6.2

172 90 31
                                    


***Catatan Pengarang***

Selamat datang pada salsabilasajid dan nannan_chan ! Terima kasih untuk vote kalian! Sumbangsih Anda telah menambah kekuatan saya di mata algoritma Wattpad. Tanpa banyak kata, lanjut ke cerita ....

***Catatan Pengarang***

Fakri

AKU MELEWATI AMBANG PINTU, aroma obat menguar menyambutku. Ruangan UKS penuh dengan peralatan dasar paramedis: timbangan dan pengukur tinggi, tensimeter serta stetoskop, kompres juga tandu lipat. Di bagian terjauh ruangan, tampak tiga petak tirai yang mengelilingi ranjang pasien.

Aku mengundi pilihan dengan mantera "tang-ting-tung", lalu menerobos tirai paling kiri. Sekali percobaan dan langsung dapat jackpot.

Ralat.

Yang benar, jakepot.

Seorang pasien tidur di atas ranjang, terbalut selimut dan menungging. Meski satu-satunya bagian tubuh yang tampak cuma kaki, aku tahu kalau itu si Jake. Oh ... betapa naasnya nasib orang tua ini. Seandainya aku adalah Peeves* si hantu jahil, sudah kutusuk itu pantat dengan jangka.

*Harry Poter, karya J.K. Rowling.

Sayangnya ... aku bukan. Sayangnya ... aku Al-Fakri si Caruk. Sayangnya ... aku lebih jahat.

"Pak, Pak? Mendingan, Pak?"

Pertanyaan tersebut dijawab oleh sebuah dengung tak manusiawi. "Nnnggggggggggggg!"

Macamnya dia marah karena aku mengganggu meditasi ala erotisnya. "Saya kenalan Alfan Esmand, Pak."

Pak Jake mendadak bangkit. Seorang pria antara 25 – 30 tahun tuanya, dengan rambut sebahu diikat ke belakang, kurus, tinggi luar biasa, namun pucat macam mayat. Kasih dia satu Indomie lagi, dan dia akan masuk kondisi koma. "Ya, aku kenal dia, tapi gak sama kau. Orang gila baru?"

Padahal aku sudah susah-susah mengumpulkan empati, tapi ini pak tua macam yang tak ingin diberi belas kasih saja. "Saya ... saya Al-Fakri, anak X IPA 1. Saya anak baru." Kutaruh proposal kesetku di samping bantalnya. "Kami harap bapak mau jadi pembimbing Fortema—"

"Kau sinting?"

"Waras, Pak."

"Kau tau gimana nasib pembimbing terakhir ini ekskul nista?"

"Enggak, Pak." Dan rasa-rasanya, aku juga tidak ingin tahu.

"Ada laporan dia muncul di Perbukitan pada suatu malam, telanjang. Besoknya, dia udah ilang rimbanya. Musnah tak bersisa." Sudah kubilang, aku tak ingin tahu! Bulu kudukku jadi merinding ini! Ngeri, eh! "Kau pengen aku alamin nasib yang sama? Lebih buruk, kali?"

Okeh ... sekarang aku mengerti kenapa tak ada yang mau jadi pembimbing kami. "Tapi ... tapi waktu itu ketuanya bukan Alfan Esmand, Pak. Alfan itu ... dia itu sosok yang brilian!" Ya Tuhan! "Cerdas, berwibawa, dan ah ... ya! Waras!" Ampuni aku ya Tuhan! Ampun!

Tampak Pak Jake yang sama sekali tak terkesan. "Pergi, Nak. Jangan lagi berurusan sama orang gila itu. Lakukan sesuatu yang lebih menyenangkan di masa mudamu ini! Cari wanita, godai dia, hamili dia, atau apalah!"

Sungguh nasihat yang tak bermoral. Dan kenapa wajah si Toge tiba-tiba muncul di benakku? "Ananda tak kasih sahaya pilihan." Kukeluarkan carikan kertas pemberian Kak Rena, membentangkannya di depan wajah, mulai membaca. "Catatan Jake Zatan, si Cabul."

"Apa?" Mendadak, si pak tua terbelalak hebat, pasang wajah macam orang sakratulmaut. "Tung—"

Aku tak akan menunggu. "Ini adalah kisah aku pertama kali mengintip. Kala itu, usiaku baru sepuluh—"

"Stop! Stop! Dari mana kau dapat itu, keparat!"

"—itulah saat-saat di mana aku mulai ketagihan—"

"Wah! Wah! Berhenti! Ampun! Ampun!" Macam orang kesurupan, Pak Jake menutup telinga, melompat ke lantai, tapi terlalu lemah buat berdiri. Yang bisa dia lakukan hanyalah bergulang-guling di bawah sana.

Bukan berarti aku tak memahaminya. Aku paham. Manusia merupakan satu-satunya spesies hewan di muka bumi yang merasa malu. Ya. Inilah kutukan dari ilmu pengetahuan. Sebuah bayaran untuk evolusi yang maju. Tak usah aku terbitkan aib ini sebagai buku; tak usah pula aku umbar-umbar ke seantero sekolah. Cukup bacakan keras-keras di depan orang yang bersangkutan, dan rasa malu akan melakukan sisa pekerjaan.

"Aku tanda! Aku tanda!" Dengan tangan gemetar, Pak Jake mengambil pulpen di meja, membuka proposal kucelku, lalu membubuhkan tanda tangan legendarisnya. Buru-buru kurebut kembali dokumen itu, takut dia berubah pikiran. "Rahasiaku ... bayaranku ... balikin ...."

Kulipat kembali kertas sakti itu dan kumasukkan ke saku. "Buat jaga-jaga."

"Tidaaaaaaaaaaaaaaaaak!"

"Jangan nangis. Dan jangan dendam. Kalau pengen salahin orang, salahin si Mak Lampir."

***Catatan Pengarang***

Ganti judul. Ganti judul. Saya gak suka judul yang baru. Gak ada artistik-artistiknya. Konyol dan tolol. Utamanya saya gak suka pake kosakata "cinta". Bikin saya merona. Sayang, setelah melakukan beberapa riset, saya tahu kalau warga Wattpad bukan sastrawan hardcore semua. Judul yang langsung ke inti dan jelas lebih diminati, jadi ... yah. Bukannya cerita ini memang berkisah tentang kekonyolan dan cinta? Anggap ini eksperimen.

Okeeeh .... Selain judul, saya juga butuh vote dan komen Anda. Kalau bisa saya bakal berlutut sujud di kaki Anda, tapi sebab itu keterlaluan nista, saya akan minta dengan cara yang normal-normal saja.

Selamat tahun baru, pembaca yang budiman! (Walau saya sendiri bingung soal apanya yang "selamat") Bagi yang punya pacar, ngebucinlah! Bagi yang punya teman, membadunglah! Bagi yang punya keluarga, liburanlah! Bagi yang sebatang kara ... mending baca cerita saya, aja, deh. Update berikutnya berarti nanti di tahun baru! (Sudah main 2021 aja, si bangsat!) Wassalamualaikum.

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang