1

121 62 19
                                    

Fakri

Dari jendela ruang tamu, aku mengintip. Sisik dugong. Rumahku telah dikepung.

"Tuh, kan! Temenmu!" desis Hau-Hau, menyesakkan wajah di ketiakku. "Ada ceweknya pula." Dia terkikik. "Kak Haina yang mana?"

Lambat-lambat, kepalaku berputar ke arahnya. "Siapa?"

Hau-Hau menggulirkan bola matanya yang lebar. "Plis, deh, Fakri. Semua orang udah tau!"

"Semua orang?"

"Iya. Semua. Aku, ibu aku, Pak RT, Bu RT, Bu Bidan, tukang obras, mantan pacar kakak yang agak baru, mantan pacar kakak yang agak lama, temen SMP aku, guru SMP aku, pacar aku, mak-mak arisan kompleks sebelah. Bibi Kaisah bawel banget, bicarain Kak Haina macam dia itu putrinya sendiri."

Itu ... "semua" dalam artian harfiah, rupanya.

"Berita hot emang. Gadis gila macam apa yang mau-maunya sama—bukan maksud menghina—putra Bibi Kaisah?"

Aku kira yang barusan itu kau menghinaku sejadi-jadinya.

"Rambut yang Bibi pergok di mantel kamu panjang ... jadi pastinya bukan yang pake kacamata." Kerut muncul di kening Hau-Hau. "Yang kecil manis itu? Bo'ong. Masa? Gak mungkin." Dia menggeleng, ekspresi wajah berubah kelam. "Tapi ... yah ... keliatannya emang dia. Gadis macam itu bawa banyak masalah, soalnya."

Bagi laki-laki sejenisku, semua wanita membawa masalah.

Hau-Hau menoleh, jari menyentuh dagu, mata memindaiku dari ujung kepala sampai ujung kakiku. Dia bergidik penuh horor. "Seleranya bikin merinding, eh."

Ngeledek, Non?

KM Rihma menggedor pintu tak sabar, alis bertaut. Dia menggerutu sejenak, lalu menoleh; matanya berpapasan dengan mataku. Lekas saja dia berderap menghampiri jendela.

"Duh!" Ampas. Aku menarik Hau-Hau mundur, tapi kutahu itu sudah terlambat.

"Fakri! Buka, kunyuk!"

"Fakri?" timpalku, suara sengau. "Siapa? Apaan? Gak ada yang namanya begitu di sini. Maaf, ya. Kamu siapa?"

"Fakri!" Hau-Hau mendesis macam kesambet hantu kobra. Omong-omong, dia memang kelihatan hendak patuk aku, jadi pasti asli kesambet kobra. "Gak sopan banget! Mereka tamu, ih! Mau jenguk kamu!"

"Dua yang laki-laki aku gak keberatan, tapi dua yang perempuan? Bah!" Aku ingin meludah, tapi kena pelotot Hau-Hau. "Lagian, gak pernah seumur-umur ada orang yang jenguk aku. Bau-baunya anyir banget."

"Anyir? Kali itu kamu semalam solo play pas keluarnya morat-marit. Jorok banget."

"...." Aku sudah biasa dengar Hau-Hau bicara jorok. Meski begitu, aku tetap merasa bersalah. Pasti gara-gara kebanyakan gaul dengan aku dan Zakir. Apakah dosa kami masih bisa diampuni?

"Keliatannya mereka juga bawa sesuatu. Makanan?"

Untuk sesaat, nuraniku goyah. "Eh ... kali baiknya kita ambil dulu oleh-olehnya, terus usir mereka—"

"Berengsek juga ada batasnya."

Wajah Rihma muncul di jendela, menempel pada kaca. Dia menyipit, mendapatiku yang berduaan dengan Hau-Hau. Seketika, matanya melebar, nyaris copot; darah lenyap dari wajah. "...." Entah kenapa ... aku merasa ... ada yang salah paham.

"Nabhan ...?" panggil si KM.

"Pa'an?" suara si Abang menimpal malas.

"Nomor darurat polisi itu berapa?"

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang