Kamis siang.
Genta tersenyum puas saat melihat layar kecil di kamera DSLR miliknya. Usahanya mengganggu keharmonisan sekumpulan bangau yang sedang berkerumun menghasilkan sebuah foto yang memuaskan. Spektakuler walau belum layak disebut sempurna. Foto itu, adalah sebuah maha karya penutup sebelum ia mengakhiri perjalanannya di Kebun Binatang Ragunan.
Sambil terkekeh, Genta berjalan menjauhi danau. Tentu saja dia sempat bergumam minta maaf pada kumpulan bangau yang sekarang tersebar ke seluruh penjuru danau. Juga rasa penyesalan sedalam-dalamnya pada pengunjung yang jadi korban terkejut akibat kekacauan yang Genta lakukan demi mendapatkan foto terakhirnya.
Sebelum kembali ke lokasi di mana ia parkir motornya, Genta mampir untuk membeli sebotol air mineral dingin untuk mengganti kucuran keringat yang sudah membasahi seluruh tubuhnya. Butuh lima belas menit untuk menuju jam sebelas, namun kawasan Ragunan sudah terasa seperti sebuah mesin panggangan roti. Udaranya terasa kering. Berdiam diri saja cukup untuk membuat tubuh berkeringat, apalagi ditambah dengan nyala terik matahari. Selama duduk untuk beristirahat, Genta menggelengkan kepalanya melihat sekelompok remaja yang datang mengenakan sweater tebal. Entah apa yang dipikirkan mereka saat memilih pakaian, Genta tidak pernah dan tidak ingin tahu alasannya.
Tangannya meraih ponselnya, melihat beberapa notifikasi chat grup, dan ia jejalkan benda hitam pipih itu kembali ke saku jeans. Masih ada waktu untuk pulang, mandi, ganti baju, dan menghadiri acara ulang tahun Naomi nanti malam.
"Bakal macet nggak, ya?" gumamnya sambil berjalan menuju parkiran motor. Sambil memasukan kameranya ke dalam tas ransel, Genta terus berpikir. Sampai akhirnya ia menggeleng dan membulatkan keputusannya. "Numpang ke tempat Robyn aja, deh."
Sambil mengencangkan tali helm, Genta kembali memeriksa ponselnya. Belum ada notifikasi baru yang harus diperiksanya, namun tangannya terus bergerak mengeluarkan ponsel. Kedua matanya terpaku menatap tampilan layar. Sambil berdecak, Genta menggelengkan kepalanya.
"Balik dulu, deh."
- - -
"Kita nggak bisa kayak gini terus, Ta!"
Genta nyaris menyembur es kopi yang baru diseruputnya ketika Naomi datang dan membanting tasnya di meja. Setelah meletakan kopinya menjauh dari jangkauan tas tangan besar milik Naomi, Genta menatap bingung wajah kekasihnya. Hanya orang dengan penurunan kesadaran yang matanya ditutup rapat yang tidak akan menyadari bahwa Naomi siang itu datang dengan luapan emosi. Wajahnya memerah dan jelas bukan karena cuaca panas atau karena polesan make up yang viral sampai dijadikan filter Instastory. Alisnya bertautan menemani sepasang mata yang melotot tajam.
"Ini udah keterlaluan! Aku nggak bisa diginiin terus!"
"Sabar dulu, Mi. Duduk dulu, tarik napas. Kamu mau minum apa?" bujuk Genta sambil menggenggam tangan Naomi. Diusapnya tangan kekasihnya dengan lembut namun usahanya tidak berhasil meredakan amarah Naomi.
"Harus sabar kayak apa lagi? Kamu sadar nggak sih, Ta? Selama ini aku udah berjuang banyak buat kita, tapi kamu makin ke sini makin nggak ada usaha, Ta. Aku tuh capek, Ta."
"Nggak ada usaha gimana sih, Mi? Coba jelasin pelan-pelan. Apa yang bikin kamu ngerasa aku nggak ada usaha?"
Naomi menggeram. Disisirnya kasar helai rambut panjangnya lalu ia dudukan diri di kursi kayu di seberang Genta. Kedua tangannya mulai memijat kepalanya dan tidak ada sepatah kata pun keluar.
"Kamu marah karena aku nggak dateng ke acara kemarin?" Bukan mencoba menebak, tapi Genta tahu Naomi benar-benar marah karena dia batal datang ke acara makan malam keluarga Naomi. Saat Genta mencoba menjelaskan kenapa dia tidak datang, Naomi keburu menjerit histeris dan mematikan telpon. Seharian tidak ada update dari Naomi dan Genta tidak bisa melakukan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
Romanzi rosa / ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...