Haiii~ terimakasih telah menunggu. Happy reading!
***
Bahkan berpapasan dengan Om Benu yang sepertinya habis mengantar mamanya pulang tidak mampu memperburuk mood Riam sore itu. Memang, ia hanya memberikan tatapan singkat ketika pria itu menyapa ramah. Tetapi tanpa disertai dengkusan sinis, hal itu sudah hampir seperti keajaiban.
"Riam, kamu udah pulang? Ganti baju, mandi, terus turun ya. Mama mau masak keik. Kamu pasti suka."
"Oke." Riam mengangguk dan L:idya nyaris melemparkan jantungnya ke lantai. Ini Riam, masalahnya. Riam yang akan selalu bersikap seolah wanita yang telah melahirkannya itu tidak ada. Bukan tanpa alasan, tentu.
Tetapi kadang ..., ada hal-hal yang tidak harus diceritakan.
Dalam kamar yang didominasi warna putih dan abu-abu tersebut, Riam mulai melepaskan atribut sekolahnya, menggantung tas di dekat meja belajar dan memasukkan seragam yang tadi ia pakai ke keranjang cucian. Ia meraih handuk kemudian berjalan ke kamar mandi. Lelah di punggung dan tuntutan untuk memeluk kasur bisa menunggu, ada keringat dan mungkin debu yang harus ia hilangkah dulu. Bagi Riam, terlalu jorok untuk rebahan tanpa mandi terlebih dahulu.
Air dingin mengucur ke kepalanya pertama kali, lima menit kemudian. Membasahi rambut Riam yang terasa lembab oleh keringat. Lalu wajahnya, turun ke leher dan dada, sampai ke kaki sebelum mengalir ke saluran pembuangan. Seperti urutan rutinnya setiap kali mandi, Riam mengambil sabun cair terlebih dahulu, mengusapnya ke bagian lengan lalu punggung.
Dan saat-saat seperti inilah, pikiran Riam kerap berkelana, mengkilas balik kejadian hari ini, memutar kembali pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Ia teringat pembicaraannya dengan Saga dan Mitha pagi tadi.
"Denis... semalam gue ke Red Sterling, gue liat dia dan circle-nya ketemu Gumala dan Franky, Denis kasih amplop berisi uang seratus ribuan lumayan tebal ke Franky. Mereka ngerokok sebentar terus Franky cabut, Denis stay sampai gue balik jam dua belas." Adalah apa yang dikatakan Saga dengan raut wajah serius, di tempat yang memungkinkan hanya mereka saja yang mendengar, tanpa ada kebocoran pada telinga lainnya.
Mitha seketika berdiri. "Wah, anjing! Selama ini dia mata-mata?! Hajar aja tuh anak sekarang, kita hampir mati di bawah flyover gara-gara dia!" Riam sampai harus menggamit pundaknya untuk mengembalikannya ke tempat duduk semula.
"Tapi rokoknya aneh. Lo pernah liat film dokumenter orang-orang tua yang ngelinting sendiri rokoknya, nggak? Tipis banget dan nggak ada filter di belakangnya," tambah Saga.
Seketika, Riam mengingatnya. Kunjungannya ke rumah Denis tempo hari, kepulan asap, sikap anak itu yang sedikit ganjil. Lalu ... berita yang ia temukan.
Denis... tidak mungkin Denis. Ia mengenal Denis bukan baru-baru ini saja. Cukup lama meski tidak begitu dekat, bertahun-tahun. Namun itu cukup. Ia merasa amat cukup mengenalnya hingga ia tidak bisa percaya.
Riam menggeleng dalam usahanya menyingkirkan berbagai pikiran negatif barusan. Mereka harus bertemu anak itu segera untuk mengkonfirmasi. Jika Denis memang hanya dimanfaatkan oleh ayahnya, mereka harus menolongnya, dan membawa keluar Orion dari masalah pelik tersebut.
Ia meraih botol sampo, bermaksud menuangkan sedikit ke telapak tangan untuk membusakannya. Namun, gerakannya terhenti dan sebagian cairan sampo terbuang begitu saja ke lantai kamar mandi. Riam melihat tulisan tangan itu masih di sana, tercetak di telapak tangannya, sudah sedikit luntur.
"Jangan dihapus. Pokoknya jangan!"
Suara cempreng Una dan cengirannya yang lebar. Senyum tanpa bebannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orionis: ZETA [Completed]
Teen FictionMISI BALAS DENDAM: Pacari Riam. Buat dia jatuh cinta. Patahkan hatinya. *** Riam Zarel Albion adalah si Pengatur Strategi di Orion, penguasa SMA Bucin yang tidak terkalahkan. Gantengnya tidak manusiawi, otaknya tidak membumi, tetapi kesombongannya j...