19. The Curse of The Court

579 88 21
                                    

Bantu cek typo ya teman-teman.
Happy Reading.

***

"Masa lalu apa?" tanya Okta penasaran.

Aku nggak tahu kapan Okta datang. Tiba-tiba dia sudah ada di depan kamarku. Mendadak aku jadi kikuk dan bingung sendiri. Takut saja kalau Okta mendengar obrolanku dengan Kak Rama barusan.

"Itu ... itu, Yang ...."

"Kami ngobrolin zaman kuliah dulu. Nostalgia, Ta," sahut Kak Rama tiba-tiba. Dia memotong kalimatku cepat dan tepat.

"Oalah, pasti Nayra zaman kuliah suka bolos ya, Ram."

"Hmm, nggak juga, kok. Dia malah rajin banget. Aku pernah ngasdosin kelas dia dulu. Hasil kerjaan tugas dia juga bagus sih dulu," jelas Kak Rama. Padahal dia jadi asdos di kelasku cuma sehari doang. Namun, penjelasan Kak Rama tentang nostalgia sebenarnya bukanlah sebuah kebohongan. Nyatanya kami memang bernostalgia mengingat kisah penuh luka di masa lalu.

"Sumpah Nayra dulu rajin?" tanya Okta lagi.

"Iya, Yang. Aku tuh dulu rajin banget tahu! Meski pembawaanku santai."

"Kirain kamu kuliah sibuk ngebucin mulu. Kan kamu pernah cerita waktu kuliah suka sama kakak tingkat sampai rela keliling fakultas cuma buat memandangi kakak tingkat kamu itu dari jauh."

Mataku langsung melotot seketika. "Yang! Apaan, sih!" protesku.

"Lha, emang kamu dulu ceritanya gitu kan ke aku? Kamu rela hujan-hujanan buat datengin wisudanya dia. Eh, tahunya cinta pertama kamu malah jadian sama cewek lain," lanjut Okta sambil terkekeh. Jujur aku ingin menyumpal mulut Okta pakai sepatuku. "Iya, kan?"

"Okta! Udah. Malu tahu!" protesku seraya mencubit lengan Okta.

"Arghh! Sakit tahu, Yang."

"Makanya kalau ngomong jangan asal nyeplos aja."

"Iya. Iya maaf, deh. Jangan ngambek ya, Yang."

"Aku ngambek!" ancamku. Okta lantas memelukku dari belakang. Dia mengacak-acak rambutku.

"Jangan ngambek, dong. Jelek tahu kalau ngambek!"

"Biarin! Kamu sih ngapain pake ngungkit itu segala!" semburku dengan nada agak meninggi, tapi tiba-tiba terdengar suara rengekan Raisa.

"Pelan dong ngomongnya, Yang. Nggak usah ngegas gitu. Tuh, Raisa jadinya kebangun."

Aku langsung meringis. "Maaf."

"Kayaknya kita lebih baik turun aja, deh. Kasihan Raisa keganggu tidurnya," ajak Okta. Aku pun menyetujuinya. "Ram, kita turun dulu, ya. Nggak apa-apa, kan?"

"Iya, nggak apa-apa. Kalian turun aja ngumpul sama yang lain. Acaranya kan belum selesai."

"Oke. Kalau perlu sesuatu bilang aja ke Nayra. Tuan rumah pasti ngasih fasilitas terbaik," sahut Okta sambil menunjukku dengan dagunya.

"Iya, gampang. Makasih, Ta, Nay."

"Sama-sama."

Kami akhirnya turun ke bawah lagi. Suara riuh anak kecil masih menggema. Keluargaku tampak bahagia ikut bergabung di acara ulang tahunnya Felisha ini. Seolah tidak ada beban di hati mereka. Berbanding terbalik dengan diriku yang merasa terbebani dengan masa lalu yang kini mulai singgah di hidupku lagi.

***

Besoknya Okta menepati janjinya mengajakku jalan-jalan ke pantai. Dia membawaku ke Anyer. Udara Pantai dan harum air laut langsung membelai indera penciumanku. Aku suka aroma laut dan suara deburan ombak yang riuh tapi justru menenangkan. Aku sudah lama tidak berkunjung ke pantai. Mungkin terakhir setahun yang lalu waktu Okta melamarku di Parangtritis. Iya, pria yang sekarang menjadi tunanganku ini melamarku di pantai. Dia bahkan mem-booking restoran romantis di dekat pantai. Pokoknya Okta ini orangnya selain ganteng juga romantis. Satu hal lagi yang aku sukai dari Okta, pembawaannya selalu riang.

Carpe Diem (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang