"Kamu ada kuliah?"
"Iya, jam 8."
Mandala berjongkok di samping Mandira yang berdiri sambil bersandar pada kursi, lalu mengarahkan sendok berisi makanan yang dicincang kasar ke mulut putrinya. "Mam lagi, yuk. Mam dulu, aa!"
Si kecil tertawa dan momen itu dimanfaatkan untuk menyuapkan makanan. Kedua tangan kecilnya memukul permukaan kursi lalu dia bertepuk tangan sambil mengentakan kakinya.
Ibu menghelakan napasnya. "Man, apa nggak mau pertimbangkan untuk berhenti saja? Kuliahmu."
Tangan Mandala yang sedang mengaduk mangkuk berhenti beberapa detik. "Enak mamnya? Udah kosong belum? Lagi, ya? Lagi, yuk."
Mandira menelengkan kepalanya saat Mandala mengarahkan sendok ke depan mulut. Putrinya mengulurkan tangan, menunjuk botol minuman di atas meja.
"Mii-mi. Mii!"
"Anak kamu masih kecil, Man. Dia butuh kamu. Setelah Dira besar, kamu kan bisa masuk kuliah lagi. Ambil kelas karyawan aja," papar Ibu sambil mengemas kue basah ke dalam wadah plastik. "Nggak usahlah ambil jurusan film. Nggak ada jaminan kamu bisa cepat kerja dengan jurusan kayak gitu. Ibu liat kamu kuliah seperti main-main, ndak ada ilmunya. Lebih baik ambil jurusan lain yang sudah pasti bisa kerja di kantor setelah lulus."
Usai minum air, botol minum ditinggalkan Mandira di kursi begitu saja. Dia merambat ke kaki Mandala dan merengek ingin digendong. Usai digendong, dia membenamkan kepala di pundak Mandala.
Suara rengekannya terdengar pelan. Hanya Mandala yang bisa mendengarnya jelas. Wanita itu pun lantas mengusap punggung Mandira.
"Coba kamu pikirkan baik-baik. Apa ndak kasian anakmu masih sekecil itu?"
"Kayaknya nggak ada yang harus dipertimbangkan, Bu. Aku udah nunda kuliah dan sekarang mau coba fokus lagi. Lagipula, Ibu juga tahu, 'kan? Sejak kecil aku mau jadi penu—"
"Masih aja ngomongin mimpi, Man." Suara Ibu terdengar meninggi. Gerakannya memindahkan kemasan kue menjadi semakin kasar. "Kamu ndak mikir? Kalau sudah punya anak, kamu harusnya fokus mikirin keluarga sendiri, bukan malah mikirin mimpi kamu. Anak kamu butuh susu, nasi, dan waktu kamu. Mimpi kamu ndak akan bisa ngasih gizi buat anak ...."
Dengan posisi membelakangi Ibu, Mandala memejamkan matanya. Dia hanya diam dan menggigiti bibir bawahnya. Menelan semua nasihat yang mengalir begitu saja dari mulut Ibu. Nasihat yang sudah mengabur batasnya; apakah itu sebuah kritikan atau saran?
Semuanya masuk ke telinga Mandala.
Dengan tarikan napas panjang, Mandala berusaha menahan dirinya. "Ibu," panggil Mandala dengan dengan suara pelan sembari berbalik menghadap Ibu. "Manda nggak mau bahas ini lagi. Manda capek, Bu."
"Capek?" tegas Ibu dengan suara melengking. "Capek kamu bilang!?"
"Bu, Manda mohon," pinta Mandala dengan mata berair. "Kalau memang Dira ngerepotin Ibu, Manda minta maaf. Nanti Manda cari pengasuh atau cari tempat penitipan, ya? Biar Ibu bisa tetap jualan—"
"Sekarang kamu mau angkat tangan? Dulu kamu nangis-nangis mau mempertahankan anak itu. Kamu janji mau ngerawat dia dan bertanggung jawab atas pilihan kamu. Sekarang kamu mau cari pengasuh? Kamu itu mikir ndak, sih, Man?" Ibu mengusap wajahnya. "Kamu tuh ndak berubah. Dari dulu selalu merasa benar. Selalu merasa paling pintar dan bisa ngapa-ngapain sendiri, tapi nyatanya? Dikasih kepercayaan untuk kuliah, kamu malah hamil. Bapaknya ndak tau di mana. Sekarang anakmu kamu telantarkan demi mimpi omong kosongmu itu. Buntutnya selalu keluarga yang dibuat susah."
"Sudahlah!" ujar Ibu seraya membanting wadah plastik di pangkuannya ke atas meja. "Terserah kamu saja, Man. Ibu sudah ndak ngerti lagi sama jalan pikiranmu. Mau cari pengasuh atau apa, terserah! Urus anakmu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...