Jari Genta berhenti bergerak pada keyboard laptopnya. Matanya menatap lurus layar laptopnya, tepatnya pada sederet angka hasil hitung-hitungan yang semalaman dia kerjakan. Bukan sedang memeriksa kesalahan penulisan atau hitungan, tetapi Genta sedang melamun.
Pertemuannya dengan Mandala di puskesmas kemarin masih memenuhi pikirannya hingga membuatnya tidak bisa fokus mengerjakan laporan.
Siang itu, wanita yang dikenalnya melalui pertemuan singkat beberapa kali tersebut tampak begitu terkejut melihat Genta. Selama pemeriksaan, ia terlihat tidak fokus. Beberapa kali ia memalingkan wajahnya. Seperti sengaja menghindari bertemu pandangan dengan Genta.
Bahkan pada satu kesempatan Genta menatapnya, Mandala jelas-jelas membuang muka. Hal itu terjadi ketika dr. Imelda memastikan apakah Genta belum mendapatkan pasien untuk laporan kunjungannya dan apakah dia mau mengambil kasus Mandira.
Bukan hanya membuang muka, tetapi juga mengeratkan pelukannya pada putrinya. Memperlihatkan gerak protektif yang membuat Genta merasa dirinya adalah seorang penjahat yang terang-terangan mengincar anaknya.
Apa yang salah?
Kenapa wanita itu bersikap dingin dan kaku? Kenapa sepertinya ia menolak mengakui bahwa mereka saling kenal? Padahal sebelumnya mereka pernah bertemu, berbincang, dan tidak jarang mereka bertukar pesan melalui WhatsApp.
Jangan salah!
Bukan berarti Genta ingin bercengkerama seperti sahabat sambil tertawa lepas, tidak. Situasi mereka tidak memungkinkan untuk interaksi seperti itu. Genta sedang dalam masa tugas, ada dr. Imelda di sana, dan dia harus tetap bersikap profesional, tetapi ... "Ibu kandung," gumam Genta yang membuka kembali dokumentasi map pasien yang diambilnya setelah selesai jam poli. Matanya menatap identitas dari pasien atas nama An. Mandira dan lama berhenti pada data yang berada tepat di bawah nama pasien.
Nama Ibu: Mandala (20 tahun)
"Berarti Mandira lahir waktu Mandala umur 19, 'kan?" tanyanya pada diri sendiri.
Sambil menopang dagu, Genta memerhatikan satu foto itu terus menerus.
Mandala, Mandira, Mandala, Mandira, Mandala, dan terus Genta gumamkan dua nama itu seperti mantra sambil mengetuk ujung jarinya pada permukaan meja.
Meraih ponselnya, Genta bersiap akan mencari kontak Mandala dari daftar chat yang ada. Tangannya berhenti dan keraguan lagi-lagi membuat Genta mengurungkan niatnya.
Apa boleh dia menghubungi Mandala? Melihat Genta saja sepertinya sudah enggan, bagaimana kalau Mandala malah berpikir Genta terlalu ikut campur?
Tsk!
Genta mengacak rambutnya gusar.
Semalaman dia tidak tidur mengerjakan laporan dan sekarang malah buntu karena dia belum mendapat persetujuan dari Mandala.
Tidak! Bukan persetujuan yang dibutuhkan Genta saat ini.
Genta hanya butuh penjelasan.
Dia tidak suka dibuat penasaran!
"Ta, ayo makan dulu. Bunda udah masak nasi goreng." Suara Bunda menyadarkan Genta dari lamunannya. Ketika menoleh, Bunda sudah berdiri di ambang pintu. Sambil memasukan laptop ke dalam tasnya, Genta melirik jam di meja belajar. Oh, ya ampun! Dia harus berangkat ke puskesmas sebelum terjebak macet!
"Disisir dulu itu rambutnya! Sudah mandi belum, sih? Lecek banget mukanya."
Genta manyun. "Rambutnya kan emang bentuknya begini, Bun."
![](https://img.wattpad.com/cover/219631307-288-k12901.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...