Ada sakit yang tidak kasat mata, muncul begitu saja. Bergelayut sejak Riam membuka mata.
Dimulai dari tangannya yang menggapai ponsel, memeriksa apakah ada pesan dari Una yang belum terbaca, cewek itu suka mengiriminya pesan pagi-pagi sekali, meski tidak penting. Nyatanya hari ini tidak ada. Dan nyatanya, untuk sesaat, ia lupa apa yang terjadi kemarin.
Lalu ketidakbiasaan itu berlanjut ke kamar mandi. Ketika ia hendak menyabuni badan dan tangannya berkhianat, membawa kembali kenangan ketika Una menulis di telapak tangannya, memintanya untuk tidak pernah menghapus tulisan itu. Sekarang ..., tulisan itu terhapus. Kenangannya tidak.
Semuanya tidak berhenti sampai di sana. Pada dua hari pertama, Riam selalu terlupa, tanpa sadar ia membawa motornya menuju rumah Una sebelum otaknya kembali berpikir dengan benar dan ia dapat menghentikan diri. Kepalanya pun, selalu mencari keberadaan cewek itu, mencari sumber suara cempreng, atau jepit rambut stroberi, atau cengiran lebar itu. Namun yang ia temukan, kesemuanya hanyalah ilusi belaka. Lalu logikanya bekerja dan berteriak di kepala Riam, coba menyadarkannya. Bahwa ... ia tidak diinginkan. Ia telah ditinggalkan. Ia bahkan tidak pernah diinginkan sejak awal.
Sial. Rasanya ingin menghajar siapapun sampai sekarat.
Bagi Riam, renang biasanya dapat menyembuhkan, membasuh luka-luka tak terlihat yang diakibatkan Papa, Mama, Aksal, apapun. Mendinginkan amarah yang meletup-letup dalam diri Riam. Tapi kali ini ia tidak melakukannya. Atau tepatnya, berenang tidak lagi cukup untuk meredakan apa yang ia rasakan saat ini.
Yang Riam lakukan sekarang justru menarik perhatian hampir seisi sekolah. Seorang Riam Zarel Albion, yang kulitnya putih seperti vampir, yang amat anti matahari, pada jam dua belas siang saat matahari sedang terik-teriknya, justru berada di tengah lapangan, bermain basket.
"Am!" Gito tampak terengah-engah usai menangkap bola yang tadi dilempar Riam dan lolos melalui ring. Cowok itu mengelap keringat di keningnya dengan lengan baju, sama seperti semua orang, tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Riam. "Kita istirahat aja, ya? Capek banget nih. Udah dua jam kita main."
"Iya, Bang!" Lucky, seorang anak kelas sepuluh membenarkan.
Riam menggeleng. "Kalian aja, gue lanjut."
Anak-anak saling berpandangan, tetapi tidak ada yang berani mencegah cowok itu. Sekarang sedang istirahat makan siang, dan mereka tengah kelaparan. Jangan sampai waktu istirahat berakhir dan mereka tidak mendapatkan apa-apa selain hukuman strap dari Bu Sri, untungnya, Bu Sri sudah pindah, digantikan guru BK baru yang katanya belum pernah menghukum siapapun, hanya bimbingan. Fixed, Pak Atlas lebih baik dari Bu Sri.
"Dia kenapa sih?" Beberapa anak berbisik usai meninggalkan Riam sendirian di lapangan. Jelas keheranan.
Gito mengendikkan bahu. "Abis dikirim guna-guna kali."
Keringat menetes di kening Riam, jatuh ke leher, juga punggung, membuat basah seragam olahraga yang ia kenakan. Belum lagi terik yang membakar kulitnya. Semua orang saling pandang, lalu bersama-sama menarik satu kesimpulan: Riam sudah gila!
KAMU SEDANG MEMBACA
Orionis: ZETA [Completed]
Teen FictionMISI BALAS DENDAM: Pacari Riam. Buat dia jatuh cinta. Patahkan hatinya. *** Riam Zarel Albion adalah si Pengatur Strategi di Orion, penguasa SMA Bucin yang tidak terkalahkan. Gantengnya tidak manusiawi, otaknya tidak membumi, tetapi kesombongannya j...