6

206 91 77
                                    

***Catatan Penulis***

Oke. Buat kali ini, saya ucapin selamat datang sama pendatang-pendatang baru Negeri Antah-Berantah! Makasih banyak buat vote dan follow-nya buat dae_hyk, SalsaSabunge_, lahngatur_, Quennice02, ChaeJennie, dan RickyGuison  (enggak ada yang kelewat, kan?). Kali satu vote dan seorang pembaca tak punya arti di lapak lain yang lebih rame, tapi di sini, satu-satu dari kalian udah berjasa ke saya.

Terima kasih saya ucapkan juga buat diri saya sendiri yang udah promosi ke sana-ke sini dengan gak tau malunya. Kalo boleh jujur, saya benci promosi (utamanya di bagian yang minta-minta dan puji diri sendiri). Tuhan tau saya ini penulis dan bukan selebriti ato idol! Saya penyendiri dan gak suka diganggu (walau saya butuh "sedikit" temen juga pada hakekatnya).

Idealnya itu saya nulis aja, terus update, terus ngopi, terus liat jumlah pembaca. Idealnya, kualitas yang jadi penentu kesuksesan. Kalau karya saya jelek terus gak dibaca, ya udah, saya ikhlas. Sayangnya, kawan-kawan, dunia gak sesederhana itu. Jadi, saya bakal terus mempermalukan diri dengan promosi macam pedagang asongan. Selamat membaca.

***Catatan Penulis***

Haina

Waktu kubuka tutup mataku, tampak Al yang bersin-bersin. Udara terasa menusuk bagai pisau di sini. Dingin dan kering. Tentunya gara-gara AC. Aku merapatkan mantelku tanpa sadar—mantel Al, maksudku. Aroma asap menyeruak tercium. Pernah gak kita kenal orang macam ini, De?

Gak, Yusik menjawab penuh semangat. Kepake banget dijadiin bahan karakter, emang.

Kamu, sih, enak-enak aja! Lah, Haina yang mesti repot urusan sama dia!

Kamu enggak tertarik juga, Na?

Aku meringis. Sedikit-sedikit aku memang tertarik dengan Al. Satu tips dalam pembuatan karakter fiktif adalah dengan mengambil model dari karakter nyata, dan Al—seperti yang Yusik bilang—adalah bahan yang langka luar biasa. Meski begitu, tak jarang aku dibuat jengkel olehnya. Perangai si Jahe benar-benar jelek—kasar, sinis, urakan. Beda jauh dengan si dia.

Inget soal pangeran kamu, Na?

Hus!

"Yang gesit pilih bukunya." Al bergidik, bicara sengau macam orang jengkel. Selalu begitu. "Coba kodok saku kanan mantelku."

Aku kebingungan. Ada banyak saku di mantel tua ini, dan itu pun berlapis-lapis. Kucoba saku di sisi pinggang. Di dalamnya, jemariku mendapati sesuatu—sehelai kertas keras ... tekstur licin ... agak kusut. "...?"

"Bukan yang itu. Paha, paha." Al menepuk-nepuk pahanya sendiri.

Saku yang Al maksud jatuh nyaris di lututku. Wew. Apa anak laki-laki yang memang tinggi-tinggi atau aku saja yang boncel? "Ini?" Aku merogoh, mengeluarkan sekotak korek api bergambar burung gelatik di satu sisi, serta tulisan Three Durians di sisi lain. Aku membukanya. Memang korek api. "Hayo! Kamu suka ngerokok, ya!"

"Mana punya aku fulus, Na."

Aku rasa dia benar. Al adalah orang paling kere yang pernah aku jumpai.

"Itu satu-satunya mata uang yang berlaku di ini tempat, jadi jangan boros. Kasirnya ada di ujung sana." Al menunjuk lorong perpustakaan yang memanjang jauuuuh—ujung seberang hanya berupa ruang kecil dilihat dari sini. Dua baris rak besar mengapit di sisi-sisi, meja dan kursi ditaruh di setiap beberapa meter. Tak ada jendela, tak ada jam, tak ada cahaya matahari.

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang