Semua ini hanya mimpi.
Atau rasanya, semuanya seperti mimpi. Riam tidak dapat mengingat jelasnya. Namun ia terbangun di rumahnya, di atas tempat tidurnya dengan tubuh yang masih terasa remuk redam.
Riam bangkit duduk dengan kepala yang berdenyut nyeri, perutnya bergolak dan rasanya seolah ia habis dipukuli. Dan, meskipun pakaiannya sekarang jauh lebih layak, ada sesuatu yang masih tinggal, yang menyadarkan Riam bahwa ini semua bukan mimpi.
Tangannya masih terbalut perban.
Tangan yang kemudian ia larikan di antara rambut, di kedua sisi kepalanya. Semua ini bukan mimpi. Dan dengan segera, rasa bersalah kembali menelannya bulat-bulat. Lebih dari itu, ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Apa yang dapat ia lakukan. Dapatkah ia hidup baik-baik saja setelah semua yang terjadi?
Ketukan di pintu membuat Riam menoleh. Ini sudah yang kesekian kali.
"Riam, makan dulu, Sayang."
Mama kembali mengingatkan. Wanita itu seolah tidak pernah beranjak dari pintu. Ia terus meyuruh Riam untuk makan tiap sepuluh menit sekali, membuat Riam jemu. Ia membiarkan ketukan itu hingga berhenti. Hingga terdengar langkah-langkah kaki yang menjauh, sebelum akhirnya bangkit berdiri.
Ketika Riam membuka pintu, ia melihat baki makanan di depan pintu kamarnya, lengkap dengan segelas air, semangkuk sup, nasi, lauk, roti serta buah-buahan. Riam membawanya masuk. Meletakkannya di pangkuan sementara dirinya duduk di tepian kasur dan menatap ke arah balkon, dimana pintunya terbuka dan pemandangan di luar sana tampak untuknya.
Langit yang muram. Hanya langit yang muram.
Riam memasukkan sebagian nasi ke dalam sup, mengabaikan lauk dan buah, ia mengangkat mangkuknya dengan tangan dan mulai makan dengan ..., secara kurang ajar, lahap. Ia belum makan sejak kemarin. Dan aneh rasanya, bisa makan dalam keadaan seperti ini. Rasanya seolah ia masih dapat melakukan hal-hal yang normal meski dunia orang-orang di sekitarnya runtuh.
"Untunglah kamu mau makan."
Pada teguran itu, Riam menoleh. Lidya berdiri di ambang pintu, ragu. Ia baru melangkah masuk beberapa saat kemudian, saat tidak ada tanggapan dari Riam. Wanita itu duduk di sisi Riam dengan memberi jarak, tatapannya lembut, jatuh pada putranya satu-satunya.
Tangannya bergerak, ingin menjatuhkan diri di pundak Riam, memeluknya, membisikkan kata-kata bahwa semua baik-baik saja. Namun Lidya menahan diri. Ia tahu, jika ia melakukannya, Riam hanya akan berlari semakin menjauh. Anak itu sudah berada terlalu jauh darinya, nyaris tak tergapai.
"Pasti berat untuk kamu," mulainya.
Riam menoleh. "Waktu Mama masih muda, Mama juga dihadapkan pada situasi yang sulit. Rasanya mau mati, nggak ada seorang pun di sisi Mama. Kecuali kamu."
Ada jeda. Di sisinya, Riam menjatuhkan sendok kembali ke mangkuknya. Cowok itu tidak mengatakan apa-apa, hanya diam mendengarkan.
Lidya melanjutkan. "Waktu itu, hanya kamu yang tersisa. Hanya kamu yang Mama kamu. Dan kamu menguatkan Mama." Tangannya kini terulur, menyentuh tangan Riam dan secara ajaib, tidak mendapat penolakan. "Terima kasih sudah menguatkan Mama selama ini. Mama cuma ingin kamu tahu, kalau semua ini terlalu berat bagi kamu, ada Mama di sini. Mama bersedia memikul bebannya jika kamu bersedia membaginya sama Mama. Hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Orionis: ZETA [Completed]
Teen FictionMISI BALAS DENDAM: Pacari Riam. Buat dia jatuh cinta. Patahkan hatinya. *** Riam Zarel Albion adalah si Pengatur Strategi di Orion, penguasa SMA Bucin yang tidak terkalahkan. Gantengnya tidak manusiawi, otaknya tidak membumi, tetapi kesombongannya j...