03. Rencana

35.5K 4.5K 664
                                    

Yang semangat ya, bacanya!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang semangat ya, bacanya!

***

Kelas dimana orang-orang pintar berkumpul selalu punya aura yang berbeda bagi Una. Seperti bau antiseptik di klinik-klinik dokter praktik yang selalu ia hindari. Namun demi Anin, ia berdiri di sini sekarang, di depan kelas XII IPA 3 dengan seplastik teh es di tangan.

Anak-anak IPA 3 yang baru saja dibubarkan mulai bergerombol melewatinya, sesekali membuat mereka bertabrakan bahu. Situasi itu membuat Una harus memanjang-manjangkan leher dan melompat kecil sesekali, coba mencari keberadaan cewek jangkung berambut lurus panjang itu di antara puluhan anak lainnya.

"Anin~ main, yuk!" teriaknya setelah putus asa dengan usaha pertama.

Kenapa anak-anak IPA 3 harus rata-rata lebih tinggi darinya? Mereka makan apa? Atau, pertanyaan lebih tepatnya, kenapa semua orang rata-rata lebih tinggi darinya? Bahkan Deon, adiknya yang baru masuk SMP itu saja sudah menyaingi tinggi badan Una.

"Eh, lo liat Anin, nggak?" tanyanya pada cowok tidak dikenal, yang hampir melengos pergi sebelum menoleh padanya sekali lagi, menimbang-nimbang, lalu tersenyum penuh modus.

"Nyari Anin?" Bukan cowok itu yang kemudian bertanya.

Adalah Ais yang bersuara. Aisyah Tazkiya, cewek yang populer di seantero sekolah dan segenap pelanggan tetap warung pojokan Mang Maman karena wajahnya yang imut dan kalem dibingkai jilbab putih yang membuat adem serta otaknya yang selalu menjadi saingan terberat Anin di setiap mata pelajaran. Akan tetapi jangan salah, kebanyakan anak lelaki takut padanya karena kemampuan karaktenya, belum lagi kalau sudah angkat bicara, ia bisa begitu judes tanpa ampun. Dan selama satu detik, Una sempat merasa tertekan dengan senyumnya yang ramah, sebelum mengangguk antusias. Kemudian pada cowok tadi, Ais melotot.

"Sana! Sana! Godain cewek terus, lo!"

Ais menoleh ke belakang, sebelum mengulaskan senyum yang sama pada Una. "Aninnya lagi beres-beres tuh. Tungguin aja. Gue duluan, ya."

Una mengangguk patuh, bahkan ketika Ais menepuk pundaknya dan berlalu. Ia mempunyai aura yang kuat, panutan. Dan samar, Una bahkan bisa mencium aroma antiseptik darinya; aroma orang-orang pintar. Aroma yang tidak tergapai.

Koridor mulai padat saat itu. Bukan hanya oleh anak kelas IPA 3, namun juga IPA 1 dan 2 yang beramai-ramai mengincar satu tempat: kantin. Dan Una nyaris tenggelam di antara mereka.

Ia menatap kantung teh es di tangannya lalu mulai menyusun permintaan maaf di kepala. Ini untuk Anin. Semuanya untuk Anin. Semoga saja, sahabatnya sejak SMP itu bersedia memaafkan Una dan hipotesa bodohnya.

"Dia pasti suka sama lo!" tegas Una pada suatu hari. Saat itu mereka sedang duduk berdua di depan kelas Anin mengemil ceker ayam saat Si Sumber Bencana lewat.

Ia menatap mereka selama ... delapan detik, menurut Anin. Dan menurut legenda SMA Bucin, Riam tidak pernah melirik siapapun. SIAPAPUN! Jadi, bukti konkret apalagi yang mereka perlukan?

Orionis: ZETA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang