Fakri
Ibu Haina muncul dari dapur dengan tangan menenteng baki berisi. Aku buru-buru melompat, merebut si baki tanpa minta izin terlebih dahulu. Aku terlalu panik. Entah kenapa lihat perutnya yang membuncit begitu buat aku resah bukan main.
Ibu Haina melirikku dengan geli, lalu menggeleng pada putrinya yang duduk di kursi. "Mirip papa kamu banget—parno abis!"
Gimana?
Aku buru-buru menaruh baki di meja, kemudian kembali ke ibu Haina buat membantunya duduk. Kekeh si ibu kian nyaring saja. "Dimakan, atuh." Dengan agak canggung sebab perutnya, ibu Haina menata cangkir teh di meja—begitu juga dengan beberapa stoples manisan, biskuit, dan keripik. Biasanya, langsung kutandaskan saja tawaran macam ini tanpa tahu malu—tapi tidak saat ini. Mengingat apa yang hendak kukatakan sekarang, ada kemungkinan nantinya ibu Haina memintaku memuntahkan kembali apa yang telah kulahap. Ribet juga kalau begitu caranya.
Aku coba menenangkan diri sejenak, menarik napas dalam-dalam dan memetakan sebuah rute melarikan diri. Ruang tamu Haina jelas lebih besar ketimbang ruang tamuku, atau ruangan apa pun di rumahku. Dengan kursi kayu plitur yang kokoh dan meja kaca tebal berkaki aluminium.
Di keempat sisi dinding terpasang lusinan foto keluarga. Aku mendapati setidaknya sepuluh potret anak kecil di dinding seberang, seorang gadis mungil dengan rambut dikepang dua dan pipi gemuk bengkak. Satu foto menunjukkan si gadis yang tengah melotot sambil manyun, dan seketika benakku tersengat perasaan familier: itu Haina.
Aku memutar kepala, menyapu satu per satu foto yang menunjukkan tumbuh kembang si Toge. Haina waktu TK, duduk jongkok di lantai sambil membaca buku bergambar Gadis Berkerudung Merah. Haina waktu SD, menggendong tas besar dengan buku Narnia di pelukan. Haina waktu SMP, mengenakan topi jerami di latar pantai berpasir putih—kali ini dia membaca Sherlock Holmes.
Satu foto untuk satu tahun, semuanya membawa buku. Kecuali dua. SD dan SMP, mungkin tahun akhir dan tahun pertama. Wajah si gadis masih bulat macam orok, tapi tak ada senyum di sana. Matanya merah, kelopak lebam sebab menangis. Kedua-duanya diambil tanpa Haina sadari. Mendadak, aku jadi teringat cerita Bang Nabhan. Haina si Gadis Cengeng.
"Makasih, ya. Sampe dianterin segala," cetus ibu Haina, kemudian mengikuti arah pandangku. "Lucu-lucu, kan, fotonya?
Aku baru hendak menengok foto Haina waktu SMA, tapi si gadis menusuk pinggangku dengan jarinya, pipi merah merona.
Aku menyadarkan diri dan berdeham, kembali menghadap lawanku—ibu Haina. "Enggak usah kasih terima kasih, Bu."
"Jangan begitu, ah. Kan, kamu yang—"
"—pasang jebakannya. Ya, emang."
"—repot-repot anterin Haina ...." Suara si ibu meredup bak gerhana di siang bolong. Dia menaruh tangan ke perutnya. "Gimana?"
"Aku yang buat dia babak belur."
"Gimana?"
"Aku pasang jebakan. Putri Ibu kebetulan lewat. Kena, deh."
"Eh? Kamu yang pasang jebakannya? Kamu?"
"Ya. Aku."
"Gara-gara itu Haina jatuh?"
"Persis."
"...." Si ibu terdiam bak adegan film macet dalam kaset butut. Dia menenggak tehnya terlebih dahulu—Ingat! Menenggak, bukan menyeruput!—lalu lanjut bicara, "Enggak sengaja, kan?"
"Seratus persen terencana."
"Tapi kamu langsung tolong Haina begitu dia jatuh, kan?"
"Enggak. Saya ketawain dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Palsu: Fail Romansa Si Antibetina
Teen FictionPanggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetina, serta aktivis rasis gender sampai ke tulang. Ada dua hal yang dia senangi di dunia ini: uang yang...