Part 66

3.3K 327 87
                                    

Fathan mengecupi puncak kepala Nadhifa. Air mata lelaki itu menganak sungai membasahi rambut panjang Nadhifa. Fathan menangis pilu, neluapkan kesedihan yang sekian lama terpendam.

"Ndhuk, sepurane ...." Fathan berbisik lirih diantara sedu sedan tangisnya.

"Mboten, Gus. Njenengan mboten salah. Saya yang berdosa. Saya bukan istri yang sholihah. Istri macam apa yang masih menyimpan barang pemberian laki-laki lain. Nyuwun agenging pangapunten, Gus. Mungkin salah satunya karena saya masih memendam sedikit rasa pada Mas Ferdi sehingga pernikahan kita kurang barokah," ucap Nadhifa takzim.

Nadhifa berusaha melerai pelukan suaminya, tapi Fathan justru mempererat rengkuhannya. Seolah lelaki itu tak mau melepaskan Nadhifa. Ah, andai ini terjadi saat semua belum hancur seperti sekarang, tentu Nadhifa sangat bahagia.

"Ndhuk, aku sing paling salah. Kalau saja dulu aku nggak mau menikahimu, kamu pasti lebih bahagia jika berjodoh dengan Pak Ferdi. Ndhuk, aku mencintaimu, bahkan sebelum kamu baligh. Jika cinta adalah pengorbanan, aku ikhlas dan bahagia bisa membuatmu punya pendidikan tinggi seperti sekarang. Wallahi, aku sama sekali tak berharap menikahimu. Aku tahu, aku bukan lelaki normal, aku nggak bisa memberimu nafkah batin layaknya suami. Aku sangat ikhlas, jika lelaki lain yang memetik semua buah kebaikan keluargaku atasmu ...."

"Gus ...." Nana memotong pembicaraan Fathan. Namun belum sempat ia melanjutkan kalimat, Fathan kembali memotong.

"Ndhuk, aku sudah memberimu kesempatan untuk bersatu dengan Pak Ferdi. Dia sangat mencintaimu, juga anak kalian. Kenapa kamu justru menolak? Soal hukum syar'i pengasingan, anggap lah kalian tak bertemu hingga janin itu lahir. Setelah itu kalian bisa menikah dan hidup bahagia. Kenapa kamu justru memilih pergi? Bagaimana mungkin kamu sanggup membesarakan anakmu seorang diri, sekaligus mencari nafkah?" Fathan bertanya dengan suara parau.

"Semua alasannya seperti apa yang saya utarakan tadi, Gus. Oh nggih, Gus, kalau memang Njenengan ngersakke, saya akan menyetujui semua dhawuh panjenengan tentang harta gono-gini atau apapun itu. Saya nggak akan mempersulit perceraian ini. Saya nggak akan datang di sidang pengadilan, sehingga tak mungkin ada lagi mediasi. Dengan begitu semua bisa cepat selesai. Selanjutnya, saya minta tolong, semua harta atas nama saya agar disedekahkan untuk kemaslahatan umat. Biar tersisa amal jariyah untuk saya, walaupun dosa saya tidak terampunkan. Satu lagi, Gus. Saya mohon izin untuk menginap malam ini. Semua barang sudah saya packing. Saya hanya akan membawa barang-barang yang saya bawa saat datang pertama kali sebagai garwa Njenengan. Untuk mahar juga saya kembalikan karena saya tidak pernah Njenengan campuri." Susah payah Nadhifa mengucapkan perkataanya di tengah derai tangis yang sebisa mungkin ia tahan.

"Ndhuk ...." Fathan menciumi wajah sang istri sepuas hati. Ia tahu, mungkin ini terakhir kali ia bisa menyentuh setiap inchi tubuh wanita itu.

Fathan menatap Nadhifa dengan pandangan yang ia sendiri sulit mengartikan. Wajah cantik dengan hidung mancung dan dagu lancip, rambut hitam panjang bak mayang mengurai, serta kulitnya yang kuning langsat sungguh menarik hati tiap lelaki yang memandangnya. Lingerie transaparan membuat beberapa titik sensual di tubuh sang istri tercetak jelas. Andai masih halal, ingin rasanya Fathan membopong istrinya menuju peraduan dan mereguk madu asmara yang sekian lama dirindukan. Sayang, semua sudah terlambat.

"Ndhuk, sepurane dosaku, ya! Akupun berat melepasmu. Aku juga nggak sanggup melihatmu pergi. Besok, aku pamit pulang ke Jombang ya. Mau ngabari Abah dan Umi, juga minta Ikram untuk mengantar ke rumah Pakdhemu. Bagaimanapun juga beliau walimu ...." Fathan terdiam, ada luka yang terasa makin menganga saat mengucapkan kalimat terakhirnya.

Air mata Nadhifa makin deras. Ia menumpahkan emosinya di dada Fathan. Inilah saat terakhirnya memiliki sandaran hidup. Esok, jika talak sudah resmi dilafalkan, ia tak punya lagi ridho suami yang memberkahi hidupnya. Segala cobaan hidup akan dilaluinya tanpa penopang jiwa.

"Ndhuk, jangan menangisi laki-laki pengecut yang nggak bertanggung jawab! Suami macam apa aku, hingga tiga tahun menikah tak pernah membawa istrinya silaturahim pada keluarga dan ziarah ke makam orang tua. Aku bahkan tak pernah tahu di mana makam bapak ibumu." Fathan berusaha meredam kesedihan Nadhifa.

"Gus, sejak jadi istri Njenengan, saya sudah berjanji untuk ngladosi Njenengan, menerima apapun kondisi Njenengan. Saya tidak bodoh, untuk bisa menebak kalau ada sesuatu yang Njenengan rahasiakan. Andai saya tidak berzina, saya pasti masih berjuang agar tetap jadi istri Njenengan. Tapi dosa zina yang tak terampunkan dan adanya janin ini .... Saya nggak mungkin menyiksa batin Njenengan dengan memaksa menerima saya lagi dengan kondisi berlumur dosa."

Kedua insan itu masih saling berpelukan. Masing-masing enggan untuk mengurai tautan tubuh, berusaha berlama-lama ingin menikmati saat-saat terakhir sebagai pasangan halal. Saling menyentuh dalam diam membuat Nadhifa dan Fathan menyelami perasaan masing-masing. Sesal kemudian memang tiada guna. Andai waktu bisa diputar, alangkah baiknya jika pernikahan mereka dilakukan atas dasar mu'asyarah bil ma'ruf.

"Sebentar lagi fajar, Gus. Njenengan perlu istirahat. Besok perjalanan ke Jombang pasti sangat melelahkan." Nadhifa akhirnya mengurai pelukan dan menjauhkan diri dari suaminya.

"Saya nggak akan mengganggu Njenengan lagi. Seperti biasa, saya akan tidur di kamar belakang. Toh, selama ini saya lebih pantas disebut khadimah dibandingkan seorang istri." Kalimat terakhir Nadhifa membuat Fathan semakin sesak.

●●●

Sebelum adzan subuh berkumandang, Nadhifa sudah sibuk di dapur. Ini mungkin saat terakhirnya membuat masakan untuk Fathan. Sengaja dibuatnya hidangan Timur Tengah kesukaan Fathan.

Seperti biasa Fathan selalu mendaraskan Al Qur'an dan mengamalkan wirid seusai Subuh. Nadhifa meletakkan kopi pahit dan pisang goreng kesukaan sang suami. Tak lupa ia menyiapkan Syurbah Lahm hangat untuk sarapan.

"Ndhuk ... sini!" Suara Fathan yang memanggil terdengar parau. Lelaki itu berulang kali menghembuskan nafas, seolah melepas beban berat yang tengah ditanggung.

"Ndhuk, pagi ini aku pamit ke Jombang, sowan Abah Umi." Kembali Fathan terdiam.

Nadhifa paham arah pembicaraan Fathan. Ia bersimpuh di hadapan sang suami. Menanggung lara dalam diam, Nadhifa pasrah menunggu kalimat yang akan diucapkan Fathan.

"Nadhifa Syafa'atuz Zahra binti Rohmad Abdullah, mulai saat ini kamu bisa pergi sesuka hati tanpa izinku lagi." Fathan menegaskan ucapannya.

Air mata Nadhifa jatuh seiring dengan talak kinayah yang baru saja meluncur dari bibir Fathan.





Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang