22. Something Wrong

579 79 17
                                    

Bantu cek typo ya. Thanks

***


"Yang, kamu pulang aja deh mendingan. Kamu barusan dateng masa harus nemenin aku di rumah sakit. Pasti capek nanti."

"Nggak apa-apa. Demi kamu. Selama ini aku nggak bisa jagain kamu karena kita LDR. Sekarang mumpung aku di Jakarta. Aku mau jagain kamu."

"Tapi, kan ...."

"Please, biarin aku di sini. Denger kabar kamu luka sampai pingsan bikin aku jantungan tahu, Nay. Aku merasa jadi tunangan nggak berguna kalau terjadi sesuatu sama kamu. Sekarang biarin aku jadi tunangan yang berguna buat kamu." Okta mengatakannya dengan mimik muka yang serius. Aku cuma bisa ngalah dan nggak mau debat lagi kalau Okta sudah serius begini.

Aku menyalakan kamera HP untuk melihat leher kananku yang sekarang ditempeli plester atau apalah ini. Luka ini mendadak bikin aku ngeri kalau ingat kejadian tadi pagi. aku sempat berpikir bahwa hidupku akan tamat di ruang persidangan tadi. Siapa yang nggak kaget kalau lehernya nyaris kegorok dan dada diktikam sampai berdarah-darah. Beruntung Kak Devan bilang pisaunya nggak kena organ-organ penting.

"Sakit ya lukanya, Yang?" tanya Okta. Dari nada bicaranya sepertinya dia khawatir.

"Udah enggak seberapa kok, Yang. Cuma pengin lihat aja aku."

"Untung tadi ada Rama yang nolongin kamu. Coba kalau Rama nggak sigap bawa kamu ke sini. Aku nggak bisa bayangin keadaan kamu. Aku harus berterima kasih nih sama Rama."

"Hmm, iya." Aku hanya meresponnya singkat.

Nico yang sekarang duduk di sebelah Okta langsung ikut menimpali. Tadi dia memang cerita panjang lebar tentang kronologi musibah yang menimpaku ini, termasuk Kak Rama yang menggendongku dan membawaku ke rumah sakit. Nico memang embernya bocor di mana-mana.

"Untungnya sih gitu, Mas Okta. Sumpah ya tadi pagi tuh darahnya Mbak Nayra kayak kran ngalir terus. Sampai Mas Rama donorin darahnya ke Mbak Nayra. Baik banget tuh orang," celetuk Nico lagi.

"Beruntung kita ya kita punya teman baik kayak Rama, Yang," ujar Okta.

"Iya," jawabku singkat.

"Mas Rama tuh juga enak banget waktu gue wawancarai buat keperluan skripsi, Mbak. Dijelasin secara gamblang kasus-kasus korupsi yang pernah dia tanganin."

"Tiap kali diajak janjian ketemu juga enak. Orangnya selalu menyempatkan waktu buat gue wawancarai disela kesibukannya. Nggak kayak Mbak Nayra diwawancarai sekali aja abis itu udah nggak mau diwawancarai lagi."

"Ya kali gue jarang nanganin kasus korupsi, Nic," sahutku sedikit ngegas.

Okta malah nggak mendengarkan cerita Nico tentang Kak Rama. Dia sekarang sibuk sama HP-nya. Pasti kolega bisnisnya yang bikin HP dia rame. Selalu kayak gitu. Aku merasa diduakan kalau dia sibuk sama urusan bisnisnya. Hmm, tapi mau gimana lagi. Resiko jadi tunangan orang sibuk. Aku selalu mencoba memahami kesibukan Okta. Aku nggak bisa menyalahkan dia karena dari awal dia sudah bilang resiko hubungan kami yang LDR dan kesibukan dia. Untungnya Okta itu tipe orang sibuk yang waktunya bisa diganggu. Seperti hari ini, di tengah kesibukannya dia nekat terbang ke sini demi aku. Dia berani ninggalin tetek-bengek pekerjaannya di Jogja demi memastikan aku baik-baik saja.

"Yang, aku laper. Aku keluar dulu ya cari makan," ujarnya sambil menepuk-nepuk perutnya.

"Kamu pasti dari tadi pagi belum makan?" terkaku. Aku sudah hafal kebiasaan buruk Okta. Kalau pagi dia cuma sarapan roti, siang dan malam sering melewatkan makan karena lupa kalau sudah memegang kerjaannya.

Carpe Diem (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang