18

111 57 16
                                    

Haina

"Ini salahmu, Yusik." Aku duduk termangu di balik kerimbunan padi, tangan memeluk lutut sementara pinggul rok kotor di tanah. Kuizinkan air mataku mencucur deras, membasahi sapu tangan Dunia Tengah bernoda darah. Biar saja aku menangis sepuasnya. Tak bakal ada orang yang lihat. Al sudah pergi, dan dia membuang hadiah dariku. "Haina benci kamu."

"Tau," balas Yusik. "Kamu pernah coba bunuh aku waktu SMP, inget?"

"Kamu mesti tanggung jawab."

"Andaipun kita bisa ulang waktu, Na," kilahnya, "kita tetep gak bakal bisa buat apa-apa."

"Kenapa?"

"Kamu tau sendiri Fakri macam apa dulu—pemalu, cengeng, penakut. Kamu bakal tetep suka Fakri yang macem itu?"

"Itu curang, De."

"Macam yang Fakri pernah bilang: Seorang pria mesti mencintai ayahnya tapi tetap bebas dari segala ekspektasi dan kritik si ayah untuk jadi pria bebas. Fakri jadi Fakri sebab dia dididik oleh kehilangan dan kepedihan."

"Itu bukan kata-kata Al pun. Dia ngutip."

"Yang terakhir itu kata-kataku. Keren, gak?"

"Gak."

"Ngibul."

Aku mengusap leherku yang sampai sekarang masih berdenyut. "Dia persis macam yang Haina sering bayangin dulu. Hewan buas penuh dendam, haus darah dan pembalasan." Dalam waktu sejenak, aku merasa serupa bocah SMP lagi: cengeng, penakut, paranoid.

"Itu ... kurang, ngeuh. 'Hewan buas sarat dendam, haus darah dan pembalasan.' Gimana?"

"Jangan sekarang, De."

Untuk sejenak, Yusik terdiam. "Kamu masih inget si Buron, Na?"

"Macam kemarin."

"Kita ketemu dia di Perbukitan sana, kan? Waktu kapan? Kamu kelas tiga SD?"

"Kelas empat—kelas tiga SD kamu belum lahir, jahe."

"Kita waktu itu lagi apaan? Ikutan Pekan Bersih, kan? Sama temen sekolah, sama guru, kelayapan gak jelas di bantaran Tawas sampe ke hulunya. Sadar-sadar, kamu udah sendirian gara-gara ketinggalan."

"Bukan salah Haina! Kamu yang berisik banget! Ngayal yang enggak-enggak soal jin sampah, biawak siluman, sama tuyul gunung!"

"Yang tuyul gunung itu bukan ngayal. Kita asli ketemu dia, kan? Gak inget? Kamu bahkan sampe kejar-kejar dia ke hutan."

Tentu saja aku ingat. Seorang gadis, lebih tua ketimbang aku. Mungkin anak SMP-an. Dia mengenakan kaos kedodoran dan celana jin pendek setengah betis. "Haina kira dia rombongan Pekan Bersih juga!"

"Bukan."

"Emang bukan." Gadis itu malah membawaku masuk ke Perbukitan dan hilang begitu saja. Aku coba kembali, tapi kanopi hutan pekat dengan daun pohon. Mana utara, mana selatan, aku tak tahu. Susah payah aku turun mengikuti lereng bukit, tapi begitu sampai, aku malah muncul di sungai lain. Bukan Tawas. Lebih kecil.

"Rincik," sahut Yusik.

"Haina dulu mana taulah!"

"Kamu nangis abis-abisan waktu itu. Sampai ngompol di celana segala."

Wajahku terbakar. "Kamu mah enak-enak aja ngayal melulu! Padahal salah kamu juga! Waktu itu hari udah sore! Matahari ilang! Tapi Haina masih belum bisa nyebrang! Gak ada jembatan!"

"Tapi kamu berhasil pulang, kan?" elak Yusik. "Gara-gara si Buron."

Paman Buron. Aku tak tahu nama aslinya—dia sendiri yang suruh aku panggil begitu. Begitu aku hilang, seluruh peserta Pekan Bersih rupanya panik dan bergegas mencariku. Sayangnya, mereka kewalahan berhubung aku berjalan teramat jauh. Separuh dari rombongan bahkan pergi menyusuri ke hilir sungai, takutnya aku hanyut terbawa arus.

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang