4.2

290 104 58
                                        

***Catatan Penulis***

Dalam naskahnya, bagian ini ditulis dalam satu bab dengan bagian sebelumnya. Total ada 4000 kata. Kebanyakan kalo di Wattpad. Karenanya, saya bagi dua.

***Catatan Penulis***

Fakri

AKU KEHABISAN ADRENALIN begitu sampai di rumah. Kakiku yang terus dipaksa lari akhirnya merongrong juga. Untung Haina tak kelihatan menyusulku. Usahaku tak sia-sia.

Tak sia-sia?

Setelah dipikir lagi, apa gadis itu memang sebegitu kurang kerjaannya buat kejar aku? Bukannya besok juga kita bakal ketemu di sekolah?

Dengan menyadari hal itu, kini hanya rasa sakit yang tersisa untukku.

Aku melewati pekarangan rumah dengan tergopoh-gopoh, menyusuri jalan setapak batu, nyaris tercemplung ke kolam ikan, tapi akhirnya sampai juga. Kubuka kunci pintu dengan tangan gemetar dan segera merobohkan diri di lantai ruang tamu.

Aku mewek habis-habisan selepas itu. Ketika ibuku pulang, dia belingsatan, panik menjumpai putra malangnya yang macam pecandu sakau. Karena Zakir belum pulang (aku ragu dia bakal pulang), Hau-Hau dipanggil buat cari kakakku di Perbukitan. Dia datang tak lama kemudian sambil tertawa-tawa, air ludah berderai di sudut mulutnya.

"Nita!" Ibuku terkesiap, wajah merah. "Kamu makan jamur sembarangan lagi!"

Kakak menjawab dengan semburan gelak keras. Dia kelihatan kurang waras, tapi setidaknya, dia paham kondisinya. Begitukah? Entah kenapa, aku jadi agak-agak khawatir sewaktu mendapati dia mengeluarkan minyak urut. "Be-bentar, Kak! Aku masih kuat! Aku masih kuat! Jadi, tunggu sampai otakmu seh—" Aku tak pernah sempat menyelesaikan kalimat itu.

Aku menjerit macam orang meregang nyawa ketika Kakak mulai mengurut. Aku meronta, coba kabur, tapi Ibu dan Hau-Hau pegangi aku—dua perempuan itu sudah cukup untuk menahanku. Sialan! Aku satu-satunya laki-laki yang tersisa di keluarga! Mana boleh aku kalah oleh perempuan! Jadi, dengan berang, kutendang wajah Kakak.

Ketika itulah Pak RT dan kedua orang tua Zakir muncul, panik mendengar raunganku. Mereka bantu meringkusku. Enam lawan satu—coba bayangkan. Mana mungkin aku bisa melawan? Jadi, kakakku pun melanjutkan urutan brutalnya dengan kening merah kena sepak.

***

ESOKNYA, AKU MELIBURKAN DIRI. Kakiku sudah agak mendingan pula lantaran urutan ala barbarian kemarin. Sebenarnya, aku lebih dari mampu untuk berjalan jauh dengan sedikit kesusahan. Biar begitu, kuputuskan untuk memanjakan diri ....

Okeh. Aku mengaku, dah.

Aku ambil libur dalam rangka kabur dari Haina. Aku bingung harus bagaimana buat menghadapi gadis sialan itu. Aku butuh waktu, aku perlu mengatur strategi. Jadi sekarang, meskipun mentari sudah naik, aku masih berleha-leha di kamar sambil membaca Homo Deus, masih karya Harari, lanjutan dari Sapiens.

"Ngomong-ngomong, tubuh Zakir udah ada yang nemu, belom?" tanyaku ketika Hau-Hau datang buat menengok sepulang sekolah. Seragam SMP-nya masih rapi dan wangi, tak macam kakakku yang kini tergeletak teler di pojok kamar.

"Ngelantur apaan juga kamu, Fakri?" Alis tipis Hau-Hau saling taut.

"Dia gak ada yang nemu?" Malangnya.

"Dia balik!" sergah Hau-Hau.

"Apah!"

Si gadis bergidik dan menjauh satu langkah. "Jangan bilang kamu juga ikut-ikutan pesta jamur macam Kak Nita?"

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang