SKM 11: Woman Who Fights

3.3K 319 12
                                    

Waktu benar-benar berjalan sangat lambat saat Genta dan Mandala meneruskan pembicaraan mereka di tempat yang berbeda. Kafe tempat mereka bertemu sebelumnya tutup lebih cepat, jadi mereka kini pindah ke pelataran parkir Taman Ismail Marzuki dan melanjutkan obrolan sambil menikmati suasana kehidupan malam di sana.

Suasana malam di Taman Ismail Marzuki sebenarnya sangatlah menyenangkan. Tidak pernah sepi. Menginspirasi. Terkadang bisa menjadi sarana empuk bagi mereka yang mencintai dunia seni yang bebas. Selalu ada pertunjukan yang menghibur. Sekelompok pemusik yang mengcover lagu-lagu populer, ada. Penyair puisi yang membawakan karyanya sekaligus berjualan buku kumpulan puisi yang terbit secara indie, ada. Kelompok penari yang akhirnya mengadakan battle dance, ada. Komunitas pecinta vespa, skateboard, in line skate, ada. Bahkan mereka yang datang hanya untuk menikmati pertunjukan tanpa melakukan apapun juga ada. Ya, seperti Genta dan Mandala saat ini. 

Dengan bermodalkan segelas kopi dalam cangkir plastik bekas air mineral dan sebotol air mineral dingin, mereka duduk di pinggir trotoar, tidak jauh dari sebuah gerobak penjual minuman yang mangkal di dekat pintu masuk menuju Taman Ismail Marzuki. Kalau malam, akses pintu masuk ditutup. Sehingga area depannya bebas digunakan oleh para pengunjung. Ada beberapa pedagang makanan seperti sate padang dan nasi goreng juga di dekat sana. Mereka terus menyebarkan aroma nikmat yang membuat orang berselera untuk makan. 

Terkecuali Genta dan Mandala tentunya.

Banyak momen yang bisa diabadikan.

Dulu, Genta tahu tentang hiburan malam di Taman Ismail Marzuki saat melakukan hunting foto night scene bersama komunitas fotografi di sekolahnya. Mereka melakukan perjalanan dengan jalan kaki dari Bundaran HI dan menjadikan TIM sebagai garis finish. Semasa sekolah, kalau sedang penat belajar, Genta suka diam-diam ke sini. Memotret momen yang tidak bisa dilihatnya saat matahari bersinar.

Kalau beruntung, Genta bisa menonton konser gratis dengan membaur bersama panitia di belakang panggung. Sayangnya malam ini sedang tidak ada acara besar.

Walau begitu, keinginan untuk memotretnya malam ini seperti sedang lenyap entah ke mana. Mungkin karena dia sedang bersama Mandala dan mereka tengah membicarakan sesuatu yang ... hm, rumit.

Kalau dipikir-pikir, sudah berapa lama Genta mengenal Mandala? Seminggu? Tidak, tidak. Sepertinya sudah nyaris sebulan. Mungkinkah lebih dari sebulan? Mungkin saja.

Mereka memang baru sebulan mengenal satu sama lain. Dalam kurun waktu singkat itu, mereka baru bertemu langsung empat kali dan sisanya mengobrol melalui Whatssap. Obrolan mereka pun seringkali membahas mengenai fotografi. 

Apakah sudah melihat foto terbaru yang diunggah fotografer A? Aplikasi apa yang dipakai untuk mengedit B? Apa ada rencana mengunjungi pameran C? Kenapa merk kamera D lebih dipilih fotografer daripada merk pesaingnya?

Tentu saja itu menyenangkan.

Seperti hiburan di tengah penatnya kehidupan koas yang melelahkan dan membosankan. Terkadang, Genta sampai ikut tergoda untuk mempelajari sesuatu setelah Mandala menyebutkannya dalam obrolan dan timbul keinginan untuk mengeluarkan kamera kesayangannya. 

Padahal selama ini dia kira mereka akan menjadi dekat karena hobi dan obrolan mereka tidak akan keluar dari zonanya. Sama sekali tidak terbayangkan oleh Genta bahwa akan tiba waktu di mana mereka membahas sesuatu yang begitu personal.

Dari cerita Mandala, Genta telah mendengar nyaris separuh perjalanan hidup wanita itu. Dari cerita itu juga Genta bisa melihat banyak ekspresi dari seorang Mandala—yang wajahnya selalu tampak serius, tetapi kalau sudah tersenyum jadi terlihat sangat ramah. Wanita yang selalu minta maaf atas penampilannya yang dia anggap tidak layak. Wanita yang membangun imaji diri yang menyerupai sebuah dinding tinggi yang begitu kokoh dan sulit ditembus. 

Secangkir Kopi dari MandalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang