Source: Pinterest
[Malang, November 2014]
Berlari, itulah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan saat ini. Derap langkahku menggebu sama seperti mahasiswa lainnya yang hendak berlindung dari semprotan gas air mata. Para petugas dari kepolisian dan TNI bermaksud membubarkan aksi demo mahasiswa di depan gedung DPR ini. Ya, aku ikut demo dengan teman-temanku dari berbagai fakultas, bahkan dari berbagai kampus. Aku memang terbilang nekat turun aksi, padahal aku bukanlah aktivis. Hanya saja naluriku sebagai mahasiswa hukum tergerak untuk mewakili rakyat mengungkapkan aspirasi demi kepentingan rakyat juga. Aku bukan sok hebat atau sok kristis, tapi hanya ikut berjuang apa yang aku anggap benar, seperti sebuah adagium[1] dalam ilmu hukum yang selama ini aku yakini 'Fiat justicia ruat caelum', artinya keadilan harus ditegakkan meski langit akan runtuh.
Mataku semakin sulit membuka ketika kurasakan gas air mata itu mulai bereaksi di mataku. Langkahku semakin melambat karena nggak bisa lihat jalan dengan benar. Aku sempat menabrak beberapa mahasiswa yang juga berlari. Sialnya lagi beberapa mahasiswa yang aku tabrak bukan hanya dari kampusku. Ya, yang ikut demo memang dari berbagai almamater kampus yang ada di Kota Malang. Sialnya aku terjerembab jatuh ketika ada seseorang yang tidak sengaja menyenggolku. Orang yang menabrakku jelas langsung kabur begitu saja. Sementara derap langkah kaki ribuan orang semakin keras. Pertanda bahwa aksi ini semakin ricuh. Aku mulai sesak napas saat menghirup udara yang bercampur dengan asap ban yang dibakar. Dan saat aku hendak berdiri, sialnya kakiku terkilir dan telapak tanganku lecet akibat menghantam aspal.
Satu hal yang aku takuti, tubuhku terinjak kaki para pendemo yang memenuhi jalanan di sekitar gedung DPR. Jelas saja aku nggak ingin mati sia-sia di sini. Aku masih ingin lulus kuliah, wisuda dan membawa gelar Sarjana Hukum untuk kedua orangtuaku di Jakarta. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah berdoa. Tuhan, tolong selamatkan aku.
Di saat aku komat-kamit sendiri memanjatkan doa, tiba-tiba ada yang membantuku berdiri. Orang itu pun menggandeng tanganku, lalu menarikku untuk ikut berlari bersamanya. Kakiku yang masih terasa ngilu karena terkilir, aku paksakan berlari mengikuti cowok yang sekarang sedang menyelamatkanku. Ternyata Tuhan mengabulkan doaku. Tuhan mengirim malaikat tanpa sayap ini kepadaku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya ketika kami tiba di depan SMA Tugu. Kami duduk di trotoar. Dan aku sangat kaget saat tahu orang yang menolongku ini adalah Kak Rama. Kakak tingkatku yang sekarang berstatus sebagai mahasiswa semester 7. "Hei, nggak apa-apa?"
Aku tersadar dari lamunanku ketika ia bertanya lagi. Segera aku jawab pertanyaannya meski aku sangat gugup. "Nggak apa-apa kok, Kak."
Aku lagi-lagi cengo. Sumpah, mukaku kelihatan bodoh banget di depan Kak Rama. Kalau dibilang salah tingkah, mungkin iya. Jujur, jantungku rasanya mau copot dekat Kak Rama kayak gini. Siapa yang nggak mendadak bego kalau ditolongin salah satu makhluk ganteng dan most wanted di kampus kayak Kak Rama gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Carpe Diem (Sudah Terbit)
RomanceShanayra Indica, atau yang biasa dipanggil Nayra. Ia seorang pengacara muda yang cerdas dan sukses. Semasa kuliah ia pernah mengukir kisah indah bersama seorang pria yang sangat berharga di masa lalunya, tapi kisah indah itu berakhir begitu saja saa...