8.1

165 69 18
                                    

***Catatan Penulis***

Selamat malam Minggu, wahai anak-anak Adam! Maaf mesti update di kesibukan ngapel Anda sekalian, saya sibuk siapin contoh bab buat kontes nulis Bentang Pustaka (liat wall saya buat yang minat juga). Kita langsung ke cerita aja, dah.

***Catatan Penulis***

Fakri

"Caruk, bangun bocah tengil!"

Aku membuka mata. Seorang pak tua jabrik duduk di depanku, tangan menggenggam dua buku. Dari cambang tebal dan kumisnya yang macam semak belukar, aku segera mengenalinya: Calo Aib. "Kakek bangka keparat ...." Aku bersin, ingus menjuntai keluar. "Kebetulan banget. Ada yang pengen kuprotes—"

"Soal putriku, kan?"

Aku bangkit duduk, mengelap ingus dengan tisu. "Tau dari Cabul?"

"Dia datang sambil mewek."

"Makhluk malang."

"Kau yang buat dia mewek, tolol."

"Ish, ish. Kenapa jadi aku yang salah, bleh! Aku juga hampir-hampir dibuat mewek oleh putrimu." Lagi-lagi bersin. "Belum lagi aku jadi kecolongan beberapa batang korek .... Kebocoranmu gak bisa dimaafkan." Bersin kembali. "Kalau kusebarkan berita ini, anggota Komune bakal pada kabur. Pasti itu."

Alis Calo Aib berkedut. "Jangan disebar kalau begitu, sialan."

"Hohoho .... Tau, lah, mesti apa?" Aku menjulurkan tanganku.

"Tai banget, dah, dirimu. Meres orang tua .... Kau emang putra Buron." Calo Aib menaruh salah satu bukunya ke tanganku. "Bukan berarti aku gak kira juga, sih."

Aku menatap kecewa jilid buku yang membosankan itu: nyaris kuning sepenuhnya, kecuali judul perak bertuliskan Malam Pertama. "Aku pengennya duit," sungutku ketus, membuka bagian tengah buku. Mataku melotot seketika. Buru-buru kudekap bundelan kertas suci itu bak seorang pria sejati yang melindungi kekasihnya.

Calo Aib tertawa hambar. "Bocah cabul."

"Sejak dahulu kala, orientasi penjantan adalah untuk membuahi sebanyak mungkin betina," kilahku. "Jangan salahkan aku. Alam buat kita jadi makhluk mesum yang kurang setia."

"Bilang yang barusan di depan putriku; kucium bokongmu kalau kau masih idup sehabis itu." Dia bangkit berdiri, beranjak pergi ke arah pintu keluar. Siapa yang jaga kasir, ngomong-ngomong? "Jauhin putriku kalau kau pengen idup dengan lebih manusiawi."

Tak usah dikasih tahu pun aku bakal melakukannya.

Setelah memastikan kalau itu orang tua sudah menghilang, aku kembali ke bukuku—pelan-pelan, membuka halaman pertamanya. Jantungku nyaris berhenti berdetak ketika Haina mendadak muncul dari lorong seberang.

"Al ...."

Buru-buru kumasukkan buku itu ke dalam pakaian. Apa aku ketahuan? Lagian, kenapa memangnya kalau ketahuan? Ibuku sendiri saja tak banyak omong waktu pergok buku porno di kamarku! Peduli setan dengan aturan delapan belas tahun—manusia mampu lebih cepat dewasa kalau dia mau.

"Kelar? Mana kotak korekku?" Dan kenapa kau lesu begitu?

Haina menjulurkan kotak korekku dengan tangan kanan, tangan kiri memeluk erat sebentuk buntelan. Dia tak bicara, kepala menunduk ke bawah, mata lebar terpaku ke lantai.

"Habis pinjam buku pa'an kau?" Aku mengocok kotak korekku—hening. Aku membukanya—kosong. Untuk sejenak, aku bungkam. "Woy."

Tak ada jawaban.

Aku melompat, coba mengintip isi bundelan yang pastinya buku—tapi buku apa? Kitab ajaran sesat macam apa yang harganya setara dengan sekotak penuh batang korekku? Apa dia tak tahu berapa banyak aib yang mesti kuperas untuk mendapatkannya?

Haina berbalik, punggung menghadang. Pelukannya makin erat.

"Neng Haina?" Aku bergegas berputar; Haina ikut banting setir. "Bilang kau pinjam buku pa'an! Kenapa kotak korekku sampe bisa melompong begitu!"

Si Toge kabur ke belakang kursi sambil geleng-geleng; aku menyusul murka. Mendadak, dia menjatuhkan diri, duduk jongkok dan menggulung layaknya bocah tengik ngadat. "Na! Toge! Liat—" Aku meraih bahu dan lengan kecilnya, rasanya lembut bukan main. Aku buru-buru berhenti, buru-buru mundur, buru-buru angkat tangan. Meh. "Curang ...." Ini curang! Pelanggaran! Seberengsek apa pun makhluk bernama Al-Fakri, mana mungkin aku main asal sentuh badan wanita! "Na!"

Masih tak ada respons.

Butuh pengendalian diri tingkat dewa bagiku supaya tak menendang si gadis. Aku makhluk miskin; sakuku jarang dihuni duit. Tapi aib .... Aku kaya akan aib. Aku adalah anggota Komune dengan kepemilikan korek paling berlimpah sepanjang sejarah. Jadi, bagaimana bisa ... gadis ini ... toge tengil ini ... menghabiskannya?

Ya Tuhan. Apa aku bermimpi buruk?

Kucoba mencabut sehelai janggutku—rasanya macam setan alas. Ini kenyataan. "Kau ... jangan bilang .... Kau beli buku porno!"

Mendadak, bahu mungil Haina berguncang, dan tangis pun pecah. Aku terperanjat sendiri, terkejut bagai kena tusuk di bokong. Kepalaku menoleh ke sekitar, takut ada orang yang lihat. Jantung bertalu-talu ngeri. "Na?" panggilku, gemetar di tempat. Kenapa aku gemetar? Salah apa aku? "Hei. Yang ... yang barusan mah becanda, eh."

"...."

"Berhenti nangis." Kenapa pula aku mesti susah-susah menenangkan gadis ini? Tak masuk akal .... Akulah yang dianiaya di sini. Kalaupun ada, akulah yang mestinya menangis! "Berhenti, bodo! Macam bocah aja!" Pelan-pelan, aku melangkah dan berjongkok di depan Haina. Seluruh wajahnya hilang di balik lutut; tetes-tetes air berderai dan jatuh ke lantai. Dia benar-benar mewek.

Apa yang pria sejati lakukan di situasi macam ini?

Tau, dah. Aku pria berengsek. Bajingan kelas kakap yang dibenci segala kalangan tanpa pandang bulu. Mungkin sebaiknya kutinggal saja gadis ini di sini .... Sebentar. Bukannya orang tua Haina tahu kalau dia sedang bersamaku? Seandainya dia pulang sambil terisak-isak begini, tindak kriminal apa pula yang bakal dilakukan ayahnya terhadapku? Oh ... mantap, dah.

"Na ...." Tapi apa pula yang mesti kukatakan? Seandainya Zakir ada di sini .... Dia itu Raja Gombal sejati, senantiasa mengatakan apa yang ingin wanita dengar. Baiknya aku diam saja, bacot sialanku cuma bisa mengumpat. Diam dan tunggu.

"Al ...," panggil si gadis lirih setelah agak lama, "maaf." Dia terisak. "Maaf .... Maaf ...." Kepalanya gemetar.

Aku pernah mendengar kalimat macam itu dulu. Dua kali. Fakri ... maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Kedua-duanya begitu mengerikan dan nyaris traumatis. Aku bukan tipe orang yang pemaaf; aku pendendam. Ada saat-saat di mana aku berpikir kalau diriku adalah orang baik. Ada saat-saat di mana aku berpikir kalau kita ramah pada dunia, dunia juga akan ramah pada kita. Tapi itu dulu. Sekarang tidak. Aku orang jahat. Orang jahat yang kurang beruntung. Jika kita ingin dunia bersikap ramah, kita mesti hajar dia dulu hingga bonyok dan sekarat.

Kubuka mulutku, bersiap dengan kata-kata kasar. "Na, aku ...." Aku apa? Suka kamu? Entah kenapa jadi macam pengakuan cinta saja. "Aku ...." Oh, asem. Aku tak pernah tahan dengan gadis yang menangis. Terutama yang cantik. Mari menyerah saja. "Seenggaknya kasih tau aku buku apa yang kau pinjem."

Si gadis menguatkan rangkulan, menggulung makin bulat di posisinya. Kepala menggeleng dan terisak-isak. "Maaf ...."

"Kau sengaja, kan?" Aku menghela. Bagaimana pula aku bisa marah pada gadis lemah, ringkih, dan sedih ini? Gara-gara evolusi, pastinya. Lagi-lagi. Keparat kau Charles Darwin! "Balik, ah!" Aku meraih Cukong dan menjejalnya ke dalam tas.

"Maaf ...."

"Iya! Ayo balik! Udah malem, pun!" Aku sedang tak selera buat kena damprat ayahmu!

"Maaf ...."

***Catatan Penulis***

Jangan lupa vote dan komentarnya sebelum lanjut, Tuan dan Puan.

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang