13.2

116 57 22
                                    

Fakri

Ketemu kau keparat, aku sempat berpikir. Tapi tunggu dulu. Benarkah dia orang keparat? Nizar? Dia jenis laki-laki yang ingin kucontoh, kalau boleh mengakui. Bila aku terlahir kembali, aku ingin menjadi dia—seorang pria jantan yang cerdas, baik, penuh hormat, dan juga disukai orang. Bukan jadi putra Kaisah ... ogah banget. Pasti ada alasan dibalik perbuatannya ....

Dia menemukan catatanku tanpa sengaja, tapi kenapa bisa? Apa niatan awal dia?

Kemungkinan pertama: tak sengaja. Nizar menyenggol tas Haina, menjatuhkannya hingga isinya termuntahkan semua. Tapi kalau cuma begitu, kesimpulannya berakhir sampai di sini. Tak ada penjelasan lagi untuk menutupi lubang-lubang lain.

Kemungkinan kedua .... Aku mengerutkan wajah, memutar-mutar kepala bingung. Kinar yang melihatnya sampai berjengit ngeri sendiri. Kinar. Kali pertama kami bertemu, dia meracau ngaco soal surat cinta.

Surat cinta. Ngomong-ngomong soal surat cinta, aku jadi ingat Ezar. Keparat. Gara-gara perkara itulah aku mesti jadi kacung Haina. Kalau saja si jalang Febrian tak menaruh surat cinta palsu di tas Ezar ....

Eh?

Sebentar. Surat cinta? Itukah jawabannya? Nizar hendak menaruh surat cintanya di tas Haina, ketika itulah dia menemukan catatanku? Di zaman yang serba elektronik ini? Dengan ponsel bagai mulut kedua umat manusia?

Tapi Nizar itu masuk golongan organisme menyimpang yang para ilmuwan sebut dengan nama latin Homo sastrawanis. Seperti yang Kinar bilang, "Si Kakak kebanyakan baca buku, gak puas sama kenyataan. Dia nunggu-nunggu kesempatan dramatis datang—yang jelas hampir mustahil bakal datang."

Surat cinta jelas merupakan salah satu item yang jenuh kadar romantisme. Ini menjelaskan segalanya. Nizar jatuh hati pada Haina.

Aku menampar pipiku tiga kali, coba menghilangkan sebercak gangguan yang menyerang benakku. Fokus, fokus. Sekarang, mari kita cari motifnya. Aku butuh alasan. Aku tak percaya kalau seniorku melakukan hal ini hanya karena niat jahat semata.

Apa dia jengkel melihat aku dekat-dekat dengan si Toge? Kemudian iri dan coba balas dendam?

Tak kelihatan begitu.

Pertama, jika memang begitu, hukumannya terlalu bertele-tele. Rumit. Kenapa dia tak langsung sebarkan saja potret catatanku? Kuyakin itu sudah cukup untuk buat aku jatuh dari kasta "bajingan" ke kasta "biadab". Tapi, alih-alih begitu, dia malah ambil risiko dengan mencuri catatanku dan menggandakan jumlah tawanan. Pakai mengancam segala, lagi.

Kedua, Nizar tak langsung mengeksekusinya begitu dia menemukan catatanku di ruang Iksar. Ada jeda waktu dua minggu. Kenapa?

Ada sesuatu kejadian yang jadi pemicu.

Apa itu?

Terakhir kali aku bertemu dengan Nizar adalah kemarin, di ruang Iksar, ketika aku bercerita soal pembalasan dendamku pada Nafisa .... Ampas.

Aku menutup wajah, berhenti sejenak menjawab deretan pertanyaan dari Kinar. Tawa miris meluncur keluar begitu saja dari mulut. Hahaha. Sudah kubilang. Dia orang keren. Dia melakukan ini bukan untuk membalas dendam. Dia tak sama denganku. Dia bukanlah aku, dan Haina bukanlah Nafisa-nya.

Dia melakukan ini demi melindungi si gadis dariku.

"Fakri?" Kinar menusuk-nusuk bahuku. Aku mengabaikannya.

Ini adalah rencana yang bagus—rencana untuk menjauhkan si Toge dariku. Kenapa tidak? Bukannya selama ini aku selalu ngotot buat memutus segala hubungan dengan Haina? Bukannya selama ini aku selalu bilang kalau dia jenis organisme yang sering kali bawa sial buatku? Apa itu bohong? Apa aku lupa soal moto hidupku?

Jauhi wanita, terutama yang cantik, yang jelek sudah jelas. Oh, kelihatannya aku belum lupa sama sekali. Tentu saja. Tak heran. Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Semakin sesuatu menonjol, semakin otak mudah mengingatnya. Dan, adakah yang lebih menonjol dari kata-kata biadab di atas?

Mungkin wajah ibuku yang sedang marah. Dan—tentu saja—wajah Nafisa ketika menangis.

Yang perlu kulakukan cuma ... ikuti alurnya. Ikuti plot rapi yang sudah susah-susah dibuat senior baikku. Mudah, kan? Ayo, Al-Fakri. Kau bisa melakukannya. Kau ini setan yang pernah buat anak gadis orang merasakan neraka selama setengah tahun. Meludahi kaki wanita bagai bernapas bagimu. Apa susahnya ketimbang dengan ini?

Cukup bilang lewat radio: Haina, ini salahmu. Tanggung jawab sendiri. Turutin apa kata dia.

Ponsel Kinar berkedip. Ada pesan masuk: Fakri, ini aku—Conan Doyle. Bilal. Baru saja aku pikirkan sudah main muncul saja. Haina sama aku. Dia nangis. Tau kenapa?

Sesuatu membakar isi perutku. "HAINA! KAMU DENGER? HAINA! DENGERIN AKU! HAINA! HAINA! TOGE!" aku meraung, kencang bagai jeritan perang. Semua orang di studio terperanjat gara-garanya. Keparat kau Al-Fakri. "Dengerin aku, kau gadis tolol! Jangan bertindak gegabah! Pake otakmu! Nyisi dulu sekarang! Serahin semuanya ke aku!"

Serahin semuanya ke aku.... Apa aku bilang begitu? Sulit dipercaya.

"Ngomong-ngomong, kerja bagus, Bil," aku melanjutkan. Kinar ribut-ribut, coba menghentikanku mengacau di acaranya. Aku tak menggubris. "Kau baru aja ngelak serangan paling pamungkas dari wanita paling berbahaya di dunia."

Setidaknya, taklah pantas buatku untuk menendang Bilal ke meja tumbal—tak peduli apakah dia sudi atau tidak. Dia tak ada hubungannya denganku. Dia tak memiliki urusan dengan masalah ini. Hanya antara aku, si Toge, dan Kak Nizar.

Aku meregangkan punggungku dan mendengar suara tulang berderak. Dengan gerak cepat, aku menulis beberapa patah kalimat di kertas. Begitu kuserahkan pada Kinar, si gadis sanggul mengangkat satu alisnya.

Niatan Kak Nizar memang baik, tapi dia melakukan kesalahan yang sama dengan Vania. Dia kira dia bisa memegang kelemahanku. Dia kira dia bisa menguasaiku. Dia kira dia bisa menakutiku. Aku mungkin bukan seorang pria jantan yang cerdas, penuh hormat, serta baik budi; aku adalah putra Kaisah. Aku lebih memilih mampus ketimbang ditakut-takuti. Lebih memilih patah ketimbang bengkok.

Baiklah. Saatnya membayar utang dosaku pada Nafisa.

A/N

Saya benci cerita yang berorientasi pada protagonis. Utamanya yang punya kompas moral yang terlalu sederhana: orang jahat karena mereka jahat, orang baik karena mereka baik. Buat saya, tiap tokoh itu karakter utama dari kisah mereka sendiri. Mereka punya hak buat yakin kalo apa yang mereka perbuat adalah "kebaikan". OK! Update siang! Silakan menikmati.

PERINGATAN: VOTE DAN KOMEN AMAT DIANJURKAN KARENA BERKHASIAT UNTUK MEMPERCEPAT UPDATETAN, MENAMBAH AMAL, SERTA MEMBUAT USAHA AUTHOR BERARTI SEBAB TULISANNYA ADA YANG MENGAPRESIASI. []

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang