Fakri
"Apaan, nih?" tanya Zakir penasaran, menatap kertas pemberianku yang dilipat kecil. Begitu dia coba membukanya, aku menjawab, "Surat wasiat." Dan dia pun berhenti bergerak, mata melotot horor.
Sementara si Gigolo memulihkan diri dari rasa terguncangnya, aku membuka kunci sepeda Bang Nabhan dan menggiringnya keluar dari parkiran. "Ini beneran boleh aku pinjam?" tanyaku menegaskan. "Haina gak bawa sepeda hari ini, tapi aku bisa pinjem punya Zakir."
Alih-alih menyahut, si Abang malah penepuk pundakku, senyum getir tersungging muram. Anggukan pelan menjadi pengganti sempurna kata "iya". Ezar terisak di sampingnya, tangan menggosok-gosok mata. Mulutnya komat-kamit tanpa henti, menggumamkan mantra: "Salahku .... Ini salahku .... Salahku .... Maaf, sobat ...."
"Bentar, bentar!" komplain Zakir begitu dia bebas dari syok. "'Ni anak cuma mau anterin Haina ke rumahnya! Gitu doang!"
Bang Nabhan meringis ngeri, tubuh merinding. "Itulah alasan kenapa perjalanan ini berbahaya."
"Ente kira rumah itu cewek adanya di kawah Krakatau!"
"Seandainya memang sesederhana itu."
"Lebih-lebih dari kawah Krakatau? Sinting!"
Buru-buru kulerai mereka. Aku tak mau ada pertikaian di hari terakhirku. "Pastikan wasiatku aman, Sob. Jangan sampe Cukong jatuh ke tangan yang salah." Aku meraih bahu Zakir dan mencengkeramnya. "Bersumpahlah. Jika dalam seminggu mayatku tak diketemukan, berikan—"
"Mayat endasmu!" Zakir menepis tanganku dengan kejinya. "Kau cuma perlu ngomong baik-baik, minta maaf yang tulus, jangan ngibul. Begitu!"
"Zakir .... O, Zakir yang malang .... Terbutakan dari realita—"
"Kalian yang buta realita. Siapa, sih, di antara kalian yang pernah main ke rumah cewek?"
Semua orang bungkam. Karena sebuah kekuatan mistis yang misterius, aku tak kuasa untuk tidak menundukkan kepala. Kudapati Ezar dan Bang Nabhan juga terkena sihir ini.
Satu sudut bibir Zakir melengkung sinis. "Aku cuma becanda ... tapi ... eh? Seriusan? Kri? Gimana sama rumah Nafisa?"
Aku berjengit habis-habisan. "Beda kasus. Si Anak Bawang yatim piatu."
Dia menggerutu, tangan mengacak-acak rambut. "Denger, Kri. Kuncinya: jangan takut, tatap langsung ke mata, dan tulus. Tunjukin kalo kau emang nyesel dan mau tanggung jawab apa pun bentuknya. Walo gimanapun, bapaknya Haina juga pernah muda—pernah jadi kita. Dia paham perasaan kita."
Sudah macam acara lamaran saja.
"Coba. Praktikin."
"Heh!"
"Buruan! Kau gak kepengen masalahnya sampe kedengaran Bibi Kaisah, kan?"
Eng ... kau tak salah. Satu-satunya alasan kenapa aku tak kabur dan malah melempar diri ke amukan ayah Haina adalah ... karena amukan ibuku jauh lebih mengerikan. Bak sumur dan langit bedanya. Percayalah. Ketika aku bilang aku pernah dicuci di sawah, itu bukan metafora. "Oke. Begini?" Aku pasang wajah berani, menatap intens mata Zakir, lalu bilang dengan ketulusan sang Siddhartha Gautama*, "Maaf, Pak. Putrimu jatuh ke jebakanku."
*Nama asli dari Buddha, pendiri ajaran Buddhisme.
Wajah Zakir muram seketika. "Kau bener-bener kepengen digasak sampai ke foton, ya?"
"Kenapa! Situ yang suruh, kan!"
"Aku suruh pasang wajah berani, bukan wajah belagu; liat langsung ke mata, bukan melotot; tulus, bukan blakblakan. Lagian, apanya yang 'putrimu jatuh ke jebakanku'? Jelas-jelas mereka bakal salah ambil artian—"
Aku meludah, mengumpat.
"Nah! Itu, tuh! Baru aja mau diingetin." Zakir mengacungkan jari ke depan wajahku. "Jangan ngeludah, jangan ngumpat. Bicara yang baik."
"Ampas setan! Laki-laki gak perlu banyak ngebacot; laki-laki meludah, mengumpat, lalu kerjakan. Itu aja."
"Jangan tiru ayahmu, Kri ...."
"Keren ...." Ezar terisak makin keras. "Keren banget ...."
"Jangan dipuji!"
"Heeeeeei! Al-Fakri bego! Jahe Geprek!" suara KM berseru. Tampak si gadis buntut kuda yang melambai-lambai di gerbang. "Cepetan!"
Dasar tengil. Kukutuk seribu kali dia yang coba-coba sebarkan panggilan sialan itu. Lalu kukutuk sejuta kali orang yang menciptakannya. Usai memutar tasku ke depan, aku melompat ke atas jok. Aku tak punya sepeda, tapi aku sering pinjam punya Zakir. Kerap kali aku ditugaskan untuk antar-jemput Hau-Hau, jadi berboncengan bukan masalah bagiku.
Tatkala aku berhenti di depan para gadis, Rihma mencubit pipiku. Bukan cubitan gemas, tapi cubitan brutal. Kurasakan bekas luka cakar kakakku ikut terkelupas dan berdarah.
"Sakit, goblok!" Aku menepis tangannya.
Rihma mengerutkan kening. "Kamu lama. Haina lebih sakit."
"Kalau gitu, biarin Haina yang cubit, bukan situ!"
"Ooh .... Tantangan? Okeh. Haina, gaplok dia."
"Ah, ah! Bentar!"
Tamparan dari Haina tak datang, untungnya. Kudapati si Toge yang masih diapit Lady A dan Lady B—Eeh ... Yuli dan Ririn, maksudku. Keduanya menatapku dengan aneh: setengah jengkel, setengah takut, setengah geli.
Uh ... maaf. Kalau dijumlahkan, itu jadi satu setengah, bukan bulat satu.
"Na," panggilku.
Orang yang bersangkutan malah celingukan. "Ah, eh ... iya. Maaf. Ayu." Sambil dipapah, dia naik ke atas jok penumpang. Pegas sepeda Bang Nabhan melenting turun. Kurasakan tangan Haina mencengkeram pinggang kemejaku. Geli luar biasa rasanya, tapi kalau aku protes sekarang, aku bakal kena damprat.
"Ati-ati, okeh?" kecam Rihma.
"Ngomong apa pula kau? Aku bukan jenis orang yang lari-lari gak jelas terus jatuh cuma gara-gara kena jerat rumput—AW!" Haina cubit perutku. "Sa-sakit! Sakit! Kenapa, sih, ngejurusnya ke kekerasan melulu?"
"Iih ... bawelnya," protes si Toge. Seluruh dunia tahu kalau dia seekor maling yang berteriak maling. Dia kemudian menambahkan dalam kata-kata berbisik, "Cepetan! Malu, ih!"
Jika ini situasi normal, tentu aku juga bakal ikut malu. Sayang, otakku dikuasai rasa khawatir akan murka ayah gadis ini begitu tahu putrinya babak belur gara-gara kena perangkapku. "Oke, oke, Non."
"Haina," Yuli—atau Ririn?—melambaikan tangannya dengan ceria, tak peduli kalau ini bisa jadi detik-detik penghabisan sebelum akhir riwayatku, "dadah. Besok ceritain lanjutannya, ya." Dan dia pun mengikik bersama temannya. Tak barang semeter dari mereka, KM pasang cengiran yang buat bulu kudukku merinding.
Kejam. Kenapa bisa-bisanya ada manusia yang mampu menertawakan akhir hayat orang lain? Bukannya evolusi telah membentuk kita menjadi spesies yang perasa? Bagaimana ini, CHARLES DARWIN!
"Nah, soal itu," timpal Darwin di alam sana, "macamnya ente kudu ngaca dulu, deh."
"Fakri!" jerit Bang Nabhan dan Ezar di parkiran sepeda. "Jangan mampus dulu!"
Rihma berjengit, berbalik menghadap teman-temanku, kedua tangan membentuk corong di mulut. "DA-SAR GAK PE-KA!"
A/N
Oke, saya putuskan buat update sampai Fakri ketemu ibu Haina--biar gereget. Buahahaha. Kebetulan ini malem Minggu, kali ada yang pengen cari hiburan sendirian.
PERINGATAN: VOTE DAN KOMEN AMAT DIANJURKAN KARENA BERKHASIAT UNTUK MEMPERCEPAT UPDATETAN, MENAMBAH AMAL, SERTA MEMBUAT USAHA AUTHOR BERARTI SEBAB TULISANNYA ADA YANG MENGAPRESIASI. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Palsu: Fail Romansa Si Antibetina
Ficção AdolescentePanggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetina, serta aktivis rasis gender sampai ke tulang. Ada dua hal yang dia senangi di dunia ini: uang yang...