Fakri
Meskipun begitu, yang aman buatku rupanya rawan bagi Haina. Maksudku ... lihatlah jalan setapak ini. Ke mana pun kau memandang, cuma ada hamparan sawah yang beratus-ratus meter jauhnya. Perbukitan tampak menjulang di ujung selatan sana, si pohon kamper tua bertengger di puncaknya, mengawasiku dengan waswas.
Tenang saja. Memang tak ada orang di sekitar sini; cocok dijadikan basis aksi kriminal, tapi bukan berarti ada kesempatan berarti ada pula keberanian. Lagi pula, tak macam kemarin-kemarin, aku tak sedang bawa peralatan penculikku.
Jalan setapak bercabang ke kiri, berubah menjadi tangga bertanggul bambu yang turun menuju Tawas. Aku menjatuhkan diri dan duduk di salah satu undakan, kepala hilang terkepung batang-batang padi. Jika aku berbuat kejahatan, tak bakal ada orang yang melihat—tapi lagi-lagi aku mesti meyakinkanmu untuk tetap tenang dan menjauhkan tanganmu dari ponsel. Aku tak akan berbuat begitu—aku ini jinak, kau tahu?
Ini seratus persen aman. Sumpah.
Bayangan datang menera wajahku, dan kudapati Haina sudah di sampingku, ikut duduk di tangga. "Kotor, eh! Kotor!" Apa kata ibu Haina nanti? Kenapa gerangan bokong putrinya mendadak dekil setelah diajak pergi olehku? Tak mau aku dituduh sebagai pelaku yang mengotori putrinya!
Hmm? Entah kenapa kalimat barusan kedengaran ngeres.
Akan tetapi, si Toge mengabaikanku. Sialan dia. Bahkan merespons saja tidak. Aku sudah membulatkan diri untuk berbicara dengannya tadi, tapi setelah dipikir-pikir ... apa yang mesti aku bicarakan? Mendadak ... aku waswas juga. Keringat merembes dari keningku dan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan terik matahari ataupun aktivitas fisik berlebihan. Gawat.
Ikuti kata hatimu, Nak.
Apa? Kau masih di sini, keparat! Hus, hus! Minggat sana!
Ikuti kata hatimu!
Jangan teriak-teriak! Lagian, apa itu "kata hati"? Sebagai darwinian, tak ada itu namanya kata hati dalam kamusku.
Buku kamusmu bajakan, tuh. Beli lagi sana.
Diam! Apa yang orang-orang sebut dengan "kata hati" sebenarnya adalah naluri itu sendiri, yakni hasil seleksi kecenderungan sifat yang membantu dalam bertahan hidup—alias adaptasi tingkah laku. Sama sekali tak ada bedanya dengan paus yang muncul ke permukaan secara periodik untuk mengambil napas atau kemampuan mimikri pada hewan.
Aku adalah kata hatimu, Nak!
Enyah kau! Berisik sangat, sih—
"Al," celetuk Haina, memotong rangkaian pikiranku yang melantur tak jelas arah. Kudapati pipinya yang merona. Aku lupa untuk menyuruhnya berhenti melakukan itu. "Kamu duluan, gih."
Malu, ya? Asem sekali kau ini. Kau yang bertingkah kenapa pula aku yang mesti membereskan?
Menyadari pandangan menuduhku, Haina merengut. "Kamu laki-laki."
Kenapa lahir dengan burung di antara kakimu membuatmu jadi yang mempertanggungjawabkan pekerjaan? Heran. Bukannya manusia sudah mengenal konsep di mana kondisi kelahiran tak jadi yang menentukan peran dalam kehidupan? Wanita selalu mengajukan soal gagasan emansipasi kalau sedang ada untung saja.
"Pengen balik," cetusku, memulai.
Haina tampaknya kurang setuju tentang konsep memulai pembicaraan milikku. "Pulang, pulang!" cemoohnya. "Kamu kangen bunda kamu, ya? Sana! Idup aja sama Bibi Kaisah selamanya! Jangan nikah! Jangan jadi ayah! Anak mamih sampai ke kubur!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Palsu: Fail Romansa Si Antibetina
Novela JuvenilPanggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetina, serta aktivis rasis gender sampai ke tulang. Ada dua hal yang dia senangi di dunia ini: uang yang...