2

182 53 7
                                    

Haina

Seminggu kembali terlewat tanpa kabar dari Al. Empat hari ujian akhir semester bubar tanpa kehadiran si Jahe Geprek. Dia membuat kekhawatiranku tiada habis-habisnya. Kuakui dia memang pintar—walau dia mengaku amat benci belajar—tapi kalau orang tak ikut ujian, mana ada artinya?

"Fakri?" Terdengar suara Rihma dari ambang pintu. Dia bicara dengan siapa? "Eng ... dia lagi gak ada. Enggak datang. Dua mingguan ini dia ngilang entah ke mana. Ada urusan apa?"

Aku meraih tasku dan bergegas menghampiri mereka. Rihma bicara dengan perempuan kecil berjaket longgar—bagian depannya terbuka, menampakkan kemeja kotak-kotak kedodoran alih-alih seragam. Bukan murid? Dia begitu ... ramping, nyaris kurus. Dengan tungkai-tungkai yang serupa ranting dan bahu mungil. Rambutnya diikat ke belakang di pangkal leher, hitam dengan semu merah terbakar di ujung-ujungnya. Seulas noda tanah mencoreng pipinya, sekujur jemari kuning berbau bawang.

Dia menyandang ransel yang terlalu besar di punggungnya, tapi caranya berdiri .... Uh. Dia berdiri dengan tegap, kaki terbuka lebar, tangan di belakang punggung, bahu terangkat dan mata beralis pendek yang melotot lebar. Sedikit emosi yang muncul di wajahnya, membuatku teringat pada burung hantu.

"Ngilang? Dua minggu ini?" Gadis kecil itu mengerutkan kening.

"Nyaris dua minggu, sih. Sekarang itu Kamis 10 Juni .... Oh. Dua belas hari."

"Emang ada kejadian apaan? Itu Anak Setan diburon polisi? Berantem sama kakaknya? Atau ibunya sakit?"

Rihma memicing. "Yang terakhir."

"Ah." Si gadis kelihatan terkejut, tapi tak heran. Tak barang secuil pun heran. "Biadab. Bibi Kaisah orang baik padahal. Ngomong-ngomong, kalian tau sohib itu Anak Setan? Zakir? Di mana kelasnya?"

"Kamu temen Zakir?"

"Semacam itulah—yang jelas bukan korban dia." Si gadis kecil terbahak kasar dalam suara cemprengnya. "Terus?"

"Di sana." Rihma menunjuk ke lorong sebelah kiri. "Dua kelas dari sini. Coba tanyain. Kali aja dia belum pul—Ah."

"Apaan?"

Rihma mengedik. "Gak usah dicari. Tuh, dia."

Dan memang. Zakir muncul dari kerumunan orang bubar, menghampiri kami dengan mulut sedikit terbuka. Sesaat kemudian, dia menyeringai, terbahak, menepuk ubun-ubun si gadis kecil. Sang pemilik kepala memberengut tak suka, tapi Zakir mengabaikannya. "Gila, Anak Bawang! Gila, dah! Gak kira rasanya bakal seseneng ini buat liat ransel kura-kuramu lagi."

"Jangan banyak bacot, Gigolo. Denger-denger temen setanmu ngilang? Asli?"

"Dua minggu ini."

Si gadis berdecak. "Susah-susah aku datang ke sini."

"Zakir?" aku memanggil ragu.

Zakir menoleh sambil tersenyum lebar, lalu mengangguk, paham apa yang aku maksud. Dia menepuk bahu si gadis kecil dan memutarnya ke arahku. "Kenalin, dia temen SMP-ku. Si Anak Bawang—Nafisa."

Jauh di dalam benakku, Yusik bangun dan menjerit girang.

***

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang