27. Back To Reality

623 78 38
                                    

Bantu cek typo ya.

***

Aku kembali ke kantor setelah cuti tiga hari kemarin. Sekarang aku harus berurusan dengan pekerjaan yang terkadang bikin aku pusing. Aku memang menyukai pekerjaan sebagai pengacara ini, tapi di sisi lain perasaan aku nggak tenang gara-gara banyak pikiran tentang pernikahan. Terkadang aku merasa nggak fokus sama pekerjaan gara-gara mikirin nikah. Gimana nggak mikir kalau tiba-tiba saja aku menjadi ragu. Entah mengapa.

"Mbak, kemarin Mbak Shelin nelepon kalau ada kasus baru tentang penipuan. Ini berkasnya, Mbak. Terus besok pagi Mbak harus ketemu sama kliennya," kata Azka waktu masuk ke ruang kerjaku.

"Oke, Makasih." Aku mengangguk setuju saja menangani kasus ini.

"Oh, iya. Tadi pagi ada yang ngasih ini ke Mbak." Azka menyerahkan paper bag untukku. Nggak tahu isinya apa.

"Apa ini?"

"Aku ngintip dikit kayaknya buku deh, Mbak."

"Dari siapa?" tanyaku.

"Nggak tahu juga.

"Ya udah, deh. Lo boleh balik. Makasih."

Selepas Azka enyah dari ruanganku, kubuka paper bag itu. Isinya buku Ricard Templar yang berjudul 'The Rules of Thinking'. Aku mendengus pelan, pasti buku ini dari Kak Rama. Namun, semua itu terjawab ketika Okta mengirimiku pesan.

[Okta]

Yang, aku beliin bukunya Richard Templar yang kamu cari tahun lalu. Semoga kamu suka, ya. Happy reading.

Ternyata buku ini dari Okta, bukan dari Kak Rama. Aku nggak tahu perasaanku gimana waktu tahu buku ini dari Okta.

[Jakarta, Maret 2021]

Hari demi hari silih berganti. Selama sebulan ini aku sengaja memutus kontak dengan Kak Rama. Semenjak pertemuan terakhir dengannya di Malang, aku udah nggak pernah lagi balas pesan-pesan dia. Mau mengangkat teleponnya pun juga enggan. Aku benar-benar ingin menghapus jejaknya dari dalam hatiku. Aku ingin menghapus namanya dari memoriku. Aku benar-benar ingin hidup tanpa mengingat semua tentangnya lagi. Semoga saja aku bisa melupakannya.

"Nay, Okta udah nungguin tuh di ruang tamu."

"Iya, Ma. Bentar masih nyisir rambut," jawabku.

Hari ini aku dan Okta memang janjian mau fitting baju pengantin buat akad dan resepsi. Kami mendatangi salah satu butik langganan Mama. Katanya sih jahitan dan desain dari butik langganan Mama itu bagus. Dulu waktu Mbak Nina nikah katanya bajunya juga fitting di sini. Aku dulu nggak seberapa tahu sih soal di mana fitting baju pengantinya Mbak Nina dan baju sarimbit buat keluarga. Dulu waktu disuruh Mama pakai bajunya ya aku pakai saja. Kebetulan ukuran bajuku waktu itu sama kayak Mbak Nina. Jadi aku yang waktu itu masih kuliah nggak perlu pulang kampung cuma buat ngukur baju.

Setibanya di butik kami bertemu dengan Mbak Fifian—desainer baju sekaligus pemilik butik ini. Mbak Fifian ini orangnya modis banget meski kata Mama udah beranak dua. Umurnya masih kayak wanita usia dua puluh tahunan. Padahal umurnya sudah kepala tiga. Kami belum memilih baju buat resepsi. Sementara milih baju dulu buat akad. Untuk baju ijab qabul aku memilih kebaya warna putih dengan jarit motif kawung. Kenapa aku milih kawung karena batik ini punya filosofi sebagai lambang keadilan seperti hukum yang senantiasa menjunjung tinggi keadilan. Gila kan aku sampai milih batik aja berkaitan sama hukum. Untung nggak berkaitan sama Harry Potter. Bisa viral aku kalau nikah pakai jubah murid Hogwarts terus logonya Gryffindor.

"Yang, desain kebayanya milih yang mana?" tanya Okta.

Aku melihat beberapa contoh desain kabaya modern yang diperlihatkan Mbak Fifian. Semua desainnya bagus. Hanya saja ... mendadak aku bingung. Bukan bingung memilih bajunya, tapi bingung apakah aku beneran mau menikah sebulan lagi? Sebenarnya kalau dibilang excited, aku nggak terlalu excited juga. Fitting baju ini saja Okta yang ngajak. Dia yang excited banget. Kalau aku ... nggak tahu, deh.

Carpe Diem (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang