"Kamu kapan pulang?" tanya Mama ketika meneleponku.
"Ya waktu libur semesteran dong, Ma."
"Minggu depan pulang aja!" titah Mama seenaknya. Ya kali jarak Malang-Jakarta dekat kayak Malang-Batu. Ini jauh, woi! Naik kereta bisa semalaman perjalanannya. Naik pesawat mahal dan kadang aku bukan tipe orang yang suka buang-buang duit. Ya, meski Mama mau bayarin tiketnya, tapi tetap saja mending dipakai buat hal yang lebih berguna.
"Kamu di sana makannya teratur, kan?"
"Iya, Ma. Makan tiga kali sehari," jawabku biar Mama puas.
"Nggak makan mie instan, kan?" Mama sekarang menginterogasiku layaknya intel. Mama memang melarangku makan mie instan terlalu sering. Padahal itu makanan faforit anak kost segalaksi Bimasakti.
"Nggak, Ma," jawabku bohong. Padahal tadi pagi sarapan mie instan.
"Awas ya kalau kamu makan mie instan! Mama bilang ke Papa biar nggak dibayarin UKT[2] kamu." Gila, ancamannya nggak dibayarin UKT.
"Iya, Ma. Janji nggak akan makan mie instan." Baiklah, ini kebohonganku kedua. Aku jelas tidak bisa untuk tidak makan mie instan. Pasalnya makanan tidak bergizi itu rasanya enak dan murah meriah.
"Awas ya kalau ketahuan bohong!" Lagi, Mama ngancam. Nasib apes punya Mama galak. "Kalau nggak nurut, terpaksa Mama potong uang jajan kamu.
Ada yang ingat motto sekolah Hogwarts yang berbunyi 'Dracodormiens nunquam titillandus!' atau dalam Bahasa Indonesia 'Jangan mengganggu naga yang sedang tidur!' Motto ini sebenarnya cocok dijadikan motto untuk diriku sendiri, intinya 'Jangan makan mie instans kalau nggak mau naga di rumah bangun'. Maafkan anakmu yang kadang menyebutmu 'naga' ya, Ma.
Mama itu kalau ngamuk makin lama makin serem kayak dementor. Tahu kan dementor? Itu lho makhluk hitam di Harry Potter yang bisa menyedot kebahagian seseorang. Dalam bayanganku tiap kali Mama marah selalu muncul aura hitam pekat seperti dementor. Terus terbang ke mana-mana gitu.
"Kamu denger kan, Nay?"
"Eh, iya, Ma. Denger, kok. Udah dulu teleponnya ya, Ma. Nay mau nugas dulu."
"Iya. Kamu harus jaga diri baik-baik di sana. Inget pesen Mama!"
"Siap, Kanjeng Ratu," balasku asal-asalan. Mama langsung menutup teleponnya.
Aku merasa beruntung masih punya orang tua lengkap. Meski Papa orangnya dingin dan Mama orangnya galak, tapi sebenarnya mereka sayang banget sama anak-anaknya. Aku dan kakakku tidak pernah kekurangan kasih sayang dari mereka. Semenjak kecil apa pun kebutuhanku selalu terpenuhi. Satu hal juga yang patut aku syukuri adalah keadaan ekonomi keluargaku yang bisa dibilang lebih dari cukup. Papaku seorang direktur di salah satu perusahaan elektronik terbesar di Jakarta. Kakakku juga sekarang bekerja di kedutaan RI di Malaysia. Aku punya kakak perempuan beda tiga tahun yang merupakan lulusan Hubungan Internasional UI.
Aku merebahkan diri di atas kasur empuk. Kasur itu adalah surga dunianya mahasiswa. Kalau tugas kuliah nggak manusiawi, semua mahasiswa pasti merindukan yang namanya kasur. Apalagi modelan mahasiswa FK seperti Kak Devan. Tadi waktu aku ke rumah ibu kost buat laporin wifi yang ngadat, Kak Devan lagi duduk di ruang tengah sambil ngetik skripsinya. Lembaran jurnal-jurnal dan buku berserakan di sekitarnya. Dia serius banget sampai aku nggak berani gangguin. Namun, waktu aku mau balik, Kak Devan memberikan sesuatu kepadaku. Sebatang cokelat yang katanya dari penggemar rahasiaku. Sumpah ya, aku penasaran siapa yang selama ini memberiku hadiah-hadiah kecil.
"Ini dari siapa, sih?" gumamku sambil memandangi cokelat yang sekarang aku pegang. Aku mengangkat cokelat itu ke atas, mengarahkan ke langit-langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Carpe Diem (Sudah Terbit)
RomanceShanayra Indica, atau yang biasa dipanggil Nayra. Ia seorang pengacara muda yang cerdas dan sukses. Semasa kuliah ia pernah mengukir kisah indah bersama seorang pria yang sangat berharga di masa lalunya, tapi kisah indah itu berakhir begitu saja saa...