1

125 62 30
                                    

Fakri

Nabhan merogoh saku, mengeluarkan kotak korek api berkabel. "Tiga hari nonstop!" akunya penuh kebanggaan. Ezar terperangah kagum. Aku tak mau mengakui, tapi aku juga ikutan terperangah, macam bocah. "Rakitan sendiri. Super sensitif."

"Suara doang?" tanyaku.

Bang Nabhan tersenyum lembut, kemudian menaruh botol kaleng soda di meja. Aku mengambilnya dan ... berat. Kuintip isinya dan selempeng lensa mengkilap balik mengintipku. "Dasar anak haram," komentarku.

Si Abang anggap itu sebagai pujian. "Aku pasang dua ini di Tamkot, deket bekas dermaga yang sekarang rimbun itu, loh. Beuh ...." Dia terkekeh cabul.

Tak heran. Aku juga sering datang ke bekas dermaga. Dulunya, di sana ada perahu buat orang-orang kurang kerjaan yang ingin mengkhayal jadi bajak laut, tapi sekarang kayu-kayunya sudah pada lapuk, digerogoti lumut dan tanaman rambat. Ada pohon nangka mandul di sana. Aku biasa naik memanjatnya di sore hari sambil bawa sarung, senter mainan, sekantong kerikil, dan buku—sekalian belajar.

Tunggulah hingga matahari terbenam, dan kau akan mendengar suara-suara cabul beralun dari semak-semak lebat di bantaran danau. Kalau sudah begitu, kulempari para pelaku mesum itu dengan kerikil. Tak perlu kena. Cukup buat keributan, dan mereka akan lari kocar-kacir dengan panik.

Kedengaran iseng banget memang, tapi ini bikin ketagihan, asal kau tahu saja.

"Puter videonya di sini bakal jadi masalah ... tapi mau denger?" tawar si Abang dengan senyum setan terpasang di mulut.

Ezar menelan ludah, wajah pucat dengan keringat dingin merembes di pelipis. Dasar amatiran. Aku meraih headset si Abang dan memasang satu di telinga; yang satunya lagi kutawarkan pada Ezar. "Gak bakal gigit inih," godaku.

Ezar tergagap, "Se-sek ...." Dia melirik sekitar, memandang anak-anak kelas, menatap Rihma, lalu Rihma, lagi-lagi Rihma. Setelah insiden surat cinta palsu itu, Ezar jadi makin takut pada si KM—nyaris trauma. "Kita masih di kelas, jir," desisnya, nyaris tak kedengaran.

"Justru gara-gara kita di kelas." Bang Nabhan menepuk pundak Ezar, wajah bos mafianya buat potongan rambut ala cetakan mangkuknya macam wig palsu. "Lebih gereget!"

"Aku biasa denger langsung di tempatnya. Ada tempat yang enak buat nonton di sana." Aku ikut-ikutan menyesatkan. "Lain kali aku ajak, dah. Sekarang ... buat persiapan ...."

Dua lawan satu. Aku merasa bagai seorang siswa badung yang menyuruh adik polosnya membelikan rokok di warung tetangga. Dengan tangan gemetar, Ezar menerima headset si Abang dan memasangnya di telinga—

"Hainaaa!" seru Rihma, berlagu. "Fakri sama Nabhan godain Ezar buat nonton film porno, niiih!"

Baik aku, Nabhan, atau Ezar sama-sama terperanjat.

"Kampret, Rihma!" aku menggeram sepelan mungkin. "Dasar ember!"

Sayangnya, suaraku tak cukup pelan sampai-sampai tak terdengar telinga si KM. Gen feminin keparat. "Aku ngomong apa adanya, kok!" balasnya bawel.

Bang Nabhan berdiri, poni datarnya berayun menyapu kening. "Semprul!" elaknya. Kucoba menghentikan si mantan preman, tapi terlambat. Dia lanjut menambahkan, "Cuma rekaman suara! Bukan film!"

Aduh ....

"Jadi ..." Rihma terkesima, mata melebar kosong, "bagian yang pornonya itu ... beneran?"

"...."

"Aku laporin ke Bu Inaya, ah ...."

"Bentar, bentar!"

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang