Genta dan Robyn terperangah memerhatikan bagaimana Luki melipat jaket Genta menjadi bantalan kecil sambil melotot. Jaket itu lalu dimasukan ke tas ransel dan terakhir digunakan untuk menutupi wajahnya.
"Arrrrrgghh!!!"
Robyn tertawa sambil menggigit sedotan dan menggeleng. Sudah maklum dengan tingkah konyol Luki yang sedang jengkel. Untungnya saat ini mereka bertiga—berempat dengan Mahesa yang sedang mampir ke toko buku untuk membeli titipan adiknya dan tanpa David yang kebagian jatah jaga penutup—sedang berada di sebuah restoran yang cukup ramai, sehingga Luki bisa menahan diri. Biasanya, kalau berkumpul di tempat Robyn, semua cacian itu akan mengalun seperti sedang mendengarkan lagu barat yang disiarkan di radio lokal. Banyak bagian yang disensor sehingga hanya terdengar penggalan kata tidak bermakna.
"Ujian lo jadinya gimana?"
"Bencana," jawab Robyn mewakili. Kondisi teman satu timnya yang masih belum bisa diajak bicara secara manusiawi. "Nilai dia ditahan. Besok pagi masih harus jemput dr. Brahma di Cibubur, nganter ke bandara, terus ikut turun ke penelitian di Bandung minggu depan."
"Terus semua tugas poster, flyer, flipchart, sama video penyuluhan?"
"Dibawa semua sama dr. Brahma. Kalau mau nilai satu kelompok disetor ke bagian administrasi, semua tugasnya harus selesai."
"Bukannya lo beda penguji, Byn?"
"Beda penguji tapi sekelompoknya sama si Sayang di sebelah lo."
"Jadi, nilai orang lain ada di tangan lo? Semangat, Luk."
"Diem lo!" tukas Luki. Direbutnya lemon tea milik Robyn lalu ia tenggak hingga sisa setengah. "Gue doain sebelum nyaleg keburu diciduk KPK, terus sekeluarga jatuh miskin, terus ..."
"Mulut lo!" Genta buru-buru membekap mulut Luki sebelum doa-doanya semakin panjang dan membuat tujuh generasi keturunan dr. Brahma hidup menderita. Luki masih terus mengoceh, tetapi tangan Genta meredam suaranya.
Di seberang Genta, Robyn hanya terkekeh. "Sa! Nitip Lemon tea dong satu. Thanks, Beb!" teriaknya saat Mahesa baru saja memasuki restoran sekembalinya dari toko buku. "Ujian lo gimana, Ta? Kasus apa aja yang keluar?"
Wajah Genta berubah kecut.
Pertanyaan Robyn berhasil membangkitkan kenangan buruk selama ujian kemarin. Setelah sebulan menjalani kepaniteraan di bagian Neurologi, akhirnya Genta menghadapi ujian. Selama seharian mereka di karantina dan begitu menjelang sore, mereka mulai ujian praktik. Selama 15 menit mereka harus bisa mengobati pasien settingan (probandus) dengan bekal sebaris petunjuk yang ditempel di depan pintu.
Padahal, Robyn bilang ujiannya tidak akan berbeda jauh dengan ujian OSCE lokal yang harus mereka hadapi setelah skripsi dan sebelum menjalani koass. Nyatanya, hanya teknisnya saja yang menyerupai OSCE lokal, sisanya adalah ujian kesabaran.
"Petunjuknya pasien sakit kepala berdenyut, tapi pasiennya ngamuk. Lo harus liat itu pasien tiba-tiba teriak sambil guling-guling di lantai, terus lari ke luar ruangan. Lima belas menit abis buat nyariin itu pasien!"
Alis Robyn terangkat sebalah. "Loh? Nggak alloanamnesis?"
"Anamnesis tembok? Pengujinya juga ikut keluar, Byn. Gue ditinggal sendirian!"
Robyn terpingkal-pingkal mendengar cerita Genta.
Dia bisa membayangkan bagaimana wajah bingung Genta yang tiba-tiba ditinggal oleh pasien dan dokter penguji. Kalau itu terjadi pada Robyn, dia jelas akan diam saja sampai waktu habis dan melanjutkan ke ruangan selanjutnya. Namun, karena ini bicara tentang Genta, sahabatnya itu pasti panik dan mencari si pasien.
Selagi mereka bertiga asyik melanjutkan pembicaraan, Mahesa datang sambil membawa segelas lemon tea. Diisinya kursi di samping Robyn. "Luk, cek WA. Orang rumah pada nyariin lo daritadi."
"Lowbatt. Sini HP lo."
"Kemarin si Naomi nelpon gue," ujar Mahesa sambil menyerahkan ponselnya pada Luki. Ucapannya sukses membuat suasana meja menjadi hening. "Bukan yang pertama kalinya. Dia sering chat untuk nanyain lo, tapi nggak pernah gue bales."
Luki mengangkat kedua alisnya, memberi kode pada Robyn yang kemudian dijawab sebuah pelototan. Mereka saling melempar tanggung jawab, tidak ada yang mau berterus terang ke pokok masalah karena sungkan. Melihat aksi dua orang itu menjadi semakin konyol, akhirnya Mahesa turun tangan.
"Lo sama Naomi masih pacaran atau nggak, sih?"
Luki mengusap wajahnya sementara Robyn dengan canggung memalingkan wajahnya. Keduanya merasa takjub dengan kejujuran Mahesa dan kini merasa tidak enak karena sudah mencampuri urusan Genta. Padahal rencananya mereka tidak akan mengungkit masalah ini sama sekali walau rasanya penasaran setengah mati.
Yang ditanya masih belum memberikan jawaban. Dia bersandar pada punggung kursi sambil memainkan sisa es batu di dasar gelas plastiknya. "Udah putus."
Jawaban itu membuat Robyn dan Luki menganga (tentu tanpa sepengetahuan Genta). Kalimat itu terdengar aneh dan mengejutkan. Mengingat Genta dan Naomi sudah seperti sepasang suami istri yang diborgol—sulit dipisahkan—walau seringkali Naomi meminta 'break' karena jenuh. Tentu saja setelah seminggu akan ada kabar susulan bahwa mereka berbaikan.
"Bukan break, Ta?" Robyn memberanikan bertanya.
Genta menggeleng.
Ketiga teman Genta itu terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Bagus, deh. Gue jadi ikhlas ngeblok itu cewek dari kontak. Ganggu banget. Berasa dikejar debt collector."
Luki hanya diam. Sejak awal dia sudah memblokir kontak Naomi karena dia malas menyimpan kontak perempuan selain keluarga dan teman kuliah. Jadi, saat dilihatnya ada 800++ chat belum dibaca dari Naomi di ponsel Mahesa, Luki merasa kagum pada kesabaran sahabatnya sejak SMA itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...