Part 68

3.9K 284 63
                                    

"Le ...," Fathan terdiam lagi. Sedikit tersendat ia melanjutkan kalimatnya, "Aku sudah menjatuhkan talak pada Nadhifa tadi pagi. Talak raj'i tapi sampai detik ini aku tak berniat merujukinya."

Perkataan Fathan jelas sangat mengejutkan Ikram. Konsentrasi Ikram sedikit buyar hingga laju mobil yang dikemudikan sedikit keluar jalur. Lelaki itu hanya mampu beristighfar mendengar ucapan kakak iparnya.

Kedua bersaudara itu menghabiskan waktu dalam diam menyusuri jalan desa yang terkadang membelah hutan. Beberapa kali Ikram terdengar menghela nafas kasar. Batinnya tentu berkecamuk. Di satu sisi ia menyayangkan berakhirnya pernikahan kakak iparnya karena pastilah menghancurkan hati banyak pihak. Namun, di sisi lain ia pun memahami bahwa kesalahan Nadhifa sangat sulit dimaafkan. Andai dirinya yang bernasib seperti Fathan, pastilah susah untuk memaafkan istri yang telah berzina.

Tak lama mereka sudah sampai di depan rumah yang sangat sederhana. Dindingnya yang terbuat dari kayu dan campuran batu bata serta anyaman bambu makin menegaskan bahwa si empunya bukanlah orang berharta.

"Le?" Sekali lagi Fathan melontarkan tanya penuh keheranan.

"Nggih, Gus, ini rumah Pak Tarso", jawab Ikram. Ia seperti sudah memahami maksud kakak iparnya.

Fathan terpaku sejenak. Ia sibuk menata hati, menyiapkan diri berhadapan dengan wali nasab mantan istrinya. Jika ada pepatah kuno mengatakan, orang yang bersalah pasti menyimpan rasa takut, hal inilah yang terjadi pada diri Fathan. Dirinya tentu banyak salah. Sama sekali tidak bersilaturahim dengan keluarga Nadhifa dan mengabaikan hak-hak sang istri hanya sebagian kecil dari tumpukan dosanya yang telah mendzalimi istri.

Ikram tidak menunggu kakak iparnya. Ia bergegas turun dan mengetuk pintu. Tak berapa lama seorang wanita paruh baya membukakan pintu dan mengobrol dengan bahasa jawa yang halus. Tak butuh pemikiran lama bagi Fathan untuk menebak, bahwa wanita yang rambutnya telah memutih sebagian itu adalah budhenya Nadhifa.

Fathan yang mengekori Ikram sedikit tersentak saat wanita yang tampak berusia separuh abad itu terpaku melihatnya. Sebelum akhirnya wanita itu sedikit histeris dan mencium tanganya.

"Oalah, njanur gunung, griya kula karawuhan priyayi ageng tur sholeh. Putrane Kyai Hasan. Oalah, Gus, nembe sepindhah tindak mriki, monggo pinarak!" Wanita desa yang sederhana itu mempersilahkan kedua tamunya untuk masuk.

"Rumiyin, Gus, kula damelke unjukan. Alah Gusti, ngimpi napa kula, Gus Fathan kersa pinarak gubuk kula. Kok nggih keleresan, kawula ndamel pepes tahu luntas, brambang asem godhong lung karemenane Gendhuk. Dhahar nggih, Gus! Tak penyetke tempe, niki enten tempe bakalan. Gendhuk mesti nelas-nelaske sekul." Wanita setengah baya itu sangat antusias, membayangkan segera bertemu keponakannya. Namun, mendadak raut mukanya berubah saat menengok keluar tidak ada siapapun.

Budhe Tarso menoleh ke arah kedua tamunya dengan penuh tanya. Sebelum wanita itu melontarkan kalimat, Fathan sudah menjelaskan, "Pangapunten Budhe, Nana mboten ndherek."

Fathan tercekat, ia tak mampu meneruskan kalimatnya dengan kejujuran. Sebuah kebohongan kembali terlontar, "Nana ndak bisa perjalanan jauh. Awake radi mboten penak."

"Nana sampun bathi, Gus? Alhamdulillah. Rumiyin tak marani bapake teng sabin." Tanpa menunggu jawaban, istri Pak Tarso langsung melesat dengan sepeda. Meninggalkan kedua tamu yang bahkan belum jadi dibikinkan minuman.

"Entah berapa kebohongan lagi yang akan sampeyan buat, Mas. Kenapa nggak jujur? Kalau memang sampeyan sudah nggak menginginkan Mbak Na, pulangkan dia secara baik-baik ke Pak Tarso! Jadilah lelaki ksatria, Gus! Jangan menutupi aib dengan bertumpuk kebobongan!" Ikram menegur kakak iparnya sembari menahan emosi yang menggelegak.

Cinta Terlarang di Masa PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang