Fakri
Beritanya bisa tembus koran kota, kalau ketahuan. Kira-kira bakal begini judul artikelnya: Diduga Habis Obat, Siswa SMA Lari Bugil. Meskipun begitu, mesti diingat kalau judul artikel koran biasa dilebih-lebihkan. Aku tidak habis obat. Aku juga tidak lari bugil. Aku tak sempat.
Sebelum itu terjadi, Bu Inaya muncul entah dari mana dan meringkusku. Kelihatannya, Haina dan Rihma mengirim SMS soal diriku ke setiap kontak di ponsel mereka. Terkutuk dua gadis itu. Dan kini, aku pun dijebloskan ke bilik konseling (lagi-lagi).
"Anak siapa yang hendak kamu culik, heh?" tanya wali kelasku begitu melihat isi tasku yang mencengangkan. Satu alis tajamnya naik. "Rasa-rasanya dulu aku pernah tanya begitu, deh."
Soal itu, aku idem. Belakangan ini aku sering mengalami deja vu. Kalau dunia adalah panggung sandiwara, maka sekarang si pengarang skenario pasti sedang kehabisan materi. Mesti beda. Kalau dulu aku menjawab dengan takut, sekarang aku mesti menjawab dengan percaya diri. "Anak IPA 3 yang namanya Febrian," timpalku.
"Okeh. Ngapain kamu jawabnya kayak yang bangga begitu? Selama aku ngajar, baru kuliat ada murid yang ngaku soal dosanya pake wajah belagu."
"Dosa? Bukan, bukan. Ini misi kemanusiaan."
"Sinting."
"Demi terwujudnya dunia patriarkis yang suram, keras, dan penuh dominasi kaum laki-laki."
"Aku gak mau liat dunia macam itu."
"Aku yang pengen liat."
"Kupanggil Kaisah kalo kau gak jaga bacot. Sumpah."
Akan jadi tontonan gereget kalau sampai Bu Inaya berkontroversi dengan ibuku—dua-duanya sama-sama jahanam. Sabung epik antara dua makhluk itu akan jadi ajang tempur berdarah-darah yang sayang buat dilewatkan. Meski begitu, masih ada kemungkinan lain: alih-alih jadi lawan, mereka jadi kawan. Aku yang akan mampus total jika itu terjadi. Hancur sampai ke partikel. Risiko mengerikan macam itu baiknya tak diambil.
Jadi, sebagai langkah bertahan, aku menyingkirkan harga diriku dan berpura-pura menjadi murid baik terlebih dahulu. "Ah, maaf, maaf."
"Enteng betul caramu minta maaf."
Serba salah.
"Lagian ini ... aduh." Bu Inaya menepuk keningnya sendiri, mata menatap kecut pada surat cinta yang terbentang di meja. "Aku hampir-hampir gak percaya kalo kamu ini murid terpinter seangkatan."
"Kecerdasan gak ada sangkut pautnya sama moral. Lagian, punya nilai tinggi bukan berarti jadi yang terpintar. Di zaman Shakespeare, orang keluar dari Oxford hanya dengan dua kemungkinan: punya gelar atau enggak. Awal-awalnya, sekolah ada buat mencerdaskan murid—bukan menghakimi murid—dan nilai ada cuma buat ngukur pemahaman—bukan cap sosial. Sistem prestasi lahir di abad industri karena selepas pabrik dan pemerintahan kebiasaan pake bahasa angka—"
"Idih. Mulai lagi, dah ...." Bu Inaya mengibaskan tangan seolah pidato bermutuku cuma sekadar dakwah hebring seorang caleg. "Aku udah curiga dari dulu, tapi sekarang aku yakin betul. Kamu kebanyakan baca buku aneh."
"Sembarangan."
"Gimana? Udah baca Sang Alkemis yang aku kasih?"
Seketika, wajahku yang sudah suram jadi makin kelam. Sang Alkemis. Mengingatnya saja membuatku ngeri. Maksudku ... coba pikirkan baik-baik: masalah tiga hari yang lalu itu asal-asalnya dari itu buku keparat. Kalau aku tak bawa buku itu, Haina tak bakal nangis; kalau Haina tak nangis, aku tak bakal datang ke ruang ekskul; kalau aku tak datang ke ruang ekskul, aku tak bakal ketemu cinta pertamaku (pah!); kalau aku tak ketemu dia, aku tak bakal kena jotos Zakir.
![](https://img.wattpad.com/cover/232458309-288-k774228.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Palsu: Fail Romansa Si Antibetina
Novela JuvenilPanggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetina, serta aktivis rasis gender sampai ke tulang. Ada dua hal yang dia senangi di dunia ini: uang yang...