Fakri
Tempat pelarian pertama yang melintas di benakku adalah perpustakaan; tapi demi Charles Darwin! Itu nyaris bukan sembunyi namanya! Jadi aku melesat ngebut ke ruang Fortema—ke sudut tergelap dunia modern. Aku mendapati sepatu di depan pintu. Aku tak pikir panjang dan menghambur masuk begitu saja. Di kursi sudut ruangan, Norin menjerit sejadi-jadinya.
"Sssh!" aku membentak, telunjuk di bibir.
Norin membungkam mulut dengan kedua tangan, mata masih melotot. "Ma-mau apa kamu?"
Aku beranjak ke jendela, mengintip sejenak, kemudian menurunkan seluruh tirai. Ruang ekskul mendadak gelap gulita; Norin mendadak menjerit lagi. "Diem! Diem, eh!"
"Ja-jangan! Ampun! Aku minta maaf! Aku minta maaf!"
"Ngoceh apaan kau ini?" Aku menghela napas dan menjatuhkan diri di kursi dekat Norin. "Terserah kau mau mikir apa, tapi jangan berisik."
Norin diam sejenak. "Kamu lagi main petak umpet?"
"Jangan ngaco!"
Mata si gadis poni berkedip cepat. "Haina?"
"...."
"Jadi emang begitu."
"Bentar, bentar." Aku mengangkat tangan. "Apanya yang 'begitu'? Jelaskan. Aku gak bisa tebak pastinya ... tapi rasa-rasanya kau salah paham soal sesuatu."
"Hahaha." Dia tertawa dingin. "Apa sesuka itu kamu sama dahi anak cewek?" Sebelum aku sempat merepet, Norin menambahkan, "Aku yang tadi antar dia ke kelasnya. Kasihan. Kakinya masih belum sembuh pun."
Gawat. Lama-lama perbincangan ini akan mengarah ke sesuatu yang tak enak. Aku mesti mengalihkan topik. "Denger-denger belakangan ini kau jarang setor wajah ke sini."
Norin terkesiap. Wajah memucat seolah-olah ingat kalau yang dia ajak bicara adalah seekor penjahat kelamin kelas kakap yang diburon intelijen internasional. "Bukan urusan kamu," dia menimpal pelan, takut-takut.
"Terserah." Aku menepiskan tangan ke udara. "Tapi Bocah Sableng ancam bakal tendang aku keluar. Itu masalahnya." Norin menoleh bingung, aku berdecak. "Jangan bego. Kau gak datang gara-gara takut ketemu sama ...." Hidungku berkedut mencium sesuatu, perutku bergemuruh lapar. Di meja yang memisahkan kami, setengah lusin donat goreng bertumpuk membentuk bukit yang menggoda. "Takut ... takut ... takut ketemu ... eeh ...." Sial. Kenapa aku jadi susah mikir begini?
Norin mendorong piring donat itu ke arahku. "Ambil aja."
Tanpa menunggu instruksi dari otak, tanganku segera menyambar dua donat dan melahapnya. Kudeta internal. Tak bisa dimaafkan. Dan lebih sialnya lagi, ini enak. Kudapati Norin yang menatapku dengan mata melebar. "Maaf," aku mendadak berkata, mulut masih penuh.
"...?" Dia merinding. Tak sopan.
"Maksud aku—" Aku berdeham, menelan bulat-bulat sepotong donat yang belum terkunyah benar. "Maksud aku ... yah ... yang dua minggu kemaren itu. Kau gak salah kalo takut padaku."
Norin terdiam. Kulit wajahnya memucat, mata berpaling ke bawah, tangan gemetaran. Di benaknya, pastilah dia tengah memutar kembali episode lima tahun yang lalu ketika aku melumat wajah si berengsek Roni.
Aku angkat tangan, melanjutkan, "Kau sinting kalo ngebet pengen sekomplot sama Alfan Esmand, tapi yah ... yang penting kau tetep pengen gabung. Beda denganku yang cuma ikut-ikutan. Tungguin sampe kelas dua—bentar lagi banget. Seabis itu, aku bakal keluar. Gimana?"
Mendadak, Norin menengadah, membuka-tutup mulutnya bak ikan yang diseret ke darat. "Ka-kamu gak tau seberapa takutnya aku waktu itu," dia akhirnya memberanikan diri berkata. Ada jeda sejenak. Tangan kurusnya mengepal erat sampai memucat. "Enggak adil ka-kalo kamu cuma kabur gitu aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Palsu: Fail Romansa Si Antibetina
Teen FictionPanggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetina, serta aktivis rasis gender sampai ke tulang. Ada dua hal yang dia senangi di dunia ini: uang yang...