10

186 80 37
                                    

***Catatan Penulis***

Eeh ... oke. Saya gak tau mesti bilang apa lagi sekarang. Gak ada berita baru (sayangnya, itu berarti gak ada perkembangan juga). Jadi, langsung aja saya ucapin selamat datang buat solehX712 . Makasih banyak buat votenya. Nambah satu lagi pembaca saya (sayangnya, lagi, cuma satu).

***Catatan Penulis***

Fakri

Aku mungkin mudah melunak di bawah tipu daya air mata dan pesona betina. Tapi di hadapan kekerasan, aku getas bukan kepalang, lebih baik patah ketimbang bengkok. Kalau ibuku kira aku bakal mangut-mangut hanya karena diancam, berarti dia tak paham apa-apa soal putranya. Daripada minta gadis itu datang, lebih baik aku makan lumpur sawah.

"Kau gigih buat hal gak guna," komentar Zakir. Kami sedang di sawah yang baru ditanam, memancing belut. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya dan menjelang waktu petang. "Aku mikirnya, sih, gampangan ajak Haina main ke rumahmu. Bawa juga anak lain biar enggak malu. Tak bakal jadi masalah."

Bawa beberapa orang ke rumahku? Kau waras? Bisa mati sesak mereka saking sempitnya. "Bacot. Belutnya pada kabur, nih!" Aku menarik benang pancingku. Seekor kepiting muncul, menjepit ujung kail.

Zakir meringis. "Gimana kau bisa sadar?"

"Apanya?"

"Pacarku temannya Hau-Hau?"

Aku mendesah, memperbaiki letak miring topi caping usang di kepalaku. "Pertama, aku tau kau ngumpetin sesuatu."

"Gara-gara memulai pagi dengan kibulan?"

"Bukan. Kau senantiasa memulai pagi dengan kibulan, lagian." Aku membuka-buka catatan kecil di tangan. Deretan kosakata Inggris tertera dalam tulisan kecil-kecil yang jelek. "Orang normalnya panik waktu diculik, tapi kau masih juga sok tenang. Kau punya sesuatu yang ingin disembunyikan. Aku coba pancing-pancing, bilang kalau aku tau rahasiamu: kau mamam itu."

"Monyet ..." Tatapan Zakir berubah jahanam. "Jadi, yang waktu pagi-pagi itu jebakan ...."

"Kau sendiri suka jebak anak gadis orang, kan? Sekali-sekali kau perlu rasain sendiri, kirain aja itu otak jadi lebih punya empati."

"Okeh, okeh. Terus? Kau tau aku umpetin sesuatu, jadi?"

"Jadi aku mikir: apa? Kau mamam umpanku gesit banget; kau tau kalau kemungkinan besar aku emang tau. Jadi, pastinya 'ni dilakuin deket idungku." Aku bersin. Ludah menciprat ke kertas. "Untung belakangan 'ni kita jarang ketemu. Jadi, perhatianku langsung fokus ke kejadian semalem.

"Apa ada yang ganjil? tanyaku. Ini jawabannya: Si keparat liat aku jalan sama cewek, tapi gimana bisa dia gak sergap aku di tempat?" Aku melirik, tampak Zakir yang sedang nyengir kecut. Mengerikan. "Kenapa? tanyaku lagi. Apa alasannya? Ini runutan kemungkinannya.

"Pertama, kau lagi sibuk pacaran. Apa mungkin? Kagak. Kau master mesum. Aktivitas cabul gak lagi barang aneh buatmu; jauh kalo dibanding aku yang jalan sama cewek. Jadi, mau sesibuk gimanapun kau bercumbu, kau bakal aja luangin waktu buat ganggu aku.

"Kedua, kau denger dari orang lain. Apa mungkin? Lagi-lagi enggak. Kalo semisal kau emang denger dari yang lain, pastinya kau bakal penasaran setengah mati. Kau bakal lari, susul aku, cari aku, kebelet buat gerebek aku. Tapi waktu kita ketemu di jembatan, kau biasa-biasa aja, bleh. Kalem-kalem aja. Jadi, pastinya kau udah liat sendiri.

"Ketiga ...," aku mengangguk, "kau gak tau siapa cewek yang jalan sama aku. Kau gak pernah bilang kalau itu Haina, kau cuma tanya aku 'kenal gak sama Haina'? Kau lagi main tebak-tebakan. Bangsat."

Zakir mendengus. "Seri, kalo gitu." Sungguh persahabatan yang nista. "Ngaku, dah. Aku emang gak tau siapa cewek yang jalan sama kau, tapi kenapa dari sana bisa sampai ke kesimpulan akhir?"

"Waktu itu Haina pake topi plus mantelku, tudung dinaikin. Dia ketutup abis-abisan, susah dikenal." Aku menggosok kertas catatan, membalik halaman berikutnya. "Kau nyoba-nyoba tebak. Kau kenal, lah, seluruh keluargaku: kakak sama ibuku gak sependek itu. Kau juga kenal aku: Al-Fakri jalan sama cewek di luar keluarga itu peristiwa super langka. Yang artinya, kemungkinan paling besar adalah: aku jalan sama Hau-Hau."

Zakir berjengit. Macamnya aku benar.

"Dua minggu kemaren, kau bawa-bawa wanita kuliahan ke rumah; jadi gak ada itu yang namanya 'malu pacaran depan dede'. Ada alesan lain ... sesuatu soal pacar SMP-mu yang buat kau gak mau ketemu adikmu." Aku nyengir. "Apa itu? tanyaku. Kuncinya ada di: SMP, kelas tiga, sembunyi di belakang punggung, sama 'mau dikenalin?'." Aku tergelak hambar. "Kau coba sumpal aku sama kibulan sebelum aku mikir macam-macam."

"Iblis."

"Ngebacot apa juga kau ini? Bukan aku yang coba mangsa temen adikku sendiri buat camilan malam Kamis."

"Kau cuman butuh beberapa detik buat mikirin yang tadi?"

"Kita bukan wanita, Zakir. Laki-laki gak bicara di pikiran—kecuali kau kekurangan porsi testosteron waktu umur delapan minggu di perut ibumu." Berhubung kau pandai baca perasaan wanita, aku curiga kau memang begitu. "Waktu aku runut masalahnya di otak, bentuknya dalem rupa ide."

Hening sesaat. "Jujur, Kri. Kita sohib, kan? Kau naksir Haina?"

"Gak."

"Pacaran?"

"Kalo demen aja enggak, 'pa lagi pacaran, lah! Tolol."

Zakir berpikir lama. "Haina banyak kenalan cowoknya, banyak juga yang suka—aku pun pernah PDKT sama dia. Anehnya, ya, sampe sekarang dia belum pernah pacaran. Setiap kali ada yang nembak, dia tolak."

"Bilang dia udah naksir orang lain?"

"Pengalaman?"

Untuk barang sekejap, aku kelabakan. "Ceritanya ribet, Zak."

"Emang ada di hidupmu yang enggak ribet."

Si brengsek betul sangat.

"Ngaku, dah. Rasa-rasa emang bukan kau, deh, orang yang Haina taksir. Soalnya dia udah begitu sedari SMP."

Dalam sekali pengetahuan saudara soal anak gadis orang.

"Tapi konon dia mirip-mirip sama kau waktu SMP."

"Apanya?"

"Stresnya."[]

***Catatan Penulis***

Jangan lupa vote dan komentarnya, Tuan dan Puan. Saya tahu hadirin sekalian itu orang-orang baik--saya cuma ngingetin, kalau-kalau lupa. Terbukti, banyak yang kabulin petisi saya buat masukin cerita ini ke reading list. Buat itu, saya ucapkan terima kasih banyak.

Update berikutnya ... besok (semoga bisa).

Bagian III: Manusia Setengah Setan, beres. Gimana? Boleh, lah, minta reviewnya? (Sekalian nambahin bahan promosi saya, aslinya). Selanjutnya kita masuk ke Bagian IV: Sandi Ceker Ayam. Sedikit bocoran: waktunya kita nambahin takaran roman. Jumpa lagi nanti.

08:49 pm 18/01/2021

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang