7

227 90 75
                                    

***Catatan Penulis***

Terima kasih buat IyNaulya sebab udah follow akun sahaya. Dan terima kasih pula buat tawaran review cerita ini! Saya tunggu! Mari sejenak mengheningkan cipta dan doakan supaya segala urusan beliau segera cepat selesai.

Gak lupa juga buat Bokunoku . Pesan Anda asli bagus banget dan bikin saya termotivasi. Semoga saya gak khianatin ekspektasi Anda.

***Catatan Penulis***

Manusia Setengah Setan, oleh Caruk

Ada yang salah dengan kepala Al-Fakri (nama samaran). Ada setan yang bersemayam di sana. Gen Pejuang, para ilmuwan bilang—seleksi alam atas dunia Sapiens jantan yang penuh dengan perseteruan berdarah. Sekarang, perdamaian telah tumbuh subur di muka bumi, tapi warisan era barbar takkan terhapus oleh rentang waktu seribu tahun.

Dengan dada membusung, aku nobatkan Al-Fakri sebagai pengecut. Dia cinta perdamaian, dia haus keharmonisan. Kau tak akan melihat dirinya sebagai orang berbahaya di bawah sinar matahari yang cerah. Al-Fakri penakut; tapi ada batasnya. Di balik puncak kegentaran, ada daratan liar yang gelap. Darahnya menjadi dingin, jantungnya menjadi tenang, dan pikirannya menjadi awas. Ketika itulah Al-Fakri mampu menggigit leher seseorang tanpa berkedip.

Kalau Anda memang kebetulan kenal dengan Al-Fakri di dunia nyata, tentu Anda tahu betul kalau dia ini bukan manusia. Sulit dipercaya memang, tapi Al-Fakri tak selalu macam itu. Ya, ya, ya ... dia memang kikir dan culas sedari berojol, tapi Al-Fakri kecil masih punya nurani pula. Dia anak yang pemalu dan pendiam, sedikit cengeng, tapi juga sopan dan ingin disukai orang-orang. Dia punya teori sinting bahwa andai dia menjadi anak baik, dunia juga akan baik padanya.

Tolol.

Kata ayahnya, Al-Fakri ini anak yang sial (sialan dia). Al-Fakri lahir di keluarga tak berada; yang mesti menunggak buat beli susu, yang pakai baju bekas bayi tetangga, yang buat popok dari sarung butut (sarung ayahnya sendiri), yang pungut barang buangan sebagai mainan. Untungnya dia lahir di Zaman Silikon, era di mana kemiskinan hanya berupa kemiskinan sosial, bukan biologi; era di mana kelaparan sampai mati hanyalah dongeng dari negeri seberang samudra.

Keluarga Al-Fakri dikucilkan dari asal-usulnya. Dia tak punya paman yang baik hati, tak punya kakek-nenek yang memanjakan, tak punya pula sepupu sebagai teman gelut. Liburan mereka paling-paling datang ke kali sambil bawa pancingan; atau dalam kasus kakak dan ayahnya, hilang di rimba Perbukitan buat main kucing-kucingan sama binatang liar.

Ibunya bilang kalau dia nyaris mengira Al-Fakri anak idiot. Bagaimana tidak? Di umur lima tahun, Al-Fakri masih bicara ba-bi-bu macam bayi di gendongan; melongo tak paham ketika dinasihati; tak pernah akur pula dengan anak-anak sebayanya. SD kelas tiga, tulisan dia masih menyerupai tahi anjing di pinggir jalan. Mana "a" mana "d", mana "i" mana "j", mana yang "h" dan mana "b" ... hanya Tuhan yang tahu—Al-Fakri sendiri tak mampu membedakan, soalnya.

Al-Fakri piawai soal angka, tapinya. Umurnya baru tiga tahun, tapi dia tahu kalau sehelai Imam Bonjol lebih berharga dari dua lembar Kapitan Pattimura. Al-Fakri tahu kalau sepuluh bakwan dibagikan pada empat orang hasilnya dua lebih dua—yang mana surplus itu masuk ke perutnya. Al-Fakri tahu barang mana yang paling berharga, yang lebih menguntungkan bila dimasukan ke sakunya.

Ibunya pernah bercerita, sambil berkaca-kaca, kalau putranya pernah menukar enam koin seratus perak dengan dua keping lima ratusan punya Zakir. Bocah badung yang mengerikan, memang; tapi mesti diakui, butuh kecerdasan untuk berbuat begitu. Panggil dia licik, kalau bukan cerdik.

Detektif Palsu: Fail Romansa Si AntibetinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang