Fakri
Gedung Organisasi ada di ujung barat kompleks kelas tiga—arah sebaliknya dari pangkalan Fortema. Tiga lantai, bersebelahan dengan aula, punya lapangan sendiri, juga agak terpisah. Tempat ini biasanya sepi di waktu belajar, tapi begitu bel pulang berbunyi ... yah ... macam pasar.
Kenapa cuma Fortema yang bermukim di sebuah bangunan terpencil di sudut tergelap dunia masihlah jadi misteri.
"Praktik kita bisa mengundang perhatian roh jahat dan alien. Aku tak kepengen buat orang sipil ikut kena masalah," jelas si Sableng waktu aku tanyakan. Dikira dia bukan orang sipil ... tunggu. Dia memang bukan orang sipil; dia orang gila.
Kami tengah melintasi lorong bangunan kelas tiga ketika ... "Alfan! Kemari kamu bocah badung!" jerit seseorang.
Aku menoleh, mendapati wajah yang kukenal. "Sial!" si Sableng mengumpat dan buru-buru ngibrit. "Agen Robin Hood datang!" Sungguh biadab orang yang panggil gurunya dengan sebutan begitu.
Karena takut terseret masalah, aku ikut lari. Kutengok ke belakang; Pak Robin mengejar dengan penuh nafsu sampai-sampai buat aku menjerit. Kami lepas dari si guru begitu sampai di lobi. Aku jatuh berlutut, napas habis, keringat mengucur dari ubun-ubun sampai pantat. Begitu juga Norin. Satu-satunya orang yang tak tampak kelelahan hanyalah Bocah Sableng.
"Kenal ... kenal sama Pak Robin?" tanyaku di sela-sela napas. "Dia ngajar fisika, kan?"
"Dia pamanku." Alfan Esmand merinding. "Serem, dah."
"Setan. Kau buat dosa apaan sampe dia jadi begitu?" Aku ingat omongan Jaket Adidas soal si Sableng yang tak muncul di jam pertama pelajaran, tapi masa itu doang? Tidak. Pasti orang bejat ini melakukan dosa lain. Kasihan betul Pak Robin. Pasti dia stres lihat kelakuan keponakannya yang busuk akhlak ini.
Kami lanjut menyusuri lorong dan naik tangga. Beberapa anak ekskul lain berpapasan dengan kami, mengenakan seragam kebanggaan masing-masing: kaos hitam PDL anak PKS, kemeja biru PDH bocah PMR, putih dogi karate. Kutengok dua rekanku yang malah pakai jubah ala murid Hogwarts* ....
Malu luar biasa.
*Nama sekolah sihir dalam novel Harry Potter, oleh J.K. Rowling.
Aku selalu percaya kalau laki-laki adalah makhluk yang diciptakan supaya tak tahu malu, tapi rupanya, segala hal ada batasan. Buru-buru kukenakan jubahku dan menaikkan tudungnya. Kalau tidak pakai tetap malu, mending sekalian kupakai saja hitung-hitung ngumpetin wajah.
Si Sableng melesat tanpa menengok, melangkah mantap dan memanjat tangga hingga ke lantai tiga. "Ini tempatnya," si Sableng berhenti, menunjuk ruangan kecil di samping mulut tangga, memotong lorong. Aku menengok papan namanya: Ruang Arsip Iksar. "Sebentar, sebentar. Mundur. Aku mau melepas pengekangnya lebih dahulu."
Aku melongo—sudah yang ke berapa kali ini? Daya tampung imajinasi ini orang gila kelihatannya telah bocor. Mana yang kenyataan, mana yang khayalan, dia tak lagi bisa bedakan. Makhluk macam inilah yang menurutku besar kemungkinan jadi hantu gentayangan. Bukan karena punya dendam kesumat atau urusan yang belum selesai, tapi karena kurang kerjaan saja.
Setelah komat-kamit dan kejang-kejang tak jelas, Bocah Sableng berbalik, menghampiri pintu di sisi lain mulut tangga. Papan nama bertuliskan "R. Eks. Ikatan Sastra Remaja" terpancang di puncak kosen. "Pengen tau sesuatu?" tanyanya.
"Kagak," timpalku.
"Sebenernya aku benci anak Iksar." Dasar goblok. Macamnya suaraku cuma dianggap angin lalu saja. "Mereka pada sinting." Lebih-lebih darimu? "Tapi apa boleh buat. Kebajikan tak boleh pilih kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Palsu: Fail Romansa Si Antibetina
Fiksi RemajaPanggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetina, serta aktivis rasis gender sampai ke tulang. Ada dua hal yang dia senangi di dunia ini: uang yang...