4

137 60 33
                                    

Fakri

Untuk beberapa menit lamanya, Haina ngumpet di belakang punggung Gina. Gadis malang—si Gina, maksudku. Dia cuma bisa tersenyum muram tatkala Haina mendorong-dorong punggungnya ke arahku, seolah-olah aku ini serigala lapar yang terlalu berbahaya untuk dihadapi secara langsung.

Sebagai orang bijak bestari dengan pengalaman berlimpah, kuputuskan untuk pura-pura obrolanku dengan Alfan Esmand tak pernah terjadi. Sekali lagi kutegaskan, ini langkah bijak. Terkutuklah orang-orang yang tuduh aku sebagai pengecut. "Na, jadi kumpulan Iksar, gak? Aku balik, nih."

Haina menarik kerah belakang Gina dan berbisik di leher si gadis. Senyum Gina kian suram. "Dia bilang tunggu bentar," terus Gina layaknya seorang penerjemah.

Aku berkerung. "Gin, tau gak? Kau gak usah ladenin dia. Kebiasaan nantinya."

Haina kembali berbisik. Gina meneruskan, "Haina bilang ... eh ... 'Al bodo. Jahe Geprek. Kamu yang salah.'"

Dengan jengkel, aku mengeluarkan buku rangkuman PKn dan mulai membaca. Untuk sesaat ... semuanya jadi sunyi sepi ... kemudian Haina berbisik pada Gina.

"Jangan cuekin Haina, Al bego!" ujar Gina. Dia gelagapan begitu aku mendelik, buru-buru tunjuk gadis di belakangnya. "Ka-kata Haina."

"Kamu maunya apa, sih!" desakku.

"'Jangan bentak-bentak.'"

Aku menghela napas panjang-panjang. "Na? Kamu pengen apa? Aku turutin, deh."

"Dia bilang kamu jangan liat ke sini."

"...." Tak mau buang-buang waktu, aku membalikkan badan. "Terus apa—" Kalimatku terpotong begitu kurasakan ada tangan yang menarik punggung kemejaku. Spontan, aku coba menoleh. Gagal. Sebuah telunjuk menahan pipiku, menusuk keras sampai terasa ke gusi.

"Jangan ngelirik!" sembur si Toge Kecil. "Awas aja."

"Memang kau mau apa kalau aku berbalik, hah?"

"Haina gigit telinga kamu," ancamnya.

"Ampun, Non." Dia serius. Seumur-umur, tak pernah ada yang gigit telingaku, tapi tak perlu dicoba pun aku tahu itu teramat menyakitkan.

"A-ayo. Jalan."

"Dah ...." Gina melambaikan tangannya seolah-olah kami hendak melancong jauh dan tak akan pernah kembali lagi. "Hati-hati, ya. Jagain Haina, ya, Kri."

Macam orang tolol, aku dan Haina menyusuri sekolah dalam posisi tersebut. Beberapa orang melirik kami, tapi sebelum mereka berkomentar yang macam-macam, kulempar pelototan tergalakku. Berhasil. Kami sampai juga di Gedung Organisasi tanpa terkena kendala. Setidaknya, tidak dalam sepengetahuanku.

Memikirkan apa yang orang-orang gosipkan soal kami membuatku ingin mati, jadi kucoba memfokuskan diri pada buku catatanku.

Tatkala kami sampai di tangga lantai satu, aku menyadari sesuatu. "Non Haina .... Aku gak pengen ganggu kamu"—berhubung keutuhan telingaku jadi taruhannya—"tapi mustahil kita naik kalau posisinya begini."

"Ta-tau, ih! Sebentar, kenapa!"

"Sebentar .... Berapa detik?"

"Haina bilang sebentar ya sebentar! Enggak sabaran!"

Ngebacot apa pula ini gadis? Tidakkah dia sadar kalau kapasitas kesabaranku sebesar dunia ini? Kalau tidak, mana kuat aku urusan sama dia. "Okeh." Aku menunggu, mengalihkan mata ke sejumlah pasal undang-undang di buku. Lima detik berlalu. "Udah?"

Haina mencubit pinggangku. "Al-Fakri bego!"

Aku tak membalasnya. Lihat? Betapa penyabarnya daku. "Eeh ...." Terdengar langkah kaki orang turun. "Non Haina ... ada yang dateng ...."

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang