Jam menunjukan pukul 00.56 saat Genta selesai mengetik laporan operasi di laptopnya. Kasar dia menghelakan napasnya sebelum menyandarkan kepala di punggung sofa. Matanya sudah mulai sayu, tidak lagi fokus memandang benda-benda di sekelilingnya. Kalau sudah seperti ini, pulang pun percuma. Malah cenderung berbahaya. Mungkin dia harus menumpang tidur di ruang jaga koas saja.
"Koas bedah baru, Dok?"
Genta segera menegakan tubuhnya ketika Mas Pram, salah seorang perawat di ruang operasi—penata anestesi—menghampirinya sambil membawa map pasien. Pria gemuk itu lantas duduk di samping Genta lalu mulai membuka lembaran map, mengisi form yang belum dilengkapi, lalu membubuhkan cap pada beberapa tempat. "Atau putaran dari afiliasi, Dok?"
"Oh, bukan, Mas. Nama saya Genta, Mas. Koas KK."
"KK? Kedokteran Keluarga?"
Genta mengangguk.
"Kok bisa dipanggil ikut main?"
"Main?"
Mas Pram tertawa. "Iya, main. Itu istilah yang kami pakai untuk operasi, Dok. Wah, memang bukan koas bedah rupanya." Pria itu mengangguk-angguk. "Diajak dr. Jovi atau dr. Seno, Dok?"
"Sama dr. Jovi, Mas," jawab Genta yang memerhatikan lembaran yang ditulisi oleh Mas Pram. Beliau sedang menuliskan instruksi pada lembar aspek keperawatan. "Untuk laporan operasinya, di-print sekarang atau gimana ya, Mas?"
Pria itu menyibak kertasnya. "Di-print sendiri, Dok. Nanti minta tanda-tangan operatornya lalu dibuat rangkap dua. Satu untuk di status pasien dan satu lagi untuk arsip koas. Coba Dokter hubungi dr. Jovi, minta beliau untuk koreksi dulu."
Genta membulatkan mulutnya lalu menatap layar laptopnya yang masih menunjukan berkas yang tadi diketiknya. Dia membaca ulang kelengkapan isian seperti nama pasien, nama operator, nama asisten, serta nama petugas yang ikut masuk dalam ruang operasi. Setelah itu dia memeriksa diagnosis sebelum dan setelah operasi, serta tidak lupa nama tindakan operasinya.
Semua sudah rapih.
Urutan tindakan operasi pun sudah ia ketik sesuai contoh yang dia dapatkan dari teman angkatannya yang seharusnya sedang menjadi koas bedah saat ini. Artinya, dia hanya perlu mengirimkannya ke email dr. Jovi.
Bicara tentang dr. Jovi.
Beliau merupakan senior beberapa tahun di atas Genta. Mereka pernah ditempatkan di satu divisi saat acara tahunan kampus dan dr. Jovi selalu mengatakan bahwa dia belum pernah menemukan teman diskusi seasyik Genta, makanya seringkali Genta diajak ikut serta saat ada kegiatan yang bersifat edukatif. Baik dalam maupun di luar kampus.
Malam ini contohnya.
Genta yang sedang mencicil mengerjakan laporan kegiatan puskesmas tiba-tiba ditelpon satu jam sebelum operasi. Katanya ada pasien OP Cito dari IGD dengan appendicitis dan seluruh koas bedah yang jaga malam sedang mendapat tentiran dari konsulen lain. Begitu tiba di rumah sakit, Genta langsung diajari tata cara masuk ruang operasi, cara mencuci tangan, bahkan ditawari untuk jadi asisten 2 yang bertugas memegang suction dan men-dab.
"Sudah malam, Dok. Pulang duluan saja. Saya masih menunggu pasien dijemput sama perawat dari bangsal."
Genta menatap laporan operasinya yang sudah dia kirimkan ke email dr. Jovi lalu melirik jam pada sudut kiri laptopnya. Sepertinya dia bisa mampir dulu ke warkop dekat rumah sakit untuk makan mie rebus sebelum dia menumpang tidur di ruang jaga koas. Sambil mengusap lengannya sendiri, Genta bangkit dari sofa. "Kalau begitu, saya duluan, Mas Pram."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...