya karena ia sakit hati setelah perempuan itu merendahkannya dengan hina! Wallahi, dunia akhirat aku nggak ridho kalau kamu masih ketemu Ferdi! Aku juga bilang kalau kamu udah meninggal!" Wajah Pakdhe Tarso tegang dengan amarah yang meluap.

"Sudah-sudah, Pak! Nggak baik marah-marah gini. Apalagi ini hari bahagianya Nadhifa. Nggak usah inget-inget hal buruk!" Budhe Sumini mengelus dada suaminya, berharap emosi lelaki tua itu mereda.

Pakdhe Tarso duduk di kursi yang berada di hadapan Nadhifa. Nafasnya masih memburu pertanda gejolak amarahnya belum sepenuhnya padam.

"Ndhuk! Setelah bapakmu wafat, kamu adalah tanggung jawabku. Selaku wali nasabmu, salah satu keewajibanku adalah mencarikanmu jodoh lelaki sholeh. Dan aku nggak ada alasan menolak saat Kyai Hasan meminangmu untuk jadi istri Gus Fathan. Dan kupikir Gus Fathan adalah yang terbaik buatmu. Aku nggak ada bayangan lelaki lain yang lebih pantas dari beliau. Jadi kumohon kamu lupakan laki-laki pembawa bencana itu. Jadilah istri yang baik, hormati dan layani Gus Fathan dengan sepenuh hati. Jangan kamu permalukan keluarga dengan bertingkah di luar norma!"

"Nggih, Pakdhe!" Hanya jawaban pendek yang terucap dari bibir Nadhifa. Percuma juga membantah, hanya makin menambah emosi pakdhenya.

Suara mengaji di luar sudah tak terdengar lagi, berganti dengan sambutan dan tausiyah. Nadhifa paham, sebentar lagi akad nikah akan segera dilaksanakan. Statusnya akan berganti menjadi seorang istri. Artinya ia wajib patuh dan berkhidmat pada Gus Fathan, lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya.

Sudah jadi niatnya untuk melenyapkan diri dari kehidupan Ferdi. Tapi saat jalannya untuk berjodoh dengan Ferdi akan benar-benar tertutup, tetap saja kesedihan melingkupi hatinya. Apalagi saat diketahuinya Ferdi berusaha mencarinya. Artinya lelaki itu masih sangat menginginkannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mungkin takdirnya dengan Ferdi tak tertulis untuk berjodoh. Nadhifa berusaha meyakinkan diri bahwa pilihannya menikah dengan Gus Fathan adalah yang terbaik.

Nadhifa masih berkutat dengan lamunannya hingga ia tak mendengar saat pakdhenya meninggalkan kamar. Lelaki itulah yang akan menggantikan almarhum bapaknya untuk menjadi wali nikahnya. Di kamar itu hanya tersisa dirinya yang ditemani oleh bulik dan budhenya. Nadhifa merapal doa semoga Allah senantiasa memberinya takdir yang terbaik.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang