SKM 2: Chest Compression

6K 503 28
                                    

Hari pertama sebagai koass, Genta sudah merasa ingin mengajukan cuti seumur hidup.

Pikirannya terus mencari cara bagaimana dia bisa bertahan hidup di luar sana dengan gelar Sarjana Kedokteran. Pilihan yang bisa ia pertimbangkan adalah melupakan gelar tidak bergunanya itu dan memulai hidup sebagai fotografer acara nikahan. Kebetulan akhir-akhir ini dia sering mendengar kabar bahwa teman-teman semasa sekolahnya ingin buru-buru melepaskan masa lajang sebelum layu. Opsi terburuk yang sempat terbersit dalam benaknya adalah melamar sebagai pelatih eskul fotografi di sekolahnya dulu dan merintis karir sebagai fotografer.

Tentu saja semua pikiran negatif itu Genta enyahkan dari kepalanya dan memilih meneruskan perjuangan sebagai koass. Daydreaming won't solve anything.

Genta berhasil bangun jam tiga pagi dan datang ke rumah sakit sebelum jam empat untuk memeriksa semua pasien yang harus diperiksanya sekaligus menuliskan laporannya pada buku. 

Bagi seorang koass baru, memeriksa tujuh pasien di hari pertama bukanlah hal mudah. Apalagi kalau empat diantaranya adalah pasien baru.

"Pemeriksaan lengkap cuma ke pasien baru. Untuk pasien yang udah dirawat lama, cukup follow up sesuai keluhannya aja. Pengecualian untuk pasien lama yang tiba-tiba muncul keluhan baru," kata Robyn sewaktu menjelaskan 'cara menyikapi waktu pemeriksaan terbatas namun jumlah pasien membludak'. Penjelasan itu sangat membantu Genta yang mendapat pesan di jam dua malam bahwa dirinya harus memeriksa empat pasien rawat baru. Totalnya, pagi ini Genta kebagian tujuh pasien.

Sejujurnya, walau diberi dua pasien baru pun dia tetap kewalahan. Bayangkan saja, dua pasien baru Genta adalah pesien yang membutuhkan nyaris setengah jam untuk menceritakan kronologis sebelum mereka menderita keluhan. Dari pertanyaan 'sebelum tangannya lemas, apa bapak ngerasa sakit kepala?' Genta berhasil mengetahui silsilah keluarga pihak istri sang pasien yang katanya sedang memperebutkan harta gono-gini. Dia bahkan sempat diminta nomor ponsel oleh keluarga pasien, katanya ingin dikenalkan ke keponakan di kampung. Jangankan mau berkonsentrasi memeriksa, Genta bahkan lupa keluhan utama apa yang membuat pasien tersebut dirawat.

Jam enam seluruh laporan harus selesai diketik dan dikirimkan pada asisten melalui chat. Genta telat sepuluh menit dan langsung kena tegur oleh Alfa, sang ketua kelompok atau lebih sering disebut chief.

Setelah mengirimkan laporan melalui chat, Genta harus menyalinnya pada buku miliknya. Buku itulah yang kemudian akan menjadi 'saksi' penting apabila para asisten bertanya mengenai kondisi pasiennya. Untung Genta sudah diingatkan untuk mempersiapkan formatnya lebih dulu, jadi setelah memeriksa dia hanya perlu mengisi sesuai hasil pemeriksaan.

Jam tujuh pagi, dua orang asisten bagian neurologi sudah berkeliling ditemani oleh seorang dokter jaga bangsal. Disitulah Genta dan seluruh koass neurologi bertugas melaporkan hasil pemeriksaan mereka tadi subuh. Menurut Luki, kedua asisten neurologi adalah asisten berhati malaikat. Mereka tidak pernah mempersulit hidup koass kecuali mereka menemukan ada yang berbohong mengenai hasil pemeriksaan. Atau parahnya, koass yang tidak benar-benar memeriksa pasiennya tapi mengaku sudah melakukan.

"Pasiennya pagi ini udah baikan, Dek?" tanya dr. Susan yang tiba-tiba mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke arah Tere. Senior dua tahun di atas Genta yang baru mengikuti kepaniteraan karena sempat cuti. "Udah nggak ada lemas? Kekuatan motorik tangannya berapa?"

David menyikut Genta. "Ta, ini tuh lagi bahas siapa, sih?"

Tanpa menoleh, Genta menggedikan bahunya. Diam-diam ia melirik ke arah Alfa dan seluruh anggota lainnya, mereka semua berbagi ekspresi yang sama; bingung.

Ada senyuman tipis di wajah dr. Susan ketika Tere menjelaskan hasil pemeriksaan pasien bernama Tn. Darman. Namun senyuman itu berhasil membuat seluruh koass neurologi, kecuali Tere, merasa was-was.

Secangkir Kopi dari MandalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang