BAB 18 - Pejuang

22K 3K 864
                                    

Holaaa guys.. aku balik lagi. Dan mohon maaf untuk keterlambatan updatenya. Karena lagi-lagi jadwal beneran padat merayap.

Langsung aja yaa.. follow ig @indahmuladiatin

Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini. Jujur aku suka banget baca komenan kalian 😂

Happy reading gengs 🥰

❄️❄️❄️

Kiara memakan makanan yang dibawakan ibunya secara perlahan. Di dekatnya, setelah puas membuatnya kesal, Dimas sibuk dengan ponsel. Yaa tidak apa-apa, dia sudah senang karena cowok ini mau datang meski hanya untuk membawa titipan makanan.

Setengah porsi sudah cukup membuatnya kenyang sekali. Tadi dia memang sudah makan dengan Revan. Kalau bukan Dimas yang membawa ini, dia tidak akan mau makan lagi. Selain lidahnya terasa tidak bisa merasakan enaknya makanan, dia juga sudah mulai mengantuk.

Semalam, karena rasanya sesak sekali, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Baru tidur sebentar saat pagi. Kiara meletakkan kotak makannya di nakas dan mengusap bibirnya dengan tissu.

"Lo masih mau di sini?" tanya Kiara pelan.

"Hem," jawab Dimas tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Ohh," balas Kiara. Rasanya canggung untuk membuka obrolan. Bingung ingin bertanya apa. Kiara merebahkan tubuhnya, menarik selimut dan tidur membelakangi Dimas. Toh cowok itu juga sudah sibuk sendiri.

Beberapa menit berusaha memejamkan mata, tapi Kiara tidak bisa tidur. Fakta bahwa di belakangnya ada Dimas, membuatnya merasa diawasi. Entah, dia seperti merasakan kalau cowok itu sedang menatapnya. Padahal mungkin ini hanya perasaannya saja. Dimas kan tadi asik memainkan ponsel.

Kiara langsung berbalik, gerakannya terhenti, melihat Dimas sedang bertopang kepala menatapnya. "Kenapa?"

"Nggak," balas Dimas. Masih terus menatapnya. "Kenapa nggak tidur?"

"Nggak bisa," jawab Kiara jujur. Kali ini dia memposisikan tubuhnya menghadap pada Dimas. Tangannya dijadikan bantalan. Tanpa sadar, pandangannya menelusuri wajah Dimas. Sebenarnya wajah tampan itu tidak banyak berubah, hanya rahang itu semakin tegas. Membuat Dimas jadi terlihat dewasa, dan menawan pastinya.

"Boleh gue nanya lagi?" tanya Kiara.

"Apa?" Dimas bertanya balik. Masih dengan posisi yang sama.

"Lo bener-bener nggak mau lanjut basket?" kali ini pertanyaan itu dilontarkan dengan hati-hati.

Dimas tersediam, pandangan itu seperti kosong. Ekspresinya datar. Hal yang tidak pernah Kiara lihat dulu. Dimasnya yang dulu sangat bersemangat kalau bicara soal basket. Menggebu-gebu, bicara soal cita-citanya menjadi pemain profesional.

Kiara tersenyum sedih, sampai airmatanya menetes.

"Gue nggak tertarik," balas Dimas singkat.

"Tapi-"

"Giliran gue yang tanya," potong Dimas. Tampak sekali, kalau dia tidak mau membahasnya lagi. Karena tidak ingin membuat Dimas tidak nyaman, akhirnya Kiara tidak memaksa. Jarinya menunjuk bekas luka di kening Kiara. "Kecelakaan apa?"

"Mobil, di Melbourne gue lebih sering tinggal di asrama. Waktu itu weekend jadi gue mau pulang ke rumah Tante, karena hujan jadi jarak pandangnya pendek," jelas Kiara santai. "Gue juga nggak inget detailnya, bangun-bangun gue udah di rumah sakit."

"Masih sakit?" tanya Dimas.

Kiara menggelengkan kepalanya. "Sekarang udah nggak. Udah lama juga."

Paper Hearts (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang